Dengan langkah panjang-panjang, aku menghampiri orang-orang yang mengepung Afi. Tidak akan kubiarkan mereka melukai calon istriku itu. Tidak sedikit pun.
"Bukannya urusan gua sama Bos Ion udah selesai, ya? Kenapa sekarang malah bawa-bawa orang yang enggak ada hubungannya, sih?" Aku menempati sebelah kanan Afi sambil bertanya dengan nada datar.
Tak hanya Afi, anak buah Bos Ion pun terlihat terkejut atas kehadiranku. Sebelum kemudian, ketiga orang itu melayangkan senyum miring ke arahku. Hoo, mau ngejual laga. Oke! Gua beli! Aku membalas mereka dengan senyum tak kalah miring sampi kepala ini ikut miring. Eh.
"Mang--eh, maksud saya, Kang Imri kenapa bisa ada di sini?"
Aku memutar arah pandang. Seraut wajah ayu dengan sepasang mata bening langsung membuatku terpana. Dengan konyolnya, aku menjawab, "Firasat," lalu ditutup oleh tawa konyol. Anjir, gua kenapa mendadak bego, sih?
"Widih, pahlawan kesiangan udah datang, Bro," kata Mimid, salah seorang dari mereka yang berambut keriting.
Perhatianku teralih lagi. Tampang-tampang sangar segera menggantikan. Ugh, ingin rasanya aku meremas wajah mereka.
"Bukan kesiangan kali, ini, kan, udah sore. Berarti kesorean, Mid!"
Aku hampir menyemburkan tawa jika tidak melihat pelototan Mimid. Sosok yang tadi berbicara, Ido, memang agak seperti itu orangnya. Aku cukup menyayangkan dia yang mau bergabung dengan mereka. Yah, sama sepertiku dulu. Semoga saja Ido lekas mendapatkan hidayah. Aamiin.
Sementara satunya lagi ada Yoyon, tangan kanan Bos Ion. Dia memiliki kepribadian pendiam dan cenderung misterius. Wajahnya juga menyeramkan. Ada bekas luka yang melintang di alis kirinya. Sejak tadi saja, Yoyon hanya menatap datar ke arahku tanpa mengatakan apa pun. Hiih! Pengen gua colok aja kalau ... berani.
"Heh! Kenapa jadi pada diem-dieman? Serang!"
Aku terkesiap, lantas buru-buru mengumpulkan fokus lagi. Dengan refleks, kakiku memasang posisi kuda-kuda. Afi kugeser ke belakang tubuh. Gentle, 'kan? Harus! Namanya juga sama calon istri. Oke, lupakan!
"Mang, eh, Kang Imri ngapain, sih?"
Yah, Afi kayaknya perlu biasain nyebut gua Kang daripada Mang. Agak gimana gitu. Kayak manggil Mamang siomay yang suka lewat di depan pondok kalau sore.
"Saya mau ngelindungi Neng Afi, atuh." Dengan percaya diri, aku menjawab. Pasti sesudah ini Afi akan tambah kag--
"Enggak usah, M-Kang!"
"Lo, kok, enggak us--"
Ucapanku terpotong oleh teriakan Afi yang mendadak maju ke arah lawan. Dengan luwesnya, dia mengayunkan tendangan ke arah para anak buah Bos Ion sambil mengangkat roknya agar tidak menghalangi. Hal itu membuat celana hitam panjang yang dikenakamnya jadi terlihat ke mana-mana.
Aku melongo, takjub akan aksi putri sang kiai. Apalagi dia dapat menumbangkan Mimid dan Ido dengan singkat. Ternyata aku terlalu meremehkan kemampuan Afi. Oh, sangat dilarang mencontoh. Namun, pengecualian bagi Yoyon. Orang itu cukup menguasai bela diri. Selain aku, Bos Ion bahkan mengandalkannya juga.
Tak ingin berdiam diri saja seperti orang bodoh, aku lekas bergabung ke dalam pertarungan. Ido sudah benar-benar tumbang. Sementara Mimid kembali bangkit dan melawan Afi.
Aku kini berhadapan dengan Yoyon. Seperti yang sudah-sudah, tatapannya tetap datar. Aku jadi sulit menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
"Lama enggak ketemu, Bro," kataku, basa-basi.
"Ya." Hanya itu balasan Yoyon.
Cih, ngeselin banget, 'kan?
"Sini maju!" Aku mengangkat tangan, lalu menggerak-gerakkan jari telunjuk.
Yoyon hanya diam saja.
"Balik, Kang! Udah beres!" Teriakan Afi menginterupsi kegiatan bertatapan kami.
Aku menoleh, lalu menunjuk Yoyon dengan terang-terangan. "Ini yang satu belum," balasku kemudian.
Afi mengibaskan tangannya sambil menggeleng-geleng. "Enggak usah, Kang. Dianya ge diem aja. Balik, yuk! Keburu Magrib!"
Eh? Bisa begitu emang?
Karena Afi sudah meminta pergi, aku pun tak punya pilihan lain selain menuruti. Daripada dicap jelek olehnya. Yah, memang se-bucin ini seorang Nadzom Imrithi pada Syarah Alfiyah.
Aku menjauh dari Yoyon, sedangkan Afi sudah lebih dahulu berjalan ke arah pasar tadi. Dia membawa satu keranjang yang berisi sayur-sayuran.
Tiga langkah. Dua langkah. Tiga hingga seterusnya, ternyata memang tidak ada tindakan lagi dari mereka. Aku mengernyit, lantas menoleh ke belakang tanpa menghentikan langkah. Mimid, Ido, dan Yoyon ... tidak ada di sana. Lo? Mereka ke mana?
"Kang Imri ke sini naik motor?" Afi mulai membuka percakapan.
Seorang ibu berjalan terburu-buru ke arah kami. Aku yang memilih berada di belakang Afi--untuk berjaga-jaga--langsung menuju ke depannya, dan menghalangi bentrokan ibu itu dengan punggung agar tidak mengenai Afi. Yah, layaknya bodyguard bagi tuan putri.
Dalam beberapa detik, aku bertahan dalam posisi ini. Kemudian, setelah kami berhasil melalui keramaian dan tiba di depan gapura pasar, aku balik ke posisi awal. Bedanya, kini aku memilih berada di samping Afi.
"Makasih, Kang."
"Buat yang tadi dateng sebagai penyelamat?" Aku bertanya dengan pedenya, lalu menyugar rambut, "O, iya, sama-sama."
"Bukan, Kang. Maksud saya yang barusan."
"Eh. I-iya." Aku tersenyum kikuk sambil menggaruk rambut--yang tentu saja tidak gatal.
Ya, iyalah. Mana mungkin dia makasih buat yang tadi. Gua aja enggak mgelakuin apa-apa, kok.
"Kang, saya duluan, ya."
Aku mengerjap, lalu melayangkan pandangan pada sang pembicara. Detik selanjutnya, aku melongo karena mendapati Afi sudah duduk anteng di dalam mobil yang baru kembali dari kota. Belum sempat membalas ucapannya, kendaraan besar roda empat itu keburu melaju. Meninggalkan asap polusi yang membuatku terbatuk-batuk, serta suara dengungan yang mengganggu telinga.
Ah! Gagal sudah mencari kesempatan dalam kesempitan!
Dengan wajah nelangsa, aku berjalan lunglai menuju tempat parkir. Ya, sudahlah. Yang penting sudah melihat sang pujaan hati. Cielah, gaya lu, Mri.
Setelah menyerahkan kartu nomor parkir pada penjaga tempat itu, aku lekas menaiki motor, dan menyalakan kendaraan roda dua itu.
Jalanan Cikelat ramai-lancar sore ini. Sama seperti saat aku ke sini. Pepohonan mendominasi perjalanan, berikut rumah penduduk yang kebanyakan masih tradisional. Dinding anyaman bambu dan alas papan kayu.
Eh, tapi, tunggu, deh!
Aku mengarahkan motor ke tepi jalan, lalu berhenti di bawah sebuah pohon. Ada yang mengganjal pikiranku. Namun, apa?
Aku mencoba mengingat-ingat. Siapa tahu ada barang yang terlupa. Tadi sebelum berangkat pamit kepada Kiai Ahmad, sudah. Menutup pintu kamar, um, sudah. Terus apa lagi?
Tujuanku ke pasar, membeli celana dal--oh, iya! Gua udah beli belum, ya?
Aku lekas turun dari motor, lalu mengecek ke dalam bagasi, dan ... oh, tidak!
Sekarang aku tahu, yang ketinggalan adalah celana dalam di toko!
Duh, Mri! Mri! Blegug pisan, ah!
___
Ya, ampun, part ini beneran ngaco😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]
SpiritualTerinspirasi dari cerita yang dikisahkan oleh ayah tercinta. ____ Kegelapan itu mengurai menjadi titik-titik, lalu menghilang kala datangnya cahaya. Seperti takdir Nadzom Imrithi, seorang maling, yang jatuh cinta pada Syarah Alfiyah, putri dari pimp...