14. Nadzom Imrithi

22 2 0
                                    

Aku tak bisa menghapus senyum yang terus mengembang ini sembari menatap benda pipih persegi panjang yang ada di tangan. Handphone.

Alhamdulillah, setelah menabung selama satu tahun, aku berhasil membeli ponsel dari hasil mengajar di pondok pesantren. Halal. Kata itulah yang paling membuatku senang. Aku bisa membeli sesuatu bukan dari hasil pencurian. Ah, masa-masa kelam itu.

Hubunganku dengan Afi pun makin menunjukkan perkembangan. Aku tidak akan melupakan bagaimana ekspresinya saat mengetahui jika aku adalah sosok yang ia panggil Mamang.

Air muka meringis dengan bibir terus menggumamkan kata maaf. Oh, ia sungguh menggem--astagfirullah! Aku menggeleng-geleng. Bila dulu terasa lazim membayangkan wajahnya, kini aku sudah mengetahui ada batasan antara laki-laki dan perempuan.

Bosan, aku memutuskan keluar kamar. Akhir-akhir ini, ruangan pribadiku itu memang menjadi tempat favorit. Entah mengapa. Mungkin karena jadwal mengajar lebih lapang berkat bantuan Arsyil dan Ibi.

Taman belakang menjadi tempat pelarianku. Di sini sangat sejuk karena aku datang sebelum salat duha--di bawah jam sembilan. Tanaman hias dalam pot tanah liat berjajar rapi seperti di jalan setapak menuju rumah Aba.

Ada dua bangku besi panjang putih yang terletak di bawah pohon waru dengan posisi saling berlawanan. Aku mendaratkan bokong pada salah satunya.

Kicau burung meramaikan suasana. Mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya di ufuk timur sana. Aku menempelkan punggung pada sandaran kursi dan memejamkan mata.

Suara para santri yang sedang menghafal nadzoman terdengar sayup-sayup. Bersantai sebelum salat duha dan mengajar rasanya tidak buruk juga. Setidaknya, aku masih memiliki beberapa menit berada di sini.

* * *

"Kang Imri, saya boleh tanya satu hal enggak?" tanya Ibi.

Saat ini, aku, Arsyil, dan Ibi sedang duduk-duduk di serambi majelis usai salat Isya. Kami biasanya membicarakan hal apa saja sebelum waktu tidur tiba. Ibi yang selalu mendominasi karena remaja itu paling ceriwis.

"Kamu, teh, teu sopan pisan sama Kang Imri, Bi," sahut Arsyil.

Aku tersenyum. Dua laki-laki yang telah melewati masa akil baligh itu memang sering bertengkar. Meski begitu, mereka selalu bersama-sama. Aneh, 'kan?

"Enggak apa-apa, Ar," kataku pada Arsyil. Ibi langsung menjulurkan lidah pada temannya itu. Sementara Arsyil sendiri hanya memasang ekspresi datar.

"Udah, udah," leraiku. "Jadi, Ibi, kamu mau tanya apa?" Aku menatap remaja yang duduk di sisi kananku. Ia melepaskan koko putihnya, meninggalkan kaus yang bagian bawahnya dimasukkan ke sarung hitam.

"Oh, iya, Kang. Dari dulu saya penasaran kenapa Kang Imri dikasih nama seperti kitab? Apa karena orang tua Akang suka banget sama nadzom imrithi?"

Pertanyaan Ibi langsung membuatku terpegun. Dalam benak mulai bertanya-tanya sendiri. Mengapa tidak pernah terpikirkan olehku tentang hal ini? Mengapa aku diberi nama Nadzom Imrithi? Lalu, orang tua … siapa orang tuaku?

Yang hanya aku ingat, aku dibesarkan oleh Bos Ion. Aku dilatih untuk menjadi seorang pencuri untuk mencukup kehidupan sehari-hari.

Namun, soal masa kecil? Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Orang tua? Orang tuaku di mana? Siapa mereka?

"...ri?"

Kemudian, semua suara hilang. Telingaku berdenging bersamaan dengan kepala yang berdenyut hebat. Oh! Ada apa denganku?

Beberapa bayangan mulai bermunculan. Gelap. Hanya berbentuk siluet-siluet.

Aku memejamkan mata. Seorang wanita paruh baya tampak mengusap sosok anak kecil. Kemudian, muncul laki-laki paruh baya yang baru datang dan melakukan hal serupa.

Setelah itu, bayangannya hilang. Aku meringis kencang. Tidak tahu apa yang terjadi dengan diri ini.

Perlahan-lahan, suara-suara alam mulai kembali. Terdengar juga Ibi dan Arsyil yang panik menanyai keadaanku. Aku mengembus napas berat. Baru hendak mengatakan tidak apa-apa, mataku mendadak berat, dan semuanya menjadi … gelap.

* * *

"...ri?"

Aku memaksa membuka mata ketika suara Ibi memasuki pendengaran. Remaja itu kemudian berteriak memanggil Arsyil sambil menjauh dari dekatku. Tepat saat aku berhasil menyempurnakan pandangan, hanya punggungnya yang terlihat.

Ini … di mana?

Aku memaksakan bangkit meski kepala terasa sangat berdenyut. Setelah berhasil bersandar pada kepala ranjang, aku memindai sekitarnya. Ini bukan kamar yang biasa kutinggali. Dindingnya putih, bukan hijau. Tidak ada barang-barang selain ranjang, satu kursi, dan meja.

Tak lama kemudian, ada yang datang lagi. Aku refleks hendak turun dari tempat tidur saat melihat sosok itu merupakan Aba. Namun, beliau dengan cepat mencegah dan memintaku untuk tetap di sini.

Di belakang Aba, ada Ibi dan Arsyil mengikuti dengan kepala tertunduk. Lo, mereka kenapa, ya?

"Sudah merasa baikan, Kang?" tanya Aba. Arsyil yang posisinya lebih dekat dengan sang guru dengan sigap mengambil kursi, lalu mempersilakan Aba duduk.

Aku tersenyum melihat tindakan itu. Namun, masih diliputi keheranan sebab Aba menanyakan keadaanku. Memangnya, aku kenapa?

"Al-alhamdulillah, Aba. Tapi, apa yang terjadi, ya, Ba?" tanyaku segan.

Aba tersenyum. Saat ini, beliau mengenakan jubah putih dengan peci hitam. Sepertinya, Aba sehabis dari sebuah acara. Aku jadi merasa bersalah karena beliau malah langsung ke sini alih-alih beristirahat.

"Kata Ibi sama Arsyil, Kang Imri ini pingsan di beranda majelis. Dua anak ini sampai panik. Apalagi Ibi. Katanya, dia merasa bersalah sebab Kang Imri begitu setelah mendapatkan pertanyaan dari Ibi. Betul begitu, Kang?"

Aku mengerutkan kening, lalu melirik Ibi yang menunduk makin dalam. Tampaknya, pemuda itu benar-benar merasa bersalah.

"Sa-saya enggak inget apa-apa, Ba." Di ujung kalimat, aku meringis tak enak. Entah mengapa, seperti ada sistem yang menghilangkan ingatanku begitu saja.

Aba tampak mengedutkan kening, lalu manggut-manggut, dan melayangkan senyum teduh. Sekilas, aku merasa air muka beliau seperti menyiratkan sesuatu.

"Sebaiknya Kang Imri beristirahat lagi. Urusan mengajar biar saya yang handle. Yang penting, Kang Imri sehat dulu."

"Eh? Tidak usah, Aba. Saya masih sang--"

Aba lekas memberikan gelengan tegas. "Istirahat, Kang. Saya tidak mau calon menantu saya sampai kenapa-kenapa."

Oh, tidak! Ucapan beliau barusan berhasil membuat wajahku menghangat dan jantung berdebar. Mungkin saja pipi ini akan terlihat memerah. Terbukti dari ekspresi Ibi dan Arsyil yang diam-diam mengerling ke arahku.

Dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan karena disebut 'calon menantu', aku akhirnya mengangguk. "Baik, Aba. Terima kasih," balasku lirih.

Aba tak menjawab lagi. Beliau hanya menepuk-nepuk bahuku, kemudian, "Kalau begitu, saya ke pesantren dulu, ya. Arsyil ikut saya. Biar Ibi yang temani Kang Imri."

"Muhun, Aba," balas kedua remaja itu dengan kompak dan sopan.

Aba kemudian berlalu, diikuti oleh Arsyil. Pemuda itu sebelumnya menyempatkan menyalamiku dan berdoa untuk kesembuhan. Aku lekas mengaminkan meski tidak merasa sakit hingga harus 'sembuh'.

"Kang Imri …."

Aku mengalihkan pandangan dari pintu, menoleh ke arah sang pemanggil, "Kenapa, Bi?"

"Maafin saya, Kang. Say--"

"Enggak usah minta maaf, Bi. Kamu, kan, enggak salah apa-apa."

"Tap--"

Aku menggeleng. "Mending kamu ceritain kenapa saya ada di …," aku berhenti, "di mana ini, Bi?"

"Di klinik, Kang."

"Nah!" Aku menjentikkan jari. "Ayo cerita," pintaku.

Mungkin karena tidak memiliki pilihan lain, Ibi akhirnya mau bercerita. Meski aku tahu, wajahnya diliputi keraguan.

___

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang