{12} Gadis Senja

3 2 0
                                    

Ada sebuah petuah yang mungkin berkata untuk diri mereka dimasa depan nanti.

"Janganlah engkau terlarut akan kenikmatan dan kenyamanan sesaat ini. Karena kalau tidak...mungkin disaat membuka mata lagi, dirimu akan sadar kalau itu semua hanyalah sebuah mimpi belaka"

Dan Harura mempercayai akan kata-kata itu. Dia memejamkan matanya, hingga iris plum indahnya tertutup oleh kelopak yang berhiaskan helaian tipis nan lentik.

Dadanya merasakan sakit, bila apa yang diyakininya selama ini mungkin akan terjadi lagi kepada dirinya sendiri. Bagikan boomerang yang menukik tajam, seperti itulah ia takut terkena imbasnya.

Perlahan rasa ini mulai menggerogoti kepercayaannya, pada orang yang benar-benar baik kepada dirinya.

Introvert? Traumatis? Asosial? Antisosial? Entahlah, dia tak tahu. Namun satu hal yang pasti. Bayang-bayang akan masa lalu, membuatnya menjadi seperti ini.

"Huft," lembut namun terkesan berat. Nafasnya berhembus, selaras dengan angin bertiup. Di iringi oleh kicauan burung pingai, membuat suaranya yang mengalun tersamarkan.

"Rion-San"

"Ya"

Kepala yang semulanya tertunduk, kini terangkat. Memperlihatkan manik mata seindah bunga plum.

"Maaf, sepertinya dari sini aku akan jalan sendiri. Terima kasih untuk hari ini. Kamu sudah banyak sekali membantuku," ucap Harura dengan suara yang terkesan lemah.

Gadis itu bangkit dari duduknya. Dia melewati tubuh sulung Doveri yang masih diam mematung ini.

Rion tersadar dari keterpakuannya itu. Kepalanya bergerak, searah putri Sawatari ini pergi.

"Harura," dengan refleks ia bangun dan mencegat tangan itu. Tanpa sadar, dirinya sekilas melihat wajah Harura yang memandangnya takut.

Matanya melirik pada arah rantai yang membelenggu kakinya, hanya sekedar mengecek keadaan. Untaian besi-besi kecil itu tidak menegang, dan disekitarnya juga tidak ada bahaya.

Ah, sekarang dia paham. Gadis senja ini tengah waspada. Tunggu. Waspada? Padanya? Memang dirinya kenapa, hingga majikannya itu mewaspadai dirinya?

Pantas saja rasanya aneh. Sawatari muda ini seperti membangun tembok penghalang antara dirinya dan gadis itu. Entah apa dipikirkan Harura, tapi semua itu membuat Rion bingung.

"Tolong...lepaskan...tanganku," pinta gadis itu dengan suara yang sedikit bergetar. Mungkin rasa takut masih mendominasi dirinya.

Dengan berat hati, kakak kembaran dari Lexo ini harus melakukannya. Melepaskan tautan akan cengkraman sederhana itu dengan perlahan, hingga tak memberikan kesan sakit pada penerimanya.

Padahal dirinya khawatir, namun takut malah membuat remaja perempuan itu tambah terluka jika tangannya tidak langsung bertindak.

"Baiklah, hati-hati di jalan. Kalau kau ada apa-apa...tolong panggil namaku"

Bagaikan angin lalu, gadis bittersweet itu tak mendengarkan ucapan Rion. Sebuah desiran aneh, memenuhi dada makhluk pendaming Lexo ini.

Tak bisa ia ungkapkan. Namun rasanya benar-benar memilukan. Ada sedikit hasrat dari gadis itu, yang membuatnya merasakannya juga.

"Setidaknya kau jangan menunjukan rasa itu kepadaku, Harura. Karena kalau tidak...mungkin perlahan perasaan kita akan melarut menjadi satu. Dan pada akhirnya, aku juga bisa merasakan apa yang kau rasakan," pemuda bersurai abu-abu ini memandangi tangannya yang kosong. Telapak besarnya masih bisa merasakan sisa-sisa sentuhan kulit Harura yang lembut.

Keajaiban CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang