"Bos makan ya biar kenyang," ujar Daniel menyuapi pria itu dengan telaten sesekali mengusap bibir dia yang belepotan.
Andra mengunyah makanannya pelan dengan mata yang sayu. Kantong mata di pria itu pun sangat jelas bahwa ia tak mendapatkan istirahat yang cukup.
Daniel mengamati bosnya dengan intens. Benar-benar di luar dugaan. Badannya kurus, bulu-bulu di janggut dan rahangpun mulai tumbuh.
"Sudah habis, bos sekarang istirahat." Daniel menaruh mangkuk buburnya, dan membantu Andra berbaring.
Saat hendak mengambil bantal guling yang sedari tadi di peluk oleh Andra, tiba-tiba dia berteriak marah seakan tak mau melepasnya.
Daniel sedikit bingung, padahal mau di rapikan.
Andra menatap marah padanya. "Jangan ambil Cikaku!"
"Astaga, saya gak bakal ngambil kok. Cikanya mau di taruh disini." Daniel menunjuk sisi ranjang dekat Andra.
Andra melongo sebentar sebelum akhirnya ia lepaskan gulingnya.
Setelah pria itu tertidur, Daniel keluar dari dalam dan menemui dokter. "Gimana keadaan pak Andra, dok? Apa sudah membaik?"
Dokter menggeleng. "Belum, pak. Keadaan pak Andra masih belum stabil, jika ada seseorang yang ia sebut terus kemungkinan kejiwaannya baru stabil."
Daniel memijat pelipisnya. "Gak ada cara lain dok?"
"Mungkin ada, nanti saya coba."
Setelah itu, dokter meninggalkan Daniel yang diam ditempat. Matanya melirik ke jendela, melihat Andra yang meringkuk tidur.
_
Sudah tiga bulan Andra tak ada di rumah, lebih tepatnya tak di samping sang istri. Dan selama itu pula, Cika tak pernah menjenguknya ataupun menanyakan kabar.
Padahal Daniel sering ke rumah, mencoba membujuk Cika agar ia mau menemui Andra sebentar aja. Namun Cika selalu menolak.
Kini perempuan gendut itu tengah mengaduk kue bersama Bubun di dapur. Hari ini, Cika berniat membuat kue kukus.
"Rasanya manis, bi!" Cika berseru saat menyicicipi sedikit adonannya. Bubun tersenyum sambil mengaduk adonan yang satunya lagi.
"Nyonya gak kangen gitu sama bapak?" Bubun bertanya yang membuat Cika menghentikan aktivitasnya.
Cika melirik. "Kenapa nanya gitu?"
Bubun menggeleng. "Nggak, nya. Bibi hanya kangen sama bapak. Udah lama dia gak ada di sini."
Cika membuang napas, lalu menjawab. "Gak tau, bi. Saya masih benci sama dia. Biar dia nikmati karmanya."
"Nyonya gak ingat sama ceramah ustadzah kemarin. Seburuk-buruknya orang juga butuh bimbingan buat memperbaiki diri. Saya mohon, nya. Maafin pak Andra."
"Bibi suka sama dia?!" tuduhnya ketus sambil memasukkan kue ke oven.
Bubun menggeleng cepat. "Bukan gitu maksud saya, nya. Tapi saya sudah lama kerja sama dia. Saya tahu sifat dan sikapnya pak Andra."
"Ya terserah lah, bi. Saya gak mau dengar nama dia lagi."
Bubun membuang napas pasrah.
Cika meninggalkan dia di dapur, wanita itu ingin istirahat sejenak karena merasakan capek di sekujur tubuhnya, apalagi dengan kondisi yang tengah hamil tua akan membuatnya cepat lelah.
"Bukannya aku gak mau! Tap---- awww!!" Cika menjerit saat perutnya aktif. Ia meringis pelan sembari jalan ke tangga.
"Bi! Perut Cika sakit!" Cika berteriak. Reaksi perutnya membuat jalannya terhenti. Cika duduk di lantai tangga, mencoba tenang.
Keringat mulai keluar. "Bibi!" teriaknya yang benar-benar sangat sakit. Cika merasakan ada yang keluar dari selangkangannya. Matanya dengan cepat melihat.
"Air?" bingungnya sambil mengusapnya.
Bubun berlari ke sumber suara dan kaget melihat Cika yang meringis terus-terusan.
"Nyaa! Ketuban nyonya kayanya pecah! Ayo nya, ke kamar biar bibi telpon dokter!!"
Bubun memapah tubuh Cika sambil jalan ke kamar.
"Sakit, bi! Haduhhh!" Cika bergerak gelisah di atas kasur. Bubun yang selesai menelpon dokter langsung menghampirinya.
"Tahan ya, nya."
Bubun mengusap keringat Cika yang tak berhenti keluar dari pelipis.
Cika yang benar-benar sudah tak sanggup, langsung mengangkang dan segera mengejen.
"Eammmmmm!!" Cika mengejen dengan sekuat tenaganya.
"Astaga!" Bubun kalang kabut. Ia buru-buru mencari posisi aman untuk menanganinya sambil menunggu dokter sampai.
"Ha! Ha! Sakit bi!" Cika mengusap perutnya sambil mengambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengejen lagi.
"Eammmmmm!" lagi. Cika mengejen kembali dengan mencengkram posisi samping.
Mata Bubun mendelik saat melihat rambut cabang bayinya. "Astaga, nongol?!" pekiknya.
"Ayoo, nya! Dikit lagi!" Bubun memberi semangat padanya.
Tenaga Cika semakin terkuras. Namun mengingat ia harus berjuang untuk anaknya, dia kembali bersemangat.
"Eammmmm!!!" Cika mengeluarkan semua tenaganya.
"Oekkkk! Oekkkk!"
Suara tangis bayi akhirnya terdengar, Cika memejamkan mata mengatur napasnya yang senan Kamis.
Bubun tersenyum bahagia. "Nyonya! Bayinya perempuan!"
Cika yang mendengarnya ikut tersenyum. "Mas, kita punya putri," gumam Cika tanpa sadar menyebut suaminya di sela-sela lelahnya.
"Nyonya, ini gimana? Bibi gak tau motong pusarnya?" paniknya. Tangan Bubun bahkan sudah berlumuran darah akibat bayi mungil itu.
Tok! Tok!!
Bubun menatap pintu, kemudian berteriak. "Masukk!!"
Dokter sialan, udah keluar baru sampe? Mendam kemana kau dokter!!
Dokter masuk dengan peralatan medisnya. Ia cepat-cepat mengambil alih bayi yang ada di Bubun, lalu mulai membersihkannya.
"Bayinya cantik," pujinya tersenyum.
Setelah selesai membersihkan bayinya, sang dokter menyerahkan bayinya ke Bubun lagi.
Di saat suasana mulai hening, Cika menjerit lagi. Ia merasakan ada sesuatu yang masih di dalam.
"Ayoo, Bu. Ada lagi!" Dokter memberi aba-aba untuk Cika mengeluarkan bayi kedua.
"Masya Allah! Kembar?!" kaget Bubun sambil melirik bayi yang tengah tertidur di gendongannya.
"Pak Andra pasti senang, cantik." Bubun mengusap pipi tembamnya yang Putih sehat.
Bahkan bayi yang pertama itu sangat mirip oleh Andra. Bubun yakin, pasti bayi yang kedua akan mirip sama seperti bayi pertama.
•••••
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Seujung Cinta
Fanfic"Cika benci, Mas! Pembunuh! Sampai kapanpun, Cika benci!!" Teriakan bercampur amarah istrinya terus saja menghantui Andra yang sedang di dekam dalam penjara. "Jangan hantui akuu! Cukupp!" Andra menutup kedua telinganya sambil berteriak.