17. Kejujuran

11 2 0
                                    

"Ada apa, Kang Imri?"

Aku meremas tangan dengan gugup. Pasalnya, sekarang aku mendatangi Aba untuk melakukan sebuah pengakuan. Aku ingin jujur kepada beliau tentang semuanya. Aku tidak bisa terus-menerus berada dalam kebohongan yang mencekik ini.

Namun, aku tidak menyangka akan se-mendebarkan ini! Keberanian yang kupupuk sejak beberapa menit silam, kini entah pergi ke mana.

Lidahku terasa kelu. Sementara air mata sudah bersiap keluar dari kelopak. Ugh, aku juga mendadak mulas. Bagaimana ini?

"Kang Imri? Kok, diam saja?"

Tersentak, aku lekas menaikkan pandangan, menatap beliau takut-takut, lalu berkata, "Ma-maaf, Aba."

"Lo, kenapa malah jadi minta maaf, Kang?" Aba menatap heran ke arahku.

Aku meringis, lalu menunduk lagi. Di dalam kepala, aku berusaha keras menyiapkan kata-kata pembuka yang tepat.

"A-Aba … sa-saya datang ke sini karena mau mengaku tentang sesuatu." Setelah susah payah menyingkirkan duri dalam tenggorokan, akhirnya aku bisa bersuara.

"Oh?" Nada bicara Aba terdengar kaget, beliau lantas melanjutkan, "Bicara saja, Kang."

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya lagi. Tangan meremas sarung yang kukenakan, sekadar mencari kekuatan meski percuma.

Ayo, Mri! Lu bisa, lu bisa!

"Aba, saya minta maaf sebesar-besarnya karena apa yang saya katakan nanti akan membuat Aba kecewa atau bahkan marah. Di antara semua hal, hanya keinginan saya dalam meminang putri Aba yang bukan kebohongan. Selain itu, saya ...," aku berdeham, "saya sebenarnya bukan seorang ustaz seperti apa yang Aba atau para santri kira. Saya ... lebih buruk dari perkiraan."

Aku menunduk dalam. Sungguh tidak berani menatap mata Aba meski aku penasaran bagaimana ekspresi beliau sekarang.

"Lalu," Aba bersuara. Aku deg-degan setengah mati menunggu lanjutan ucapan beliau.

"Kang Imri ini siapa?"

Aku seketika mematung sambil menelan ludah pahit. Pertanyaan tentang ilmu nahu-saraf yang sampai saat ini sedang kupelajari, rasanya menjadi lebih baik daripada pertanyaan yang Aba lontarkan tadi.

"Kang?"

Aku tahu, saat-saat ini harus dihadapi apa pun risikonya. Namun, sekali lagi, aku sungguh takut sekali!

"Aba, dulu saya pernah maling. Saya pernah mengambil barang-barang yang bukan hak saya. Saya tidak bisa mengaji. Bisa salat juga baru-baru sekarang. Saya bahkan sudah berbohong dengan mengatakan bisa mengajar para santri. Nyatanya, saya yang belajar kepada mereka."

Aku mengatakan itu dalam satu tarikan napas sambil memejamkan mata. Setelahnya, hening. Perasaan gelisah melanda meski terselip sedikit lega.

"Saya sudah tahu semua itu, Kang."

"Saya siap diber--eh, maaf?"

Aku lekas membuka mata, menatap Aba dengan terkejut. Apa kata beliau tadi? Su-sudah tahu? Sungguh?

Aba tampak tersenyum teduh. Padahal aku sudah siap bila akan dipukul atau langsung diusir secara tidak terhormat. Respons Aba yang terlalu tenang malah membuatku lebih ketar-ketir.

"Saya sudah tahu sebelum Kang Imri cerita."

Bahuku seketika melemas. Kakiku mendadak berubah menjadi jelly. "Jika Aba sudah tahu, ke-kenapa Aba tetap menerima saya?" tanyaku, syok.

"Karena saya ingin Kang Imri berubah menjadi lebih baik. Saya percaya, Akang adalah orang baik yang tersesat dalam lembah hitam. Alhamdulillah, Allah menuntun Kang Imri dengan perantara anak perempuan saya, Afi."

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang