6. "Kitab"

13 3 2
                                    

Hidayah tidak akan didapat jika kita hanya menunggu. Aku sudah membuktikannya. Ia akan lebih cepat datang jika kita sendiri yang menjemputnya.

💚

"Bagaimana, Kang? Apakah Kang Imri menyanggupi persyaratan yang saya berikan?" tanya Kiai Ahmad to the point.

Tanpa dapat dicegah, kepalaku menyengguk.

"Sanggup, Ki--Aba."

Kiai Ahmad manggut-manggut sambil mengelus dagunya yang tidak berjanggut. Aku menatapnya waspada, khawatir akan diberikan tantangan lain yang lebih sulit lagi.

Sayangnya, pemikiranku barusan benar-benar terjadi. Sepasang mata Kiai Ahmad tertuju pada benda yang berada di atas pahaku. Oh, tidak. Jangan bertanya sekar--

"Yang ada di pangkuan Kang Imri itu apa?"

Mampus!

Aku memejam selama tiga detik. Ini, sih, lebih parah daripada persyaratan tadi. Aduh, urang kudu kumaha ieu, teh?

Berdeham sekali untuk menyingkirkan sesuatu yang menghalangi tenggorokan, aku pun menjawab, "I-ini ... ini kitab, Aba. Ya ... kitab." Kemudian, aku tertawa canggung. Padahal tidak ada yang lucu.

"Kitab?" Ekspresi serius Kiai Ahmad mendadak berubah semringah. "Wah, kitab apa, Kang? Kapan-kapan kita bahas bareng," ujarnya santai.

Aku lekas berpikir keras. Namun, tidak ada satu nama pun yang terlintas.

"Kang Imri?"

Aku tersentak, sedikit meremas kain yang melindungi keramik. Tidak ingin Kiai Ahmad mencurigaiku, aku pun pasrah bagaimana tanggapan beliau nanti.

"Sa-saya bawa kitab Al-Keramiki, Aba." Ah, sudahlah. Al-Keramik? Aku sendiri bahkan ingin terbahak mendengar nama ngawur itu.

Usai memberikan jawaban, aku menunduk dalam. Kini, aku harus menyiapkan mental jika Kiai Ahmad  mengusirku. Mana ada kitab yang bernama Al-Keram--

"Ooh, kitab Imrithi, Kang? Masyaallah, Kang Imri sangat mencintai nama sendiri sampai membawa kitabnya juga."

Eh? Gi-gimana?

Pernyataan Kiai Ahmad langsung membuatku menaikkan pandangan, bingung. Namun, detik selanjutnya, aku berusaha sekuat tenaga menarik sudut-sudut bibir. Bertingkah sok malu-malu. Kitab Imrithi? Mengapa namaku disebut-sebut?

"Ibi!"

Panggilan dadakan itu menyebabkan aku agak terperanjat. Tak lama kemudian, si pemilik nama tergopoh menghampiri sang kiai dengan sedikit membungkuk.

"Saya, Aba," jawabnya dengan kesopanan yang mengesankan.

"Antarkan Kang Imri ke kamar tamu yang di kobong itu, ya. Beliau ini akan tinggal di sini untuk beberapa hari ke depan. Layani Kang Imri dengan baik. Beliau adalah guru kamu mulai sekarang," titah Kiai Ahmad.

Aku yang mendengar ucapan tersebut, berusaha menahan rahang agar tidak terjatuh. Apalagi saat Kiai Ahmad beberapa kali menyebutku dengan 'beliau'.

Beliau? Mungkin si Tukang Maling akan lebih pantas disematkan untukku.

"Oh, iya, Aba. Setelah melihat pondok pesantren ini, saya izin ke rumah sebentar untuk mengambil keperluan selama berada di sini." Aku memberi tahu setelah Ibi memberikan jawaban atas perintah Kiai Ahmad.

Bukan apa-apa, aku memang harus berpamitan pada Mang Atep terlebih dahulu. Tidak mungkin, kan, jika pergi begitu saja? Nanti teman seatapku itu malah kebingungan.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang