"Nami !! menikahlah denganku !"
Mata Luffy tertuju pada wanita bergaun merah yang duduk di sudut pesta, membuat para tamu undangan melakukan hal yang sama. Mereka bersorak, turut bahagia dengan hari suci yang akan datang.
Nami terdiam mematung, ia terkejut bukan main. Perasaan bahagia yang ia dambakan selama ini. Ia tak percaya akhirnya hari itu datang juga. Tanpa terasa air mata menetes, ini layaknya mimpi ... setelah lama ia menutup diri pada dunia, dan tak mengizinkan siapapun menggantikan seseorang di hatinya. Baginya Luffy adalah pria yang tak tergantikan.
Luffy masih menunggu ... ia menunggu jawaban Nami, yang hanya terdiam dengan air yang tiba-tiba menetes dari matanya.
Tangan Nami terkepal, meskipun ia bahagia ... meskipun ia sangat ingin menerimanya ... tapi, janji itu tak pernah ia lupakan, ia tak mungkin mengkhianati prinsip yang selama ini ia pegang.
Nami tak bisa menjawab itu, ia meraih lengan Luna dan membawanya pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun sebagai jawaban untuk Luffy. Membuat banyak orang sedikit kecewa dengan lamaran romantis nan konyol itu.
"Seperti biasa, Nami memang kejam ..." Ucap Zoro, yang memang sudah menduga ini.
"Bertahun-tahun menduda, dan sekarang tiba-tiba akan menikah ? aku tak pernah tahu dia punya kekasih," Sanji sedikit tak percaya.
*
"Nami ! berikan aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya, aku akan membahagiakan mu di sisa umurku!" teriak Luffy putus asa, ia berusaha mengejar Nami yang berjalan kearah pintu keluar.
Jalan yang ia tempuh terasa jauh, padahal ia sudah mengambil langkah besar, tapi kenapa terasa berat ? seakan waktu memperlambat segalanya.
''Kaa-chan ... " Luna tampak enggan pergi dari sana, ia berkali-kali menoleh kebelakang dimana Luffy berlari mengejar mereka.
Nami tak menjawab Luna sama sekali, ia berjalan sambil menundukan kepalanya, tak ingin orang orang melihat wajah bodohnya yang terlihat sedih. Perasaan campur aduk, bahagia dan sedih bersamaan. Ia berjalan tanpa melihat kedepan, hingga ia menabrak seorang pria berpakaian Tuxedo putih dengan kemeja biru di bagian dalamnya.
"M-maaf ..." Nami sedikit mendongkak, ternyata itu adalah Garp. Pria tua itu menatapnya tajam seakan menusuk.
"A-aku ... " Nami tak bisa berkata, lidahnya seakan kelu. Ia menghapus air mata di pipinya, langkahnya perlahan mundur menjauhi Garp.
"Jangan khawatir, aku tidak melupakan janji itu," suara Nami terdengar serak.
Pupil mata Garp melebar, setelah sekian tahun, wanita gigih itu masih memegang teguh ucapannya, tanpa berfikir kondisinya saat ini. "Jangan katakan itu. Aku mohon ... " Garp menyatukan kedua tangannya, membuang semua egonya selama ini.
Nami merasa tak nyaman, bagaimanapun tak pantas bagi orang terhormat seperti Garp memohon pada wanita biasa sepertinya. "Tidak ... jangan lakukan ini, kau hanya mempermalukan dirimu sendiri," Nami mencengkram kedua tangan Garp menghentikannya melakukan hal itu.
"Kau begini, karena aku yang memaksamu ... tapi sekarang, lupakan semua itu. Tak ada yang lebih penting dari kebahagiaan cucu cucuku," Garp melihat kearah Luna yang hanya diam memperhatikan mereka, tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.
Nami terdiam, seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Garp. Bolehkah ia berharap lagi ? bolehkah ia melupakan segalanya dan mulai dari awal lagi ?
*
"Siapa wanita itu ? hebat sekali bisa membuat seorang mantan admiral memohon seperti itu," bisik beberapa wanita di tengah pesta. Hancock yang mendengar jelas itu, semakin merasa tidak nyaman, rasanya ingin segera pergi dari tempat itu.