8. Ceritanya ... Mengajar

8 2 1
                                    

Tidak apa-apa masih biasa. Kita harus terbiasa dahulu untuk menjadi luar biasa.

💚

Untuk pertama kalinya, aku bersyukur karena memiliki otak yang akan berubah cerdas jika dihadapkan pada situasi mendesak. Seperti kondisiku saat ini.

Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, aku lekas melancarkan taktik berupa pertanyaan, "Di sini yang paling senior ngajinya siapa?"

Raut heran tercetak jelas di wajah-wajah yang saat ini kupandangi. Namun, aku mengeraskan hati agar tidak tergoyahkan oleh ekspresi mereka.

"Yang sudah lama ngajinya di sini, mah, Kang Arsyil sama Kang Ibi, Kang."

Aku memfokuskan pandangan pada sang pemberi jawaban. Ada di baris depan agak ke kanan. Ternyata seorang bocah yang kira-kira berusia sepuluh tahun-an.

"Oh, begitu. Baik." Aku berdeham agar suara yang keluar tetap terdengar seperti berwibawa. "Yang akan menjadi imam Magrib adalah Arsyil, lalu Isyanya Ibi. Saya seperti ini bukan karena tidak menjalankan amanat Kiai Ahmad, tetapi ingin mengetahui bacaan kalian berdua."

"Saya sudah mengenal Ibi. Kalau Arsyil yang mana?" lanjutku kemudian. Aku tidak ingin memberikan celah bagi para santri untuk berkomentar akan keputusan ini.

"S-saya, Kang."

Aku agak menyipitkan mata saat seorang remaja bertubuh jangkung maju dari saf kedua. Dia mengenakan jas putih dengan sarung hitam polos. Sementara pecinya terlihat sedikit miring. Kutebak, sosok bernama Arsyil ini termasuk tipe yang kikuk.

Aku manggut-manggut, lantas berkata, "Ya, sudah, kamu jadi imam."

Kukira, Arsyil atau yang lain akan mengeluarkan protes atas ucapanku barusan. Namun, dia malah mengiakan dengan patuh.

Sementara itu, seseorang di belakang tempat imam, berpindah menggantikan posisi Arsyil di barisan kedua. Dia lantas mempersilakan aku berdiri di tempatnya.

Oh, aku sungguh tidak dapat berkata apa-apa untuk mengekspresikan kekaguman terhadap para santri ini. Rasa bersalah karena telah berbohong, bercampur menjadi tekad untuk mengubah diri menjadi lebih baik lagi.

Setidaknya, aku tidak ingin mengecewakan anak-anak luar biasa ini.

* * *

Para santri sudah duduk rapi dengan pandangan terfokus kepadaku. Gugup langsung menguasai diri. Kertas berisi daftar nama mereka kupegang erat agar tidak ada yang menyadari tangan ini sedang gemetar.

Bukan tanpa alasan aku duduk di hadapan mereka. Usai salat Magrib, aku kira bisa bernapas lega karena berhasil mengelak jadi imam. Namun, Ibi mendadak menghampiriku yang sedang berpura-pura wirid. Dia menyampaikan amanat Kiai Ahmad. Beliau memintaku mengajar para santri.

Gua? Mengajar? Oh, terdengar sangat konyol.

Aku memutar otak lagi. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mengatasi hal ini.

Sekian detik berlalu, aku berdeham sebanyak tiga kali--di sini, aku mendadak jadi sering berdeham.

Kemudian, pandanganku memindai satu per satu wajah mereka yang tampak antusias. Ah, lagi-lagi perasaan berdosa muncul karena telah membohongi mereka.

"Baca doa dulu," kataku asal, lalu melanjutkan, "Ibi, tolong kamu pimpin. Setelah ini, kamu bersama Arsyil ajarkan adik-adik santri. Saya mau lihat bagaimana cara mengajar kalian. Latihan jika terjun di masyarakat nanti."

Oh, demi apa pun! Mengapa lidahku lancar sekali mengucapkan bualan? Seolah-olah ada kertas tak kasatmata yang berisi teks-teks barusan di depanku.

Seperti sebelum-sebelumnya, aku beruntung karena Arsyil dan Ibi sama sekali tidak membantah.

Imrithi dan Alfiyah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang