Weekend itu Arka nganterin Sabrina ke Bandung buat ketemu adiknya. Ya, Sabrina pengen ngomong masalah rumah tangga orang tua mereka sama Fadil. Itu artinya, ini pertama kalinya Arka ketemu keluarga Sabrina. Pas ke Bandung beberapa bulan lalu, Fadil lagi pulang kata Sabrina jadinya mereka nggak ketemu.
"Aku duluan dikasih tahu sama bude Ryanti, Mbak. Kayaknya ibu yang curhat ke Bude karena udah nggak betah kalau nikah terus sama bapak."
Laki-laki berambut gondrong itu mengaduk es mocca floatnya hingga busa putih di atasnya tenggelam sebagian besar.
"Kamu udah nelpon ibu?"
"Udah. Aku udah bilang ke ibu, kalau mau cerai ya udah. Aku nggak apa-apa. Kita kan juga udah gede, nggak perlu ada rebutan soal hak asuh. Aku bilang ke ibu buat mutusin kalau memang udah nggak bisa bareng. Kasihan malah kalau lama-lama nahan juga buat apa kalau nggak ada penyelesaian."
"Baguslah kalau kamu udah ngomong."
Tangan Sabrina mengulur, menyentuh beberapa helai rambut Fadil dan menariknya. Bukan seperti hendak menjambak melainkan menarik lembut untuk mengira panjang."
"Potong dong, Dil. Mau dimodel apa sih rambutmu ini. Emangnya Eca suka gaya rambutmu?"
"Nggak usah ngomongin Eca," sergah Fadil cepat.
"Berantem ya? Atau udah putus." Goda Sabrina.
Fadil nggak menjawab cuma menjauhkan diri, bersandar di kursi. Sambil mulai melahap burger traktiran Arka.
"Makan, Mas." Kata Fadil menawarkan. Bukan ke Sabrina tetapi ke Arka yang dari tadi 'dianggurin' diam.
"Iya, Dil. Mau nambah juga boleh pesen aja lagi."
"Tenang aja. Pasti nambah kok, Mas. Kalau ditraktir pantang makan dikit." Gelak tawa menghiasi meja mereka.
Arka mencomot kentang goreng dari atas meja. Ia belum lapar-lapar banget karena sebelum berangkat ke sini udah makan penyetan di apartemen Sabrina. Pengennya nanti makan yang bernasi, bukan fastfood. Ini jajan formalitas aja karena Fadil ngajak ketemuan di sini yang dekat kantornya. Sabrina juga sebenarnya masak buat Fadil. Dendeng, orek tempe gitu yang kering-kering biar awet buat di kosan. Tapi nggak dimakan sekarang. Kan sayang kalau makan itu padahal bisa beli makanan lain yang dibayarin.
Arka nggak punya adik, jadi nggak tahu gimana rasanya kalau punya adik. Tapi mengakui kalau interaksi sibling yang dipunyai Sabrina Fadil ini berbeda dengan ia dan kedua kakak perempuannya. Mungkin karena jarak usia Fadil cuma beda 3 tahun dari Sabrina makanya meski beda jenis kelamin masih saling perhatian. Atau ya karena beda aja perlakuan dari orang tuanya. Arka dengan kakak-kakaknya itu jaraknya jauh. Delapan tahun lebih yang bikin ia berjarak banget. Kalau jarak usia kakak pertama dan kedua masih agak dekat, satu setengah tahun. Jadi antara dua saudara perempuan itu sama dia, kayak jadi beda kutub deh nggak ada afeksi-afeksi kaya gini, apalagi sekarang pas udah gede. Dulu sih Arka cuma diceritain sama mamanya kalau kedua kakaknya ini suka jadiin Arka objek mainannya. Didandanin lah, dikasih lipstick, dikuncir. Kompak banget kayaknya ngusilin adiknya.
"Bude Ryanti nanyain Mbak lho masih di Jakarta apa udah pindah."
"Oh, iya, mbak lupa ada yang nge-whatsapp tapi ketimbun sama chat kantor. Kenapa emang nanyain?"
"Mau diundang ke acara tujuh bulanan."
"Tujuh bulanan siapa? Mbak Kinan?"
"Mas Asa. Eh, maksudnya ya istrinya Mas Asa."
Sabrina ber-oooh ria. Dua tahun lalu ia diundang ke acara nikahan mereka tapi nggak bisa hadir gara-gara ada acara pelatihan pegawai baru minggu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
General FictionKalau Sabrina pulang bareng Arka, maka dirinya harus berjalan keluar kantornya, menyeberangi jembatan layang, lalu turun, berjalan lagi di trotoar tak ramah pejalan kaki hingga memasuki arena pertokoan lalu berhenti ketika sampai di depan kedai mie...