19. Melamar

12 2 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu, Magrib telah di depan mata. Aku tak dapat mengontrol degup jantung yang bertambah cepat.

Salat Magrib berjemaah--bersama Mang Atep--diselesaikan dengan baik. Setelah itu, perasaanku kembali jungkir balik. Aku memang meminta izin kepada Kiai Ahmad ingin ke kontrakan selama mempersiapkan lamaran. Untungnya, Aba mengizinkan.

Beberapa jam sebelumnya, Mang Atep selalu memberikan nasihat-nasihat untukku. Meski dia juga belum merasakan mahligai rumah tangga, setidaknya pemikiran Mang Atep lebih matang dariku.

"Deg-degan, Mrit?"

Pertanyaan Mang Atep mengaburkan aku yang sedang melamun. Aku menoleh, lalu tersenyum salah tingkah. Saking asyiknya berkelana dengan pikiran sendiri, aku sampai tidak sadar masih ada di atas sajadah. Sementara Mang Atep sudah melipat tempat sujudnya.

"Oh, y-ya, gitu, Mang." Aku memaksakan tawa keluar.

"Ampe asyik bener ngelamunnya," sindir Mang Atep. "Doa banyakin, Mrit. Jangan sampai pas udah di sana, gugupnya malah malu-maluin."

Nge-jleb sekali omongan Mang Atep ini. Namun, aku mengangguk menuruti. Mang Atep benar, lebih baik aku memperbanyak doa agar semuanya dilancarkan.

"Pake baju apaan, nih?"

"Baju batik, Mang. Udah gua siapin di belakang pintu itu."

Mang Atep berjalan menuju arah yang kutunjuk. Dia mengintip ke belakang pintu, senyum mengembang begitu saja di bibirnya.

"Widih, punya baju bagus dari mana lu? Baju pinjeman, ya?"

Aku tergelak kecil. Berdiri sambil melipat sajadah, aku lantas membalas, "Enak aja minjem. Gua beli, dong, Mang."

Yah, selama berada di pesantren, kebutuhanku memang tercukupi. Uang yang terkumpul bisa kubelikan pakaian dan bahkan handphone.

* * *

"Rileks, Mrit, rileks. Tegang amat kayak listrik."

Aku tak menanggapi candaan Mang Atep. Tidak berpengaruh juga saat detak jantung sedang tak beraturan begini.

Kami sudah tiba di jalan setapak menuju rumah Aba. Kami ke sini berjalan kaki sebab lokasi pondok pesantren dengan kontrakan tidak terlalu jauh.

"Calon mertua lu suka sama tanaman hias, ya?" Masih berjalan, Mang Atep kembali berkomentar sambil memindai taman mini milik Aba.

"Ho'oh," balasku, "lebih tepatnya Afi, sih, eh."

"Ya elah, salting amat nyebut nama calon."

Aku berdecak. Merasa heran, kenapa Mang Atep suka banget goda anak orang, sih?

Kami tiba di depan pintu rumah Aba. Aku meneguk ludah kasar. Keringat dingin mengalir di sekitar pelipis. Belum lagi telapak tangan yang mendadak basah. Ugh!

"Siap, Mrit? Tarik napas dulu, terus keluarin pelan-pelan. Ulang sampe tiga kali. Jangan lupa baca bismillah," kata Mang Atep.

Tersenyum kaku, aku lekas mengangguk. "I-iya, Mang. Makasih."

Aku melakukan apa yang diperintahkan Mang Atep. Sementara sosok yang berperan sebagai waliku itu mengetuk pintu sembari mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam. Iya, tunggu sebentar!"

Aku membulatkan mata, itu suara Aba! Aduh, harus bagaimana ini? Tenang, Mri, tenang. Tarik napas, buang. Ulangi lagi.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang