3. Cinta Pendengaran Pertama (?)

22 2 1
                                    

Cahaya itu benar-benar ada. Kegelapan mulai ditarik tak bersisa. Dan, Allah telah menjadikan kamu sebagai perantaranya. Kini, aku mengerti, kebenaran memang sering disalahkan, tetapi kebenaran tidak dapat dikalahkan.

💚

Aku menarik laci nakas, dan terpegun ketika tidak mendapati sepeser uang pun di dalamnya. Berpikir keras ke mana hasil curian itu, aku langsung mengganjur napas saat mengingat mereka telah berpindah tangan pada para penghuni panti.

"Apa malam ini gua harus maling lagi?" tanyaku pelan.

Setelah berpikir dalam, aku pun manggut-manggut sendiri. Aku memang harus beraksi kembali malam ini karena simpanan untuk kebutuhan sehari-hari sudah habis.

Bangkit dari depan nakas, aku berpindah duduk ke ranjang, lalu menyambar buku yang memuat tempat target untuk dipelajari seluk-beluknya.

"Mrit! Mrit! Geus (udah) Magrib, yeuh! Salat teu (tidak)?"

Gawat! Itu suara Mang Atep!

Aku lekas mengembalikan catatan yang belum tuntas dibaca ke dalam tas butut di atas bantal. Sebelum membalas ucapan Mang Atep, aku berdeham sebentar untuk menormalkan suara, lalu berteriak, "Duluan, Mang! Urang hayang ngising heula! (Gua mau buang air besar dulu!)"

Mang Atep mengiakan dari luar sana. Meski terhalang pintu kamar, suara kami tetap terdengar kencang karena ruangan yang berdekatan.

Embusan napas lega kuloloskan. Berbohong seperti tadi sudah biasa dilakukan jika Mang Atep mengajak salat. Untungnya, laki-laki paruh baya itu selalu percaya saja atas alasan yang kubuat-buat.

Setelah yakin Mang Atep pergi ke masjid, aku lekas menarik buku catatan tadi lagi, dan mulai fokus menyelami tulisan di sana.

Merasa cukup lama menunduk, aku melirik jam, masih pukul 18.30. Memang ada dua rumah yang akan dijadikan target nanti. Namun, waktu operasi masih lama. Mungkin, aku akan mampir ke markas dulu sebelum beraksi.

Sekian menit mengatur strategi, aku kemudian menyembunyikan tas di kolong ranjang. Sebelum keluar, aku berganti pakaian serba hitam-hitam agar dapat bermimikri dengan malam.

Semua persiapan telah beres. Aku beranjak dari ranjang, dan membuka pintu sedikit demi sedikit, memeriksa situasi. Ternyata kosong. Mang Atep belum terlihat kembali dari masjid. Sepertinya, aman bagiku untuk pergi sekarang.

Sebelum benar-benar melangkah, aku meraba saku celana jin hitam dulu, memeriksa karung yang terlipat rapi.

Apa yang terlupa lagi, ya?

Ah, topeng!

Tanpa membuang waktu lagi, aku putar balik. Aku harus bergegas sebelum Mang Atep pulang ke sini.

* * *

Suasana sepi. Yakin telah aman, aku segera menurunkan topeng dari atas kepala hingga menutup seluruh wajah, lalu mengendap-endap. Tiang-tiang lampu menjadi tempat persembunyian paling pas selama kaki ini melangkah.

Jadwal operasi biasanya kupilih di atas jam dua belas malam. Dan, saat ini, keberuntungan sedang berpihak padaku karena dapat beraksi sesuai waktu yang ditentukan.

Aku terus berjalan dengan waspada di keheningan malam. Tiang-tiang lampu memciptakan bayangan layaknya seseorang yang mengawasi tiap langkahku.

Aku berbelok dengan cepat ketika menemui tikungan, dan menempelkan diri pada dinding seperti cicak dalam lagu anak-anak.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang