5) Rencana

977 112 2
                                    

"Aku apa resign aja ya, Ka?"

"Hmmm? Lagi?"

Lagi adalah sebuah ekspresi. Arka bukan lagi heran tetapi lebih tepatnya, sedikit geli karena nggak sekali dua kali Sabrina bilang pengen resign.

"Kenapaaa?"

Mereka berdua sedang berada di atas sofa. Bukan duduk memang melainkan berbaring. Arka di bawah dengan separuh lebih badan Sabrina di atasnya.

Kali ini juga bukan di sofa Sabrina, melainkan di apartemen Arka saat ini. Habis bersih-bersih seharian karena rencananya Arka mau pindah dari sana.

"Aku nggak menikmati hidup, Ka."

Penting nggak sih sebuah hidup yang nikmat itu? Jawabannya yah... penting nggak penting. Tergantung prioritas masing-masing orang. Bagi Sabrina sebenarnya ia bukan pemuja kenikmatan, zona nyaman, atau apapun sebutannya. Tetapi ketika dunia di mana ia di dalamnya bekerja dalam sistem yang nggak menyeimbangkan—bekerja dan menikmati hasil kerja—ya buat apa? Manusia kan bekerja supaya bisa makan, punya tempat tinggal, bisa melakukan liburan dan kesenangan. Tapi kalau hidupnya hampir selalu dihabiskan untuk bekerja tanpa bisa menikmati tujuan dari bekerja itu, apakah itu jadi sebuah skema yang ingin diteruskan?

"Pengen pindah ke kantor yang lebih kecil aja. Biar bisa baca banyak buku. Kamu liat nggak sih TBR aku udah numpuk banyak banget. Sedih aku lihatnya."

Arka terkikik kecil. Sesederhana itu keinginan Sabrina. Tapi keinginan sederhana bukan berarti masalah juga. Justru yah, we don't always chase the great and it's pretty okay.

Dari dulu, Arka selalu mengagumi wanita itu. Mereka sebenarnya kerja di kantor jasa yang bisa dibilang menengah. Ada cabang yang tersebar di beberapa kota lain di Indonesia tetapi tetap bukan seperti perusahaan multinasional yang cakupannya luas lagi. Menurut Arka, kemampuan Sabrina sebenarnya hampir di atas rata-rata. Makanya ia disegani hampir seperti senior di sini sejak di jenjang karir yang masih muda. Lulusan cumlaude teknik kimia yang hampir pasti banyak dicari perusahaan. Mana pas kuliahnya pernah dua kali juara lomba internasional yang diselenggarakan pertamina, sama yang di Malaysia Arka lupa lomba apa namanya. Tapi Sabrina 'hanya' melamar di sini, ajakan dari kakak tingkatnya yang mau resign (nyari orang buat gantiin dia) selagi kating ini ngejar peningkatan karir.

Arka pernah iseng tanya apa Sabrina nggak pengen pindah nyoba melamar perusahaan besar yang tentu saja gajinya lebih meningkat dibanding sekarang. Melihat potensi yang dimiliki Sabrina, Arka rasa wanita itu bisa aja masuk dengan mudah. Tapi Sabrina malah bergidik.

"Ya, aku masih baru juga, Ka. Yang lebih senior dan lebih bisa dari aku kan banyak. Kenapa harus aku?" Ini jawabannya kalau impostor syndromnya kambuh.

"Aku rasa aku lebih membantu di sini, Ka. Mungkin di perusahaan-perusahaan itu udah punya banyak orang-orang yang berbakat sampe menangani apa aja terasa gampang. Tapi ya, kaya kata kamu, orang yang belajarnya cepet di sini masih jarang. Yang artinya, ya, bukannya aku bakal lebih bermanfaat kalau kerja di sini daripada di tempat yang kamu sebutkan itu."

Itu jawaban kalau Sabrina kalau dia sedang berpikir normal. Kalau enggak, ya pasti curhat pengen resign lagi kaya di awal.

Sabrina udah sering juga di-push sama seniornya buat ngambil sertifikasi ini itu, biar segera bisa jadi kepala bidang. Tiap kaya gitu pasti ia akan curhat ke Arka.

"Tahu ngga sih, Ka, when a person walking at the end of cliff, pushing them hard only make them fall not walking forward. Aku tuh nggak pengen didorong keras-keras."

Ketika dunia hanya berputar pada kata cepat, berkembang, maju, meningkat, rasanya semua jadi terdengar buzzing di telinga dan tik-tok detik jam pun jadi seperti bom atom. Sabrina hanya pengen bisa menikmati hari. Masih bisa baca buku dan ngikutin seri-seri baru yang keluar. Masih bisa masak-masak tiap pulang kantor tanpa jam lembur yang berlebihan. Masih bisa jalan-jalan tiap weekend tanpa harus sibuk nyiapin kerjaan terus. Dan masih bisa hadir untuk orang lain, mengobrol, dekat tanpa tergerus oleh namanya kesibukan kerjaan.

A person can have concept for them alone about their life. And knowing Sabrina has this kind of concept for herself without influenced by FOMO or lag, actually makes Arka falls even harder for her. Ia nggak mengira kalau menyukai seseorang bisa membuat dirinya belajar banyak hal.

Kalau dipikir lagi, sih ya, kalau Sabrina nggak ngelamar kerja di perusahaan yang sekarang, Arka mungkin bakal nggak ketemu sama dia. Sabrina mungkin berpacaran sama orang lain, Arka juga mungkin ended up with different person yang nggak bisa Arka bayangin kaya apa. But knowing Sabrina is such a bless for him. Arka sering banget merasa bersyukur untuk itu.

"Btw, Ka, kok kamu jadi jarang beli wine ya sekarang?"

Ada kira-kira tiga bulan Arka nggak jajan. Biasanya hampir selalu tiap gajian laki-laki itu membelinya. Lebihnya dua minggu sekali atau tiap ada spesial occassion seperti ulang tahun, peringatan hari-hari di ingatan mereka, atau saat sedang ingin Arka tak melewatkan minuman itu.

"Iya."

"Udah nggak demen lagi?"

Arka menggeleng ringan memberi jawaban cepat untuk Sabrina. Alasan sebenarnya bukan itu.

Jadi, entah kapan dimulainya pikiran ini, rasanya seperti ada epiphany yang muncul di kepala pria itu. Barangkali ya seperti biasa muncul juga di kepala-kepala orang lain.

Alasan ia pindah adalah supaya bisa lebih berhemat. Mencari tempat tinggal yang harga sewanya lebih murah, toh ia tak perlu bermewah-mewah kalau semata untuk tinggal tidur saja. Alasan ia nggak lagi beli wine juga supaya uangnya bisa ditabung. Dan kedua alasan tersebut akarnya adalah wanita di dekapannya sekarang ini.

Kalau nggak ada halangan, setelah uang tabungannya cukup untuk menyewa sebuah rumah untuk ditinggali berdua nanti, ia berniat melamar Sabrina. Rencana itu tiba-tiba muncul saja di kepala Arka seperti sebuah eureka. Membuatnya lebih semangat akhir-akhir ini dalam bekerja.

"Bi..." Arka bersuara lirih untuk memastikan. Sejak beberapa menit lalu Sabrina diam tak bersuara dan sepertinya perempuan itu benar tertidur. Sabrina sudah pasti lelah, pikir Arka. Seharian perempuan itu bantu-bantu Arka mengemasi barang. Pun malam ia masih masak juga meski Arka bilang pesan antar saja. Sabrina lebih nggak tega lihat bahan makanan di kulkas ditinggal begitu aja. Meski ya akhirnya mereka bongkar lagi alat masak yang sudah masuk box.

Perlahan Arka berusaha duduk dengan sebelah tangannya menahan tubuh Sabrina biar tidak jatuh. Dalam sekali usaha pria itu berdiri sekaligus mengangkat Sabrina. Gerakan yang membuat Sabrina bangun tentu saja.

"Lanjut tidur aja, aku gendong ke kamar."

Sabrina menurut. Toh memang ia terlalu lelah untuk berdiri, atau sekedar bangun. Ia menikmati saja buaian pelan itu.

Setelah membaringkan Sabrina, Arka juga berbaring di sebelahnya. Mengamati lekuk wajah yang barangkali sudah ia hafal. Tetapi, tak bosan justru muncul keinginan untuk melihat wajah wanita itu keesokan hari, dan keesokan harinya. Pria itu mengecup kening Sabrina pelan supaya nggak membangunkannya. Menyisipkan doa, supaya rencana mempersunting wanita itu bisa terlaksana.

Walau pun berarti yah, rencana berjangka artinya harus melewati masa yang nggak kita tahu akan diisi oleh hal yang seperti apa.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang