1) Menjemput

2.9K 150 0
                                    

"Ka, kamu capek nggak kaya gini?"

"Capek gimana?" Tangan pria itu melepas kemudi. Terulur ringan menyentuh helai-helai halus milik puan yang sudah tak meletak seperti pagi tadi. Poni yang ditata rapi seakan berbaris di dahi itu sudah pada minggir, membelah mempertontonkan kening yang barangkali sedang pening.

"Ya capek harus sembunyi-sembunyi kalau mau pulang bareng padahal bisa aja sejak dari parkiran."

Sejurus senyum terpasang dari bibir pria itu. "Bukannya masih capek-an kamu ya? Kan kamu yang harus jalan kaki lama."

Faktanya memang begitu. Kalau Sabrina pulang bareng Arka, maka dirinya harus berjalan keluar kantornya, menyeberangi jembatan layang, lalu turun, berjalan lagi di trotoar tak ramah pejalan kaki hingga memasuki arena pertokoan lalu berhenti ketika sampai di depan kedai mie ayam. Di situ, Arka yang mengendarai mobil keluar dari parkiran kantor harus berkendara dan putar balik untuk sampai ke seberang, lalu masuk ke daerah perumahan sampai tempat ia biasa bertemu Sabrina menunggu.

Hal itu semata-mata mereka lakukan supaya nggak ketahuan sama teman kantor mereka. Ya, mereka berdua punya teman kantor yang sama.

"Ya tapi kan kamu juga harus nyetir jauh cuma buat keluar lagi ambil jalan lain." Pokoknya di pikiran Sabrina, rute mereka berdua itu memusingkan.

"Lha terus gimana? Mau bilang aja kita biar nggak perlu sembunyi-sembunyi gini?"

"Nggak mau." Sabrina menggeleng cepat. Baginya itu seperti pengumuman perang kepada dirinya. Lebih tepatnya, jadi menumbalkan diri ke arena tempur. Beberapa perempuan di kantor sudah saling sikut buat ngarep perhatian Arka selama ini. Sebut saja Adel, Cila, Gisel, Bahkan si Dinda, teman dekatnya karena sama-sama dapat julukan 'pendiam' di kantor, diam-diam juga sebenarnya naksir sama pacar Sabrina ini. Mau bikin gempar kayak gimana kalau tiba-tiba Arka mengaku siapa pacarnya.

Sabrina? Hah? Si Nerdy itu? (Sabrina nggak nerdy banget kok. Dia emang berkacamata dan kalau senggang lebih senang baca buku daripada ikutan bergosip di kantor. Eh, apa itu definisinya nerdy?)

"Gitu juga nggak mau. Terus gimana?"

Sabrina mencebikkan bibirnya. Yang sebenarnya membuat Arka ingin meminggirkan mobil ini aja—menciumnya segera.

"Nggak tahu, deh. Kalau dipikirin jadi pusing, padahal nggak mau pusing mikirin ini," rengeknya tak bertenaga, khas pekerja yang baru menghabiskan harinya di balik kubikel gedung tinggi.

Gadis itu melepaskan kacamatanya. Dan Arka dengan jelas bisa melihat buku mata lentik wanita itu. Mengundang senyuman lain sebab lelaki itu tahu, Sabrina terlihat berbeda ketika tanpa kacamata. Lebih memesonanya.

Arka sebenarnya sudah dengar sendiri celoteh Sabrina perkara make up, kalau ia harus pakai penjepit bulu mata dan maskara. Karena bulu mata aslinya itu panjang dan jatuh lurus, suka menabrak kacamata yang bikin risih. Makanya ia jadi belajar pakai penjepit bulu mata biar sedikit bengkok ke atas. But yeah, everything about make up is indeed in purpose to make thing looks nicer. Sabrina jadi kelihatan lebih menarik di mata pria itu. Meski bukan cantik menawan yang membuat sekali impresi langsung jatuh hati, Sabrina lebih pada tipe perempuan yang kalau dilihat-lihat, cantik juga sebenarnya.

Karena tak bisa bemesraan di kantor, Arka senang saja berlama lama dengan gadis itu di luar jam kantor, di mulai dari mengantarkan Sabrina pulang seperti ini. Kadang ia akan mampir  untuk makan malam atau sekedar drinking wine together. Toh memang, dalam skema backstreet mereka, tak banyak yang bisa dilakukan meskipun berada di satu lingkungan kerja. Cuma bisa diam-diam saling melirik dari balik kubikel—yang jauh juga, chatting di aplikasi line karena takut ketahuan kalau lihat profile whatsapp, makan siang juga tidak bareng-bareng kecuali diajak atasan, kalau bertemu pun masih menggunakan sapaan formal. Kak Arka, dan Shabrina. Bukan Ka dan Bi.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang