"Ibu dan Ayah Kang Imri merupakan sahabat baik saya."
Aku tidak bisa tak tercengang mengetahui informasi yang Aba sampaikan.
"S-sahabat baik?" ulangku, tak percaya.
Aba mengangguk, lalu melanjutkan, "Waktu itu ...."
Aba menceritakan kejadian masa lalu. Kata beliau, orang tuaku adalah kiai dan nyai, memiliki pondok pesantren sama seperti Aba.
Karena merupakan orang penting, tentu saja Ibu dan Ayah selalu bepergian untuk memberikan kajian agama. Tidak hanya di pesantren saja, tetapi hingga ke luar kota.
Kemudian, Aba juga bilang, suatu hari, ada perayaan besar Islam di Bandung, Aba serta ayah dan ibu diundang ke sana.
Namun, saat di perjalanan, kejadian tidak mengenakkan terjadi. Mobol yang dikemudikan ayah dan ibuku mengalami kecelakaan.
Aba berkata, keduanya langsung meninggal di tempat. Sementara aku sebagai satu-satunya yang selamat, malah dibawa orang tak dikenal.
Kiai Ahmad menutup cerita dengan perkataan, betapa menyesalnya beliau karena tidak bisa merawatku. Kemudian, saat tahu aku dibesarkan oleh seorang bandar maling, beliau mengerahkan segala doa dan usaha agar aku kembali ke jalan yang benar.
Aku, langsung melemas mendapati kenyataan yang baru kudengar. Otakku penuh. Semua jadi sulit dipercaya. Namun, tidak ada sedikit pun dari kata-kata Aba yang menyiratkan keraguan.
Dalam keadaan linglung, Aba mempersilakan aku kembali ke kamar. Beliau memintaku untuk beristirahat dan mencerna semuanya dengan perlahan saja.
* * *
Aku menatap potret keluarga yang berada di tangan dengan perasaan berkecamuk. Ada tiga orang di dalam gambar berbingkai kayu yang sedikit lapuk ini. Seorang laki-laki mengenakan gamis putih, peci hitam, dan serban di pundak. Lalu, di sisinya terdapat wanita berwajah teduh yang juga bergamis putih, dan jilbab hitam.
Pandanganku terpaku pada sosok anak kecil yang berdiri di antara mereka. Anak itu mengenakan pakaian berwarna senada, kemeja dan sarung kebesaran. Peci hitam yang dikenakannya pun agak miring. Foto itu sungguh terlihat jadul.
Benda yang saat ini kupegang merupakan isi bingkisan tadi. Aba sampai mengirimkan foto ini untuk meyakinkanku. Lalu, sekarang, aku harus apa?
Kebenaran telah terungkap, tetapi aku jadi bingung. Semuanya berkumpul di kepala. Kejadian masa lalu, permasalahan dengan kelompok Bos Ion, lalu ... lamaran.
Oh, lamaran!
Aku terus mengulangi kata-kata itu. Aba bahkan sudah bertanya, kapan aku akan melamar Afi dengan resmi. Aku down, merasa sangat tidak pantas. Mengapa Aba masih mau menjadikan aku sebagai menantu, sedangkan beliau sudah mengetahui kebobrokan diri ini?
Apa yang harus hamba lakukan, Ya, Allah?
Keheningan yang menyelimuti tercairkan oleh lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Seketika, aku berdebar. Itu suara Afi!
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku bergegas keluar kamar. Posisi rumah Aba yang cukup berdekatan dengan ruanganku membuat suara Afi tetap terdengar meski samar-samar.
Untuk itu, aku pergi keluar agar dapat mendengar lantunan menenangkan milik Afi lebih jelas. Oh, aku memang butuh asupan saat ini. Kemudian, Allah mengabulkannya. Nikmat Tuhan manakah yang dapat aku dustakan?
Aku duduk di samping jalan setapak yang berjajar tanaman hias. Untungnya, ada kursi panjang tanpa sandaran di sana. Meski terlihat tidak terawat, yang penting aku bisa mendaratkan bokong dan mendengar suara lembut nan mendayu-dayu itu tanpa harus merasa pegal.
Sedikit banyaknya, aku mengenal surah yang dibaca Afi. Hmm, kalau aku benar, ini surah Maryam. Setiap bunyi akhirnya yang sama seperti Al-Kahfi menjadi ciri khas tersendiri.
Ah, surah apa pun itu, selama dibacakan oleh Afi, terasa sangat menenangkan. Aku suka.
***
"Widih, Mrit! Gimana rasanya mau ngelamar anak kiai?"
"Deg-degan." Aku menjawab jujur, tetapi dengan nada datar.
Tatang, sosok yang ada di depanku itu malah terbahak. Sementara Mang Atep hanya menggeleng-geleng sambil berdecak.
Saat ini, aku berada di kontrakan yang pernah kutinggali dulu. Aku juga sengaja mengundang Tatang untuk menceritakan keinginan melamar Afi. Meski anak pemilik kontrakan ini selalu terlihat bercanda, tetapi aku tidak keberatan berbagi cerita.
Mang Atep pun kuberi tahu, sekaligus ingin meminta nasihat. Aku gugup setengah mati!
"Kiai Ahmad lagi enggak kenapa-kenapa, 'kan?" Tanya Tatang setelah tawanya reda.
Aku mengedutkan kening. Kenapa, nih, bocah nanya gitu? Meski heran, aku tetap menggeleng dan membalas, "Alhamdulillah, beliau sehat-sehat aja. Emangnya kenapa, Tang?"
"Bahasanya udah bener sekarang, mah. Alhamdulillah," Tatang menutup mulut, meledekku. "Syukurlah kalau Pak Kiai baik-baik aja. Gua khawatir, soalnya Pak Kiai malah nawarin anaknya ke elu, Mrit!"
Aku mendengkus saat mulai tahu maksud perkataan Tatang sejak tadi. Sia--ah, maksudku, astagfirullah ....
"Eh, enggeus, enggeus! (Udah, udah!) Jadi malah saling adu mulut gini. Ciga budak wae, ih! (Kayak anak kecil aja!)" Mang Atep yang sejak tadi diam saja, kini menengahi.
Aku tetap memasang wajah cemberut, sedangkan Tatang menjulurkan lidahnya seperti anj--ugh, maksudku, astagfirullah ....
"Ayo, kita serius, serius," lanjut Mang Atep.
Ah, untung saja aku membawa laki-laki ini turut serta. Coba mengobrol dengan Tatang saja, pasti hanya akan bercanda.
"Jadi, Mri, lu ke sini mau minta gua jadi wali buat ngelamarin Neng Afi, begitu?"
Mendengar nama sang pujaan disebut, perasaan kesal akibat Tatang langsung berubah lebih baik. Dengan malu-malu, aku mengangguk, "Iya, Mang. Tolong, ya. Gua enggak tau harus ke siapa lagi."
Aku tertawa di ujung kalimat. Tepatnya, berusaha tertawa. Situasi seketika menjadi mellow. Tatang pun kehilangan eskpresi konyolnya.
Berdeham, aku menggaruk pangkal hidung dengan heran. "Kok, jadi pada diem, ya?" tanyaku, seolah-olah tanpa beban. Padahal dalam hati berdenyut perih. Ah, andai kedua orang tuaku masib hidup, pasti sekar--istigfar lagi, Mri! Enggak boleh berandai-andai! Pamali!
Tatang memasang air muka sedih. Laki-laki yang mengenakan kaus oblong biru pucat dengan celana kargo itu menepuk-nepuk pundakku.
Alih-alih merasa terharu atas tindakannya, aku justru malah berdecak kesal. "Apaan, sih!" kataku, ketus.
"Ya elah, galak amat calon nganten," balas Tatang.
Aku mencibir sebagai tanggapan atas ucapan temanku itu. Meskipun dalam hati bersyukur. Yah, setidaknya, suasana sudah kembali mencair berkat kelakuan konyol Tatang.
"Lamarannya kapan, Mrit?" tanya Mang Atep tiba-tiba.
Dari Tatang, aku beralih padanya. "Insyallah, besok, Mang. Gua rencananya mau ke Kiai Ahmad sekitaran sore-an. Eh, atau enggak sebisanya Mang Atep, deh."
Aku harus tahu diri. Mang Atep merupakan pekerja kebun. Dia pergi sesudah Subuh dan pulang sore. Jadi, aku yang sebisa mungkin menyesuaikan dengan waktunya.
"Habis Magrib, boleh, deh. Gimana?"
"Mang Atep enggak pa-pa? Takutnya capek?" Aku balik bertanya.
"Kalem, Mrit. Kayak sama siapa aja."
Aku langsung ber-hamdalah mendengar kesediaan Mang Atep. Semoga saja acara besok Allah dilancarkan. Aamiin.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]
SpiritualTerinspirasi dari cerita yang dikisahkan oleh ayah tercinta. ____ Kegelapan itu mengurai menjadi titik-titik, lalu menghilang kala datangnya cahaya. Seperti takdir Nadzom Imrithi, seorang maling, yang jatuh cinta pada Syarah Alfiyah, putri dari pimp...