Aku malu dan iri. Karena dewasa ini, masih belum mampu melantunkan kalam ilahi.
💚
Tak terasa, satu bulan telah berlalu. Aku tidak menyangka akan begitu betah tinggal di pondok pesantren. Berkat taktik mengajar yang sesungguhnya belajar, kini aku berhasil menghafal seluruh huruf hijaiyah. Tak jarang, setiap malam aku akan menguping para santri yang tengah membaca Al-Qur'an untuk ikut belajar.
Bonus lainnya, tentu saja aku mendapat kesempatan mendengarkan si gadis bersuara merdu.
Masalah yang lain adalah ... hafalan.
Iqro sudah lumayan aku kuasai. Namun, beralih pada Juz Amma untuk menghafalkan surah-surah pendek masih perlu perjuangan lebih.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00. Masih ada sekitar dua jam lagi mencapai waktu Subuh. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan-lahan.
Menunduk, buku bersampul orang yang tengah rukuk segera tertangkap pandangan. Sementara posisiku sendiri saat ini belum beranjak dari sajadah biru bergambar kakbah.
Suasana sekitar sunyi. Lampu utama sengaja tetap dimatikan sehingga terasa amat tenang. Sebagian santri yang sudah melaksanakan salat malam tertidur lagi. Meskipun, ada beberapa yang masih bertahan dan memilih membaca Al-Qur'an.
Aku tersenyum sendu mendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut. Aku merasa iri karena mereka--yang usianya di bawahku--sudah lancar membaca Al-Qur'an. Sementara aku? Lebih banyak berkubang dosa. Membaca Iqro jilid lima saja masih terbata-bata.
"Assalamu'alaikum, Kang Imri?"
Sapaan itu menyebabkan aku tergagap-gagap. Tidak ingin dianggap konyol, aku lekas menormalkan air muka, lalu menyorot si pemilik suara.
"Wa'alaikumussalam. Kenapa, Yub?"
Dia Ayyub, si bocah yang bulan ini sudah berhasil naik ke jilid tiga. Aku sangat kagum pada lelaki cilik ini. Usianya belum genap delapan tahun, tetapi sudah berani mondok. Kutebak, orang tua Ayyub tak kalah luar biasanya dengan dia.
Ah, andai aku mengetahui asal-usulku sendiri. Melihat wajah orang yang melahirkanku saja tidak pernah.
"Ayyub mau hafalan surah-surah pendek sama Kang Imri, boleh?"
Aku terpegun sejenak, cukup terkejut dengan permintaannya.
Berdeham dua kali, aku lantas membalas, "Coba panggil Arsyil."
"Siap, Kang."
Dengan kepatuhan yang mengesankan, Ayyub beringsut mundur dengan masih mempertahankan posisi duduknya. Baru setelah agak menjauh dariku, dia berdiri dan bergerak menuju Arsyil yang ada di ujung ruang. Remaja itu tampak sedang terkantuk-kantuk dengan posisi duduk.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, aku memperhatikan tingkah Ayyub. Dengan pelan, dia menepuk lengan Arsyil sambil mengatakan sesuatu. Entah apa. Yang pasti, teman Ibi itu langsung menegakkan tubuh, mengucek mata sejenak, berdiri, kemudian berjalan ke arahku dengan Ayyub di belakangnya.
Lah? Ternyata Ayyub punya kemampuan bangunin orang dengan cepet.
"Assalamu'alaikum, Kang. Kata Ayyub, Kang Imri memanggil saya?" tanya Arsyil setelah berada di depanku. Suaranya sedikit serak karena bangun mendadak. Aku jadi tak enak.
"Wa'alaikumussalam. Iya, saya panggil kamu." Maaf karena sudah ganggu tidur kamu. Aku meneruskan kalimat di dalam hati. "Tolong simak hafalan Ayyub. Ar. Sebentar lagi juga Subuh, kamu bisa cuci muka dulu kalau masih mengantuk," lanjutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]
SpiritualTerinspirasi dari cerita yang dikisahkan oleh ayah tercinta. ____ Kegelapan itu mengurai menjadi titik-titik, lalu menghilang kala datangnya cahaya. Seperti takdir Nadzom Imrithi, seorang maling, yang jatuh cinta pada Syarah Alfiyah, putri dari pimp...