Movie Time

258 34 0
                                    


Seokjin sudah menyandarkan tubuhnya di beanbag yang diletakkan menempel di dinding kamar Jimin. Lampu sudah di set agak redup, proyektor sudah dinyalakan dan disambungkan ke laptop. Tinggal klik filmnya dan acara nonton bersamanya dimulai. Namun, Jimin masih meributkan camilan dan segala tetek bengeknya. Seokjin hanya mengamati si teman yang sibuk menata ini-itu di meja kecil depan mereka.

"Udah deh Jim. Nggak usah ngeribetin masalah makanan. Ayo nonton. Buruan."

"Film apa?"

"The Kissing Booth." Jimin berhenti dari pergerakannya lalu menatap Seokjin. "Pernah dengar? Atau udah pernah lihat filmnya?"

"Belum pernah dengar. Dan...apakah itu film yang tidak seharusnya kita tonton?"

Seokjin menahan tawa. "Kalaupun tidak seharusnya kita tonton, bukankah tetap akan kita tonton? Kamu aja udah baca yang lebih ekstrim dari adegan di film ini."

"Bukan gitu...maksudku..."

"Chill Jim. Ini kisah anak remaja kok. Remaja Amerika kan kalo ciuman mah bukan perkara serius. Come on." Seokjin menepuk sisi sebelahnya dan Jimin menurutinya.

Jimin terbahak melihat bagaimana Elle menceritakan tentang dirinya dan Lee semasa kecil. Lalu terbahak lagi ketika Tuppens memakai rok mini. Untuk adegan ini, Seokjin bahkan lebih terbahak. Tuppens itu berbadan atletis, tapi memakai rok mini. It's super funny.

Saat bagaimana adegan Elle dan Noah making out di atas bukit yang merupakan tempat landmark Hollywood berada, mereka diam dan agak canggung untuk berkomentar. Padahal mereka sering membaca cerita yang bahkan lebih dari yang diperlihatkan di film.

Seokjin menangis dan berkali-kali mencabut tisu yang disediakan Jimin di tengah-tengah saat Lee mengabaikan Elle karena telah membohonginya dan memilih berpacaran dengan Noah, kakaknya Lee. Padahal mereka punya perjanjian yang tidak membolehkan Elle jatuh cinta bahkan punya hubungan dengan kakak Lee. Itu sangat sedih. Seokjin sepertinya tak bisa membayangkan seandainya dia berada di posisi Elle yang harus membujuk Taehyung yang serius marah kepadanya. Pasti dia akan stres.

"Kurasa mereka mirip kamu dan Taehyung."

"Yes. Aku juga nggak tahu kenapa Lee dan Taehyung itu sama-sama moodboster banget. Tapi untungnya Lee nggak mesum seperti Taehyung." Jimin tergelak.

"Kamu pernah bertengkar sama Taehyung kayak Lee dan Elle nggak?"

"Amit-amit, jangan sampai Jim. Aku nggak tau apa yang harus kulakukan seandainya Taehyung ngambek dan benar-benar marah seperti Lee."

"Kalian juga punya perjanjian itu kan? Kayak Elle dan Lee? Kamu gaboleh naksir saudaranya dia." Seokjin mengangguk. "Selama ini kamu mandang kak Namjoon gimana?"

"Ya sebagai kakak biasa. Dia juga kalo ke aku perlakuannya sama kalau dia memperlakukan Taehyung. Nggak ada hati. Karena seringnya kami berisik dan mengganggu waktu istirahatnya." Seokjin terkekeh mengingat bagaimana marahnya Namjoon jika mereka berdua sedang rebutan sesuatu. "Dia tak segan mengusirku dan Taehyung dari rumah dan menguncinya. Berakhir kami main di rumahku. Tapi dia selalu mau mengantar kami kemanapun dan siap sedia jadi tempat curhatku, Tae, maupun Yeonjun."

"Jika suatu saat kamu jatuh dalam pesona kak Namjoon, kamu ngasih tahu Taehyung atau memendamnya dan tak menggubris perasaanmu, atau kamu confess ke kak Namjoon dan jika diterima kalian backstreet?"

"Kok pilihannya sanggup membunuh diriku ya."

"Pilihan kadang sesulit itu. Makanya butuh pemikiran mendalam untuk memutuskan."

"Mungkin jika sekarang aku akan mengatakan aku akan mengabaikan perasaanku. Tapi amit-amit jika itu terjadi, aku nggak tahu akan bagaimana. Itu terlalu sulit. Mending aku baca novel berbahasa Inggris saja deh Jim." Jimin terkekeh.

"Tapi kalau urusan hati begitu, nggak ada yang bisa dipaksa, Jin. Kamu bebas menentukan pilihanmu. Kalaupun Taehyung nggak setuju dan marah ke kamu, dia punya hak apa atas dirimu? Tubuhmu ya mutlak hakmu. Kamu punya otoritas atas dirimu sendiri."

"Hmm..." Seokjin mengangguk-angguk lalu menatap Jimin. "Kamu benar Jim. Baru tahu aku kalau kamu bijak. Kata-katamu bagus."
"Biasa aja ya. Itu hanya opiniku sih. Belakangan kan orang-orang sedang campaign Love Yourself. Kita harus aware dengan diri kita sendiri. Kita juga jangan suka menyiksa diri sendiri dengan mendahulukan kenyamanan orang lain, sedangkan kenyamanan diri sendiri kita abaikan. Kan menyiksa diri namanya."

"Ah, aku belajar banyak dari Jimin. Makasih loh Jim. Kamu sepertinya harus menjadi author deh. Ayo buat cerita, akan aku promosikan di akun twitterku." Jimin tertawa lalu menatap layar yang kini sedang memutar musik video dari berbagai penyanyi sambil mulutnya mengunyah kukis yang tadi dibeli. Sedangkan Seokjin, dia menyeruput latte dinginnya.

"Nggak ah. Nggak bisa bagi waktu. Sebentar lagi kan pasti sibuk kuliah."

"Yaaahhh..." Seokjin kecewa.

"Dah, gausah cemberut. Jelek banget kalo bibirnya maju gitu."

"Padahal Seokjin penasaran bagaimana jika Jimin menulis. Gaya tulisan Jimin, alurnya, tema seperti apa yang diangkat. Penasaran." Astaga, Jimin boleh gemas kan? Kenapa Seokjin tidak menggunakan kata ganti 'aku'? Dia menggunakan nama, dan itu sangat menggemaskan.
"Yaudah. Kapan-kapan aku akan membuat sebuah cerita untukmu. Hanya untuk Seokjin."

"Beneran?" Seokjin menatapnya antusias. Jimin hanya tersenyum seraya mengangguk.

"Tapi aku nggak tahu kapan. Tunggu aja."
.
.
.
To be continued

Promise | NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang