7. Langsung Ditunjuk Jadi Imam

10 2 1
                                    

"Mang Atep! Habis begini gimana lagi, sih?"

Dari sarung yang berusaha kupakai sejak tadi, aku mengalihkan fokus pada sosok di depanku yang tengah menahan tawa geli.

"Lagian elu, Mrit. Setiap gua ajakin salat ke masjid enggak mau. Malah di rumah terus. Sekarang susah, kan, mau pake kain juga?" Mang Atep malah mengejekku.

"Mang ...." Aku mendesah lelah. Tanganku sudah pegal begini, tetapi Mang Atep malah memberikan ceramah di waktu yang tidak tepat.

"Eh, harus sabar, dong. Hayo, enggak boleh marah-marah. Senyumnya dulu mana, Kasep?"

Ya, ampun. Sekarang aku malah diperlakukan seperti anak kecil. Berdecak kesal, akhirnya aku mengalah dengan menarik paksa kedua sudut bibir. Mang Atep akan makin menjadi jika sasarannya berhasil dibuat kesal.

"Nah, gitu, dong." Dia tersenyum puas, lalu menghampiriku.

Ketika kami sudah berhadapan, Mang Atep segera mengajariku mengenakan sarung. Tak jarang bahuku kena tepukan jika salah mempraktikkan ajaran Mang Atep.

Akhirnya, setelah melalui drama selama sekian menit, sarung hitam yang memiliki motif batik di bagian bawah itu dapat kukenakan. Dengan malu-malu, kuucap terima kasih atas bantuan Mang Atep.

"Ribet banget pakenya, Mang. Susah!"

Meski begitu, aku tetap mengeluarkan keluhan. Titik-titik keringat bermunculan di sekitar dahi dan atas bibirku. Berlebihan memang, tetapi untuk pemula sepertiku, memakai kain merupakan hal yang penuh perjuangan.

"Meuni lebai pisan maneh, Mrit!!" balas Mang Atep, lagi-lagi sambil menepuk pundakku.

Nah, 'kan?

Tak ingin mengambil pusing, aku hanya memasang tampang datar ke arah Mang Atep. Jam dinding yang berada di belakang pria dewasa itu ikut tertangkap pandangan. Sudah mendekati waktu Magrib. Aku harus bergegas ke pondok pesantren jika tidak ingin dicoret oleh Kiai Ahmad dari daftar calon menantu.

"Mang, sekali lagi hatur nuhunnya! Gua pamit sekarang, takut kemaleman di jalan," ucapku.

"Kemaleman gimana? Aya-aya wae maneh, mah, Mrit. Dikira pondok pesantren, teh, ada di kota yang ke sananya harus pake mobil?" gurau Mang Atep.

Aku hanya meringis karena alasan yang terlalu mengada-ngada tadi. Namun, Mang Atep akhirnya mempersilakan aku pergi ke kamar untuk mengambil tas.

* * *

Dengan mengenakan pakaian terbaik yang kumiliki--kemeja putih dan sarung hitam pemberian Mang Atep--aku keluar dari kontrakan. Tidak banyak barang yang kubawa. Hanya tas gendong serta satu tas jinjing.

"Hati-hati, Mrit! Jangan lupain gua, ya!"

Tanpa menoleh, aku mengacungkan jempol ke arah Mang Atep yang sejak tadi berdiri di ambang pintu. Sebelumnya, aku sudah berpamitan dengan benar, jadi tidak perlu meladeninya lagi.

Makin menjauh dari kontrakan yang beberapa tahun belakangan kutempati, aku menghela napas pendek. Beruntung, urusan bayar-membayar sudah diselesaikan dengan Tatang tanpa kesulitan yang berarti.

Suasana sekitar hampir menggelap ketika aku tiba di jalan utama. Aku melihat beberapa lelaki mengenakan pakaian muslim dilengkapi sajadah yang tersampir di pundak mereka. Sudah pasti tujuan orang-orang itu adalah masjid sebab sebentar lagi waktu Magrib.

Matahari telah kembali ke peraduan. Burung-burung pun terdiam di sarang mereka. Sinar senja yang menciptakan bayangan diri ini menghilang, terganti oleh cahaya lampu-lampu jalanan.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang