Someone Who Always Here

755 67 2
                                    

"Lagi?"

Itu adalah kata pertama yang diucapkan oleh Nadine ketika dia melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya dan mengetuk pintunya dengan brutal malam-malam begini.

Axel tertawa lebar yang menandakan bahwa dia tidak merasa bersalah dengan keluhan Nadine. Meskipun sambil berdecak, Nadine pada akhirnya tetap melebarkan pintu dan membiarkan Axel masuk. Dan sang tamu tentu saja langsung menyelonong masuk dan berlagak seperti pemilik asli rumah kecil ini. Tiga bulan yang lalu, setelah ayahnya meninggal dunia, Nadine memang memilih untuk pindah secara permanen ke Bali. Sejak itu pula, Axel selalu berkunjung di weekend. Paling minimal dua kali weekend dalam sebulan.

"Xel, serius deh. Ini lo terlalu banyak buang-buang duit di sini. Gue udah baik-baik aja, loh. Lo lihat deh, gue udah mulai punya banyak customer tetap dan semua tetangga gue baik-baik."

"Gue gak ngerasa buang-buang uang," jawab Axel cuek. Dia sekarang sudah merebahkan diri di sofa ruang tamu sekaligus ruang menonton di rumah kecil ini. "Dan baik-baik aja itu kan versi lo, bukan versi gue," lanjut Axel masih dengan kesantaian yang sama.

Nadine memutar bola matanya. Dia tahu bahwa apapun yang dia ucapkan tidak akan membuat Axel mudah paham. Jadi, dia memutuskan untuk membiarkan Axel melakukan apapun yang dia mau. Nadine akhirnya memilih mengambil tas ransel Axel yang berisi pakaiannya dua hari ke depan, yang ditaruh secara sembarangan di lantai dan membawanya ke kamar tamu. Nadine juga mengganti sprei dan bed cover kamar itu meskipun baru seminggu lalu digunakan oleh Axel.    

Meskipun enggan mengakui, hati Nadine terasa menghangat. Sebelumnya, setelah hubungannya dengan Gio semakin berjarak, Nadine tidak banyak berharap bahwa dia dan Axel bisa baik-baik saja. Tetapi ternyata, Axel tidak berubah. Dia tetap menjadi sahabat terbaik yang membantunya melewati titik-titik tersuram dalam hidupnya dan membantunya untuk bangkit kembali.

Pernah saat baru pindah ke Bali, Nadine menanyakan hal ini kepada Axel.

"Xel, lo kenapa mau repot-repot nemenin gue?" katanya waktu itu saat mereka sedang membereskan peralatan di dapur baru Nadine.

"Because we're bestfriend?" jawab Axel sambil mengedikkan bahunya.

"I mean, gue udah ngelakuin hal yang jahat banget ke Gio dan Flora. Lo bisa aja kan jadi ikut jaga jarak ke gue? Lo selalu benci dengan konsep orang ketiga dalam hubungan."

"Dan lo udah menyesali yang lo lakuin ke Gio dan Flora, kan? Jadi kenapa gue harus jaga jarak? Tuhan aja Maha Pemaaf, kenapa gue enggak? Gio dan Flora juga udah maafin lo, malah aneh kalau malah gue yang marah. Ditambah Gio tuh udah sibuk sama keluarganya. Mana bisa dia sebebas dulu gue ajak keluar cuma buat minum sampe teler kayak dulu. Bisa-bisa gue sama Gio digoreng sama Flora. And here you are, lo sendirian dan gue sebagai teman yang berbakti akan dengan tulus dan ikhlas menemani kesendirian lo itu," jawab Axel dan kemudian tergelak sendiri dengan jawabannya.

Dan begitulah, Axel masih terus menemaninya dengan setia hingga saat ini. Menghubunginya lebih dari tiga kali sehari hanya untuk memastikan Nadine sudah bangun dan sudah makan atau sudah bersiap tidur di malam hari. Nadine bisa memahami mengapa Axel seperhatian itu kepadanya. Selain karena Axel memang orang yang baik, Axel juga yang menjadi saksi hidup ketika Nadine bahkan tidak memiliki tenaga untuk sekedar bangkit dari tempat tidur karena kesedihan yang melanda.

Empat bulan yang lalu, kesehatan ayah Nadine semakin memburuk dan semuanya berlalu sangat cepat hingga akhirnya di suatu pagi ketika Nadine mengantarkan sarapan ke kamar ayahnya, ayahnya tidak mau bangun lagi. Hari itu adalah hari dimana seperti ada yang mencabut paksa jiwa Nadine.

Ketika mengetahui ayahnya tidak akan pernah bisa menjawab panggilannya, Nadine hanya bisa duduk terdiam di lantai dan memandangi tubuh kaku ayahnya. Nadine tidak sanggup bergerak sedikit pun dan pikirannya berulang kali meneriakkan bahwa sekarang dia sudah sebatang kara. Ayahnya meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan kepadanya. Padahal malam sebelumnya, dengan tubuh lemahnya, ayahnya masih sanggup tertawa kecil ketika mereka menonton sitcom favorit mereka berdua. Dan sekarang, ayahnya terbaring kaku di hadapan Nadine.

You're Out of My LeagueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang