tigapuluh tiga

50 2 0
                                    

33

"Aku  ingin hubungan kita berlangsung seperti simbiosis mutualisme, tapi aku sadar. Di sini, mungkin hanya aku yang merasa beruntung. Bukan kamu,"---Aisha Valerie.
.

.
.
.

Bel pulang sekolah telah berdentang beberapa waktu lalu. Kebanyakan siswa-siswi bergerak ke parkiran guna mengambil kendaraan untuk pulang. Suasana bangunan sekolah yang mayoritas bercat dusty orange  itu sudah tampak lengang. Begitu pun perpustakaan terlihat sepi. Hanya ada satu penjaga seperti biasa. Dari jarak yang agak jauh ada cowok dan cewek berseragam putih abu-abu duduk di kursi yang berdampingan.

"Sha," panggil Reyes pelan.
Satu hal yang Aisha baru sadari. Panggilan Reyes ke dirinya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia merasa istimewa dengan panggilan itu.

"I-iya?"

"Untuk perkataan gue kemarin...." Reyes menggantungkan kalimatnya sejenak. Lalu mengambil napas.

Aisha memandang cowok di sampingnya dengan berbagai pertanyaan.
"Perkataan yang mana? Yang kalo lo lagi ikut ekskul voli lo nggak bisa ngajarin gue Matematika?"

"Bukan!"

Aisha mencoba mengingat, tetapi otaknya tidak memberi petunjuk. Dan ia hanya berdehem, "Hmm...."

"Dah lupain aja!" tukas Reyes cepat.

"Yaudah lanjut, materi dari Bu Lana tadi pagi tentang Matriks kan? Bagian mana yang lo nggak paham?"

Sedikit malu untuk mengakui, tetapi ia lebih memilih jujur.
'Nggak etis banget kalo seharian ini bohongin orang terus,' pikir Aisha. Pasalnya tadi di kantin ia sudah berhasil membohongi Tiara.

Dengan ragu ia menjawab, "bagian perkaliannya, rumit banget. Sumpah gue nggak ngerti sama sekali."

Cowok di sampingnya menarik napas dalam, dan dihembuskan. Pensilnya digunakan untuk menunjuk sebuah contoh soal yang ada di buku sambil perlahan menjelaskan.

"...caranya tiap baris dikali dengan tiap kolom. Trus lo jumlahin pada baris yang sama. Nanti bakal ketemu hasilnya."

Aisha manggut-manggut. Memegang pensil dan  menirukan  garis coretan yang dibuat Reyes di atas kertas.

"Jadi, ini dikali  pojok sini, ini dikali ini----"

Reyes meletakkan pensilnya.
"Gampang, 'kan?"

"Tetep sulit," sanggah Aisha yang masih mencoba mengingat cara mencocokkan perkalian-perkalian matriks tadi.

Tangan Reyes terulur untuk menutup buku paket Matematika yang terbuka di hadapan Aisha.
"Gue heran sama lo!"

Mata Aisha melebar. Kaget karena materi di buku yang ia coba pahami tiba-tiba ditutup tanpa persetujuannya. Mulutnya hampir saja mengumpat.
"Heran kenapa?"

Reyes memiringkan kepala menghadap Aisha.
"Lo masuk kelas IPA tapi lo nggak bisa Matematika."

Kesal karena merasa diremehkan. Mengabaikan detak jantung yang selalu menggebu ketika bertatap mata dengan Reyes. Aisha menaikkan sebelah alisnya. Lalu berkata dengan percaya diri,
"ngeremehin gue lo? Asal lo tau, nilai ujian nasional IPA gue pas dari SD sampe SMP paling tinggi di kelas. Nilai Fisika sama Biologi gue selama kelas sepuluh kemarin juga nggak ada yang bermasalah. Tapi...."

Aisha menggantungkan kalimatnya. Saat itu Reyes kembali menyeringai.
"Tapi lo bego di Matematika? Padahal intinya hampir mirip sebelas-duabelas sama Fisika, itung-itungan."

Secepat itu pula benteng percaya diri Aisha runtuh. Ucapan Reyes memang tepat seperti panah yang melesat menembus ulu hati.

"Tiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan sekarang lo udah tau kelemahan gue. Matematika sama Kimia."

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang