5. Mendadak Melamar

15 3 1
                                    

Kamu itu seperti rembulan di pelupuk mata. Terlihat, tetapi sulit dijangkau.

💚

Kiai Ahmad sungguh sederhana. Beliau berbeda sekali dengan apa yang selama ini kupikirkan. Tidak ada jubah kebesaran dan serban melilit kepala. Beliau hanya mengenakan kaus oblong putih yang dimasukkan ke sarung batiknya.

"Ini, teh, saha?"

Lamunanku buyar kala sosok yang sejak tadi dipikirkan bersuara. Kali ini tertuju padaku.

Menarik ujung bibir, aku lekas membalas, "Punten, Kiai. Saya Nadzom Imrithi. K-ke sini memang ada urusan dengan Kiai." Diam-diam, aku mengembus napas lega. Peganganku pada kain pembungkus keramik makin mengerat. Deg-degan, euy!

Ah, bodo amat masih ada Ibi juga. Siapa tau Pak Kiai kenal sama cewek bersuara merdu itu.

Tatapan penasaran langsung kudapatkan dari Kiai Ahmad, sebelum kemudian, bibirnya menggaris senyum penuh arti. Sosok berkarisma itu lalu beralih pada Ibi, dan berkata, "Kamu bisa duluan, Bi. Yang lain tolong dikondisikan. Saya ada urusan sama Kang Imri."

"Muhun, Aba." Ibi mengangguk patuh, lalu menyalami Kiai Ahmad. "Kang Imri, saya duluan, ya," pamitnya kepadaku.

Aku tersenyum, menyengguk. Ternyata Kiai Ahmad dipanggil Aba di sini. Hal terduga lainnya, Ibi juga menyalamiku. Hati ini langsung berdenyut. Aku sadar benar tidak pantas mendapatkan perlakuan sopan itu.

"Ayo, Kang Imri, kita ke rumah saja biar enak ngobrolnya," ajak Kiai Ahmad.

Dari punggung Ibi yang mulai menjauh, aku beralih pada sosok di depanku, lalu mengiakan dengan patuh.

Kiai Ahmad membawaku belok kanan setelah melewati gapura pesantren. Pot-pot berisi tanaman hias langsung tertangkap pandangan. Sangat asri dan menyejukkan.

Jalanan kecil dilapisi keramik yang cantik. Membuatku betah meski hanya berlama-lama menunduk. Dua ekor burung kecil bersenandung riang di dahan pohon mangga. Aku tanpa sadar menarik bibir melihat mereka.

"Pondok pesantren Darul Muttaqin ini sudah berdiri selama sepuluh tahun, Kang."

Aku lekas memusatkan perhatian pada Kiai Ahmad ketika beliau membuka suara. Ah, ternyata cukup lama juga, ya.

"Tadinya bukan di sini, tetapi di Kertamukti. Sejak istri meninggal, saya jadi pindah ke sini sama Afi."

"Afi?" ulangku tanpa sadar dengan suara pelan.

"Iya, Kang." Kiai Ahmad membalas. Ternyata beliau mendengar suaraku. "Afi itu putri saya satu-satunya. Saya dan Afi ...."

Informasi terakhir mendadak membuat jantungku berdegup sampai suara Kiai Ahmad tak terdengar lagi. Aku tanpa sadar mengernyit karena keanehan yang saat ini terasa.

Afi? Dia ... siapa? Kenapa denger namanya aja gua udah deg-degan, sih? Apa jangan-jangan ....

Mataku langsung membulat sempurna ketika satu pemikiran terlintas di benak. Tak dapat menahan rasa keingintahuan, mulutku malah berucap sembarangan.

"Putri Kiai punya suara bagus, ya?"

"Iy--eh? Kenapa kamu bisa tahu tentang hal itu?" Kiai Ahmad spontan menghentikan langkah. Aku pun mengikutinya. Wajah beliau benar-benar menampilkan raut terkejut.

Baru tersadar telah keceplosan, aku gelagapan. Sekarang, apa yang harus kulakukan?

Alamak!

"I-itu ... dari ... denger-denger aja?" jawabku ragu. Jantung yang sempat tenang, kini berulah lagi. Duuh, mrit! Bego banget, sih!

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang