7) Halangan

1K 106 5
                                    

Pulang dari Bandung, Arka ngajak Sabrina mampir ke rumahnya di Tambun. Mampir buat ngasih oleh-oleh karena di Bandung mereka sempat belanja beberapa cinderamata selain wisata kuliner. Sekalian ya, gantian. Kalau Sabrina udah ngenalin Arka ke Fadil, giliran Arka yang ngenalin Sabrina ke orang tuanya. Curang sih memang, tapi ya Arka udah janji kok mau ke Malang untuk menghadap, sekalian izin nanti.

"Mamaa."

"Eee, Arka pulang. Dari mana kok bawa oleh-oleh?"

"Dari Bandung."

"Sama siapa ini?"

Sabrina sebenarnya kikuk, karena ekspresi mama Arka terlihat berubah dari Arka masuk sendiri sampai saat ia muncul dari balik pintu. Seperti tak menduga akan kedatangannya. Tapi tak menduga yang bukan dengan ekspresi senang.

"Kenalin, Ma. Ini Sabrina. Pacar Arka."

"Pacar?" Mama nggak melihat tangan Sabrina yang terulur untuk bersalaman karena menoleh langsung ke arah Arka dengan ekspresi yang menunjukkan keheranannya lebih lagi.

Sabrina diam di kursi depan sendirian karena mama Arka menggeret Arka ke belakang. Hendak berbicara empat mata dengan Arka.

"Kamu punya pacar?"

"Iya. Mama kenapa kaget banget gitu sih?"

"Udah berapa lama, Ka?"

"Jalan tua tahun lebih."

"Dua tahun dan kamu nggak bilang mama?"

"Ya Arka kan masih kenalan, Ma dan Arka juga kan sekarang bilang ke Mama."

"Kamu nih gimana sih, gimana sama perjodohan kamu sama Berlian? Kok kamu tiba-tiba pacaran sama orang lain?"

"Ma. Dari dulu kan Arka bilang kalau Arka nggak mau sama Berlian."

"Ya harusnya kamu bilang dong kalau udah punya pacar biar mama nggak iya-iya aja sama ajakan besanan orang tua Berlian. Kalau gini gimana mama bilangnya sama mereka."

"Kok jadi Arka sih yang salah. Ma? Harusnya kan biar pun Arka punya atau nggak punya pacar kalau Arka nggak mau sama Berlian ya jangan dilanjut perjodohannya."

"Ka, Berlian sebentar lagi lulus S2nya dan pulang dari Inggris. Kita udah sepakat mau nikahin kalian tahun depan."

"Kita? Ma, aku tuh nggak mau. Mama kok bisa seenaknya nentuin hidup aku gini. Aku sukanya sama Sabrina bukan Berlian."

"Suka tuh masalah gampang. Nanti kamu juga bakalan suka sama Berlian. Memangnya apa sih kelebihan Sabrina sampai kamu ngotot begini. Berlian itu lebih cantik, Arka. Dia pinter juga, dari keluarga berada. Habis S2 langsung kerja di perusahaan besar. Mama papanya juga udah nyiapin rumah untuk kalian."

Sayup-sayup suara itu terdengar di telinga Sabrina. Membuatnya berpikir, mungkin nggak seharusnya ia duduk di sini. Mungkin nggak seharusnya hari itu ia datang dan mendengar percakapan mereka dari ruangan sebelah. Atau malah, mungkin nggak seharusnya ia bertemu dengan Arka. Entah mengapa, barangkali keputusannya untuk merahasiakan hubungan ini dari kantor adalah hal yang tepat.

Sabrina sudah berdiri di depan pintu. Hendak melangkah pergi. Tapi ia belum pamit ke Arka, dan nggak tahu gimana caranya pamit. Apa iya ia pergi begitu saja.

"Siapa cantik ini? Kok menangis di depan pintu."

Sabrina mendongak dan melihat seorang pria paruh baya datang dari depan. Ia buru-buru menghapus linangan matanya dengan lengan kemeja.

"Kamu temannya Arka ya?"

"Iya, om.."

"Oooh. Om papanya. Gimana? Mirip kan gantengnya?" ujar papa Arka sambil berpose meletakkan jempol dan telunjuknya membentuk V di bawah dagu.

Sabrina mau tak mau tersenyum kecil. Jadi tahu lah selama ini jayusnya Arka itu nurun dari mana. Meski ya, ada benarnya karena papa Arka sama gantengnya dengan Arka. Sabrina jadi membayangkan Arka dua puluh tahun ke depan akan terlihat seperti apa. Meski pelan ia hapus bayangan itu karena mungkin, ia nggak akan menemui Arka hingga dua puluh tahun ke depan.

"Om, saya pamit ya, Om. Saya ada acara. Nanti tolong sampaikan ke Arka saya pulang."

Papa Arka menoleh ringan ke dalam. Mendengar suara-suara istri dan anaknya lagi berdebat. Dan sudah bisa menebak kira-kira apa pembicaraannya.

"Iya. Kamu pulang naik apa?" Di depan hanya ada satu mobil milik Arka. Perempuan ini tidak bawa kendaraan pikir papa Arka.

"Naik taksi, Om."

"Ya ya, hati-hati ya. Ini jalan raya nggak jauh kok. Kamu tinggal lurus lalu di pertigaan belok kiri. Jalan sebentar sudah ada jalan raya. Di situ banyak taksi lewat harusnya nggak sulit."

Sabrina menyunggingkan senyum. "Makasih banyak ya, Om. Saya pamit."

Sabrina nggak tahu kalau ia bakal mengalami apa yang biasanya ada di sinetron-sinetron. Menangis di taksi. Selain ia jarang naik taksi, menangis juga bukan kegiatan yang biasa ia tunjukkan ke orang lain apalagi orang asing. Tapi kali ini air matanya tumpah tanpa malu sama supir taksi. Untung supir taksi itu tak bertanya. Malah pelan mengulurkan wadah tisu yang diterima Sabrina. Ia pelan merasakan hatinya yang patah itu sendirian.

Sebenarnya, sejak mula ia berpacaran dengan Arka, Sabrina nggak ingin melepaskan kemungkinan itu. Kemungkinan kalau suatu hari hubungan ini akan berakhir. Makanya, selama menjalaninya ia berusaha mengingatkan diri untuk nggak terlalu gembira akan Arka, karena takut kalau ketika putus ia kan terlalu sakit nantinya. Cuma ya, namanya perasaan, walau udah tahu kira-kira akan seperti apa, ketika merasakan ya masih bikin kaget juga. Ternyata, begini sakitnya.

"Bi, aku pengen ngomong."

Sabrina terbangun dari tidur mendengar ketukan dan suara samar dari luar pintu itu. Ia mengernyit melihat jam yang menunjuk pukul 11 malam. Benarkah ia mendengar suara atau ini cuma mimpi? Setelah dari kediaman orang tua Arka ia langsung melanjutkan tangisnya di kasur sampai beberapa waktu ia tertidur. Mungkin itu sebabnya sekarang ia sangat haus dan kepalanya jadi sakit.

Sabrina pelan turun dari kasur untuk mengambil minum. Sesaat, sebelum tersedak, ia mendengar lagi ketukan pintu itu dan panggilan itu.

"Bi..."

Ketika terbuka, Arka hampir terjengkang jatuh sebab bersandar di daun pintu. Arka masih mengenakan pakaian dari sejak di Bandung. Sabrina juga sama hanya melepas jeansnya.

"Bi." Arka menghela lega dan langsung memeluk wanita itu. Sabrina nggak menangis, atau membalas apa-apa. Ia hanya berkedip dalam diam.

"Aku hampir bikin tenda di depan kamar kamu kalau nggak kamu bukain pintu. Udah sempat dimarahin tetangga kamar kamu karena berisik. Makasih udah mau bukain pintu. Aku mau ngomong sama kamu."

"Aku juga, Ka. Kayaknya kita emang udah waktunya udahan."

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang