20. Antara Hidup dan Mati

10 2 0
                                    

Aku tidak tahu ini ada di mana. Hanya kegelapan yang terlihat. Layaknya ruang hampa berdinding hitam. Bukankah tadi aku sedang berbicara dengan Bang Don? Lalu, mengapa bisa ada di sini?

Ugh ...!

Aku meringis kuat sembari memegang perut yang terasa amat nyeri. Melihat ke tubuh bagian tengah, aku langsung tersentak ketika mendapati darah keluar dari sana.

Ah, sekarang aku ingat. Ini perbuatan Bang Don. Namun, sekali lagi, alih-alih berada di rumah sakit, mengapa aku malah ada di tempat asing?

Suara-suara teriakan dan rintihan menarik perhatianku. Tanpa dikomando, kedua kaki ini bergerak mengikuti arah datangnya keramaian itu. Aku penasaran, ada apa di sana sampai orang-orang itu terdengar seperti sedang kesakitan?

Ruangan hitam ini terus berlanjut. Aku mengira tidak akan ada ujungnya. Di detik-detik hendak menyerah, selarik cahaya menyeruak masuk. Kedatangannya yang tiba-tiba begitu menusuk mata. Aku merasa sebentar lagi akan buta.

Beruntung, sebelum hal itu benar-benar terjadi, cahaya perlahan-lahan menghilang. Penglihatanku pun berangsur normal. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama ketika jeritan disertai teriakan memohon ampun lebih jelas tertangkap gendang telinga.

Sebenarnya, ada ap--astagfirullah!

Aku membulatkan mata, bahkan nyaris melotot. Perut serasa diaduk dengan kecepatan cepat. Mual. Keringat dingin mulai bercucuran dengan seluruh tubuh gemetaran.

Otakku memberi komando agar aku lari dari sana. Namun, kedua kaki ini enggan mematuhi perintah yang diberikan. Aku berdiri kaku di depan pemandangan orang-orang yang sedang disiksa.

Wajah mereka menyedihkan. Ada yang menghitam dan lebih buruknya berkepala hewan. Aku jatuh berlutut. Seluruh sendi terasa lemas. Yang sedang digambarkan sekarang adalah neraka. Meskipun aku tahu, neraka asli akan jauh lebih buruk dari yang aku saksikan saat ini.

Oh, Allah! Apakah aku termasuk golongan hamba-Mu yang akan berada di sini? Aku meringkuk ketakutan, memeluk diri sendiri. Berbagai dosa yang telah kulakukan terus membayang di benak. Mereka bergerak cepat, seolah-olah mengejek ketidakberdayaanku.

Aku menunduk, menyembunyikan wajah di antara dua lutut. Air mata bercucuran tanpa dapat ditahan lagi. Kemudian, teriakan dan jeritan kepedihan berganti dengan kicauan burung yang amat riang.

Aku seketika berhenti menangis, bingung. Dengan penasaran, kunaikkan kepala, dan pemandangan yang sangat berlawanan langsung memenuhi mata.

A-apa ini?

Aku seperti berada di negeri dongeng. Sebuah pohon raksasa menaungi tempat aku duduk sekarang. Beberapa burung berkicau riang sambil bercanda. Hewan-hewan lain pun tampak bersuka cita.

A-apakah ini surga?

Aku tidak berani menyimpulkan lebih. Seperti halnya neraka, aku yakin surga Allah jauh lebih indah daripada yang terlihat olehku saat ini.

Oh, nikmat Tuhan manakah yang bisa aku dustakan? Jika ganjaran berbuat baik adalah tempat yang akan lebih indah dari ini, mengapa justru banyak orang yang berbondong-bondong melakukan perbuatan buruk? Salah satunya ... aku.

Tangisku tumpah lagi. Penyesalan tertanam begitu dalam di hati ini. Kemudian, aku bersyukur karena diberi kesempatan bertobat. Hal itu sedikit menetralisir sesak yang ada.

Saat sedang tenggelam dalam lautan penyesalan, suara seorang perempuan memasuki gendang telinga. Dia melirihkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sesekali, isak tangis membuatnya berhenti. Dia ... siapa?

Aku bangkit. Dengan tertatih-tatih, aku mengikuti arah suara perempuan itu. Anehnya, jantung yang sudah tenang, kini kembali berulah.

Tempat ini sangat luas. Ternyata, bukan hanya satu pohon raksasa yang tumbuh. Aku menemukan yang lainnya ketika terus berjalan tanpa tujuan yang pasti.

Entah sudah berapa lama aku berjalan saat melihat seseorang duduk di atas akar salah satu pohon raksasa. Aku mengedutkan kening, seperti mengenal tubuh itu.

Baru saja hendak menghampirinya, aku urung karena mendengar bacaan Al-Qur'an yang dibacakannya sangat lirih dan sedih.

Dia kenapa? Apakah ada kejadian buruk yang terjadi padanya?

"Kang Imri ...."

Aku tersentak, lalu celingukan. Siapa yang memanggilku barusan?

"Kang Imri ...."

Tidak ada orang lagi di sini selain aku dan perempuan itu. Namun, jika memang dia yang memanggil, mengapa lantunan ayat suci tetap terdengar?

Aku melanjutkan langkah, menghampiri sosok itu. Makin dekat, aku makin yakin dengan pemikiranku saat ini. Dia ... Afi?

Tak tahan terus tenggelam dalam rasa penasaran, aku mempercepat ayunan kaki. Namun, suara-suara mengaji mendadak hilang. Pun dengan perempuan yang kukira Afi itu.

Belum sempat menyuarakan pertanyaan, dari pohon besar tempat bernaung sosok itu muncul cahaya yang sangat terang. Aku mengerang sambil menutup kedua mata dengan tangan. Tidak kuat karena terlalu silau.

Rupanya, keanehan tidak berhenti sampai situ saja. Tubuhku seperti tersedot ke dalam pohon itu. Aku berteriak, meminta tolong. Tubuhku sakit, terutama pada bagian perut.

Setelah berputar-putar tidak jelas di dalam sana, aku diam. Seberkas cahaya memaksaku membuka mata ini. Buram. Ada langit-langit putih yang menjadi pemandangan pertama. Kemudian, isak tangis.

"Alhamdulillah, Kang Imri!"

Ucapan-ucapan syukur dilayangkan, disusul derap langkah kaki--entah milik siapa. Setelahnya, ruangan hening. Lalu, derap kaki kembali terdengar. Kali ini sepertinya lebih dari satu orang.

Aku berusaha mencerna di antara penglihatan yang masih buram dan pikiran linglung. Sesuatu yang dingin mengenai dada, lalu tanganku diperiksa seseorang.

"Alhamdulillah, Pak, Bu. Pasien sudah berhasil melewati masa kritisnya. Jika memungkinkan, sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap."

Kritis? Siapa yang mereka sebut kritis?

"Dok, tapi kenapa Kang Imri enggak ngomong apa-apa? Cuma diem? Padahal matanya kebuka."

"Pasien masih dalam keadaan syok, Pak. Nanti ...."

Enggak ngomong? Bukannya dari tadi gua ngomong terus, ya?

"Assalamu'alaikum, Kang Imri."

Wa'alaikumussalam.

Tunggu! Kenapa suara gua enggak kedengeran?

Aku berusaha mengalihkan tatapan dari langit-langit putih. Jantung ini langsung berdegup kencang saat sepasang mata bening bertemu pandang denganku. Itu ... Afi?

Suasana sekitar terasa hening. Waktu seolah-olah berhenti sementara. Demi kekagumanku pada sosok ini, tidak pernah kami sedekat sekarang. Sekali pun.

"Aba, Kang Imri lihat aku."

Suara lembut Afi mengalun lembut. Ada nada khawatir yang tersirat. Hal itu membuat hatiku menghangat. Terbiasa hidup sendiri, ternyata amat menyenangkan ketika ada yang orang yang memedulikan.

"Kang Imri?"

Iya ... calon istriku?

Aku ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun, lidahku terasa kelu. Seperti ada sesuatu tak kasatmata yang menghalangi tenggorokan. Sakit.

Ekspresi khawatir kembali terlihat di wajah Afi. Tidak! Jangan seperti itu! Aku hanya ingin melihat senyuman Afi. Bukan air muka sedih yang membuatku ikut bersedih.

"Kang Imri, makasih karena udah bangun."

Makasih?

"Makasih karena udah mau bertahan."

Aku makin tidak mengerti dengan ucapan Afi. Mengapa dia harus berterima kasih?

"Kang Imri ...."

Aku menunggu kelanjutan kata-katanya.

"Saya ... mau jadi istri Kang Imri."

Untuk sejenak, aku menahan napas.

___

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang