11. Study Lapangan (After Rain)

16 1 2
                                    

Dancing on the hood in the middle of the woods
On an old Mustang, where we sang
Songs with all our childhood friends
And it went like this, say

Oops, I got 99 problems singing bye, bye, bye

2002_Anne Marie
.
.
.

"You pray for rain, you gotta deal with the mud too. That’s a part if it." He said.

"Don’t threaten me with love, dude. Let’s just go walking in the rain." She said.

"Over it." I said.
.
.
.

Lagi aku dibuat terkesima dengan kebaikan Aira. Saat Adya dan Vanesha fokus mengejekku, Aira malah bertanya keadaan bajuku yang basah. Dengan inisiatif dia meminjamiku kaosnya karena ia membawa 2 baju ganti. Sayangnya jas almamaterku basah. Jadi aku hanya memakai kaosnya Aira di udara dingin ini.

Suasana usai hujan membuatku nyaman untuk tidur sebentar di dalam elf. Tidak dingin juga tidak panas.
Pada perjalanan menuju Taman Anggrek di kawah Gunung Kelud, destinasi terakhir suasana elf sudah tidak seramai tadi. Aku yakin teman-teman sama lelahnya denganku.

Saat tiba di tempat wisata pun kami malas-malasan turun dari elf. Ya kami lapar tapi enggan mencari makan. Jangan harap ada jatah makan siang saat study lapangan ini menekan budget sedikit mungkin agar kami semua bisa ikut tanpa mempermasalahkan biaya.

Saat melihat anak elf sebelah berbondong-bondong turun dan memanggil kami untuk keluar barulah salah satu di antara temanku bergerak disusul yang lainnya.

Udara di luar lebih dingin dari bayanganku. Mana lagi cuma pake kaos lengan pendek. Sambil memeluk diri sendiri aku berjalan menghampiri teman-teman yang bergerumbul di bawah pohon. Foto bersama satu kelas mumpung belum bubar barisan ilang sendiri-sendiri.

"Jangan bilang lo ga bawa jaket." Suara Devan yang entah sejak kapan di belakangku membuatku menoleh. Devan memakai kaos biru dan jaket merah yang cocok di kulit tan nya. Ah kacamata hitamnya membuatnya terlihat nyentrik. Apalagi rambut gundulnya.

"Em nggak. Mana tahu bakal basah sampe dalam." Devan hanya menggelengkan kepala.

"Emang susah ya lo diberitahu. Udah diperingati bawa payung, jas hujan, baju ganti, sama jaket tambahan. Ga ada atupun yang lo bawa. Itu tas lo isinya apa? Tas kecil gitu paling gincu doang. Kedinginan kan lo jadinya." Aku mendengus kesal mendengarnya mengomel. Mirip mama ku.

Tadi emang udah mama siapkan di tas ransel. Tapi ketinggalan di depan rumah saat berpamitan. Aku ingat saat sampe sekolah. Ga mau merepotkan ayah jadi aku cuma diem. Orang tua ku kayaknya juga ga akan sadar kalau tas ku ketinggalan. Aku menaruh tas itu di lantai depan pintu samping kaki kursi. Kecuali mama lagi nyapu mama ga akan sadar ada tas disana.

Untung hp dan dompet ku ada di tas kecil ini. Jadi aku nggak bingung banget.

"Ya gimana orang lupa."  Aku menepiskan bibir sadar akan kecerobohanku. "Mending daripada ngomel itu jaket kamu kasih ke aku."

Dengan berdecak kesal Devan melepas jaketnya.

"Eh beneran dikasih pinjam ke aku!" Batinku dalam hati. Sepanjang ingatanku Devan tidak sepemurah itu.

"Nih pake." Dia mengulurkan jaketnya namun aku enggan menerima.

"Nggak jadi, kamu pake sendiri aja Dev." Aku sungkan saat kami jadi perhatian teman-teman.

Karena emang jarak kami semua berdekatan. Mereka nggak kaget kalau aku dan Devan baku hantam. Tapi saat aku dan Devan mendadak akur pasti jadi pertanyaan.

How Can BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang