4. Kegelisahan

15 2 1
                                    

Ah, ternyata seperti ini rasanya setelah menemukan cahaya. Nyaman.

💚

Aku menjatuhkan diri ke ranjang setelah melepaskan jaket hitam dan melemparkan benda itu ke sembarang tempat. Setelah bersusah payah di perjalanan, akhirnya aku sampai juga ke kontrakan.

Jarum pendek mengarah ke angka tiga pada dini hari. Pantas saja di luar masih sepi. Mang Atep pun belum kelihatan saat aku pulang tadi. Biasanya ia akan bangun untuk salat Subuh. Aku tahu karena selalu dibangunkan oleh orang itu.

Yah, meski ending-nya, aku tetap tertidur.

Aku mendesah lelah sambil menekan-nekan pangkal alis. Secara bersamaan, suara merdu si gadis--entah siapa namanya-- mendadak terngiang di kepala ini.

Gua kenapa, sih?

Lagi, pertanyaan yang sama menghantui.

Kegelisahan masih setia menyelubungi. Aku mengubah posisi menjadi miring, tetapi hal itu sama sekali tidak membantu. Hingga akhirnya, aku pun telentang lagi.

Pemandangan berupa langit-langit kamar yang putih kusam mendadak cerah. Seraut wajah tergambar di sana. Sepasang mata bulat yang dinaungi bulu mata lentik, hidung kecil, dan bibir penuh nan ranum. Dia sangat can--eh? A-apa yang barusan kupikirkan, sih?

Aku terduduk saking kagetnya, lalu mendongak lagi. Namun, gambaran wajah itu tidak ada.

Penasaran, aku mengucek kedua mata, lalu memeriksa langit-langit sekali lagi. Hasilnya ... tetap nihil.

Oh, pasti gua udah gila!

Rasa penasaran yang terus menggerogoti menyebabkan aku tidak bisa memejamkan mata. Entah kenapa hatiku terus tertarik pada gadis bersuara merdu yang wajahnya saja belum pernah dijumpai.

Kemudian, aku mendengar suara air mengalir yang membuyarkan lamunan. Aku refleks melihat ke arah jam. Ah, tak terasa sudah pukul 04.00.

Azan Subuh tinggal beberapa menit lagi, tetapi mataku malah memberat. Seolah-olah telah menjadi kebiasaan. Tanpa memedulikan Mang Atep yang sebentar lagi pasti akan mengajak salat, aku malah merebahkan diri, bersiap terlelap.

* * *

"Ya Allah, Imrit!"

Dengan sempoyongan, aku mengerjap ketika mendengar seruan Mang Atep yang bernada khawatir.

Pukul 05.00, aku memang keluar kamar. Ternyata bersamaan dengan Mang Atep yang tengah bersiap bekerja. Sebagai seorang pegawai kebun karet, laki-laki itu memang harus berangkat setelah Subuh.

"Ari maneh kunaon, Mrit? (Kamu kenapa, Mrit?) Mabok? Euleuh ... euleuh ... dosa eta teh!" Mang Atep bertanya sambil membantuku berjalan menuju ruang depan.

Aku hanya menggeleng. Lidahku masih terlalu kelu untuk menjelaskan kejadian tadi malam.

Untungnya, Mang Atep mengerti dan tidak bertanya lagi. Laki-laki paruh baya yang hanya mengenakan kaus dalam dengan sarung itu terus menggamit lenganku hingga aku dapat berlesehan.

"Gua bikinin teh, ya? Biar badan lo agak enakan," tawarnya kemudian.

Masih dengan kepala pening, aku bersandar pada dinding. Membuka mata sedikit, baru aku menjawab, "Enggak usah, Mang. Gua baik-baik aja, kok. Cuma pusing karena semalem kurang tidur."

"Beneran, nih?"

Aku mengangguk. "Heu'euh, Mang. Mang Atep kerja aja sana. Daripada ngurusin gua," lanjutku.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang