Curhat Gratis

167 22 0
                                    


Seokjin sedang mengunyah kentang gorengnya sambil menekan keyboard laptop yang berumur hampir 5 tahun itu. Suara live music di panggung sana tak mengganggunya sama sekali. Tugasnya lebih darurat. Mengerjakan di rumah tak berani karena dia sendirian ditinggal paman dan mamanya ke luar kota. Kalau begini, sia-sia menyuruh pamannya untuk tinggal di rumah. Mereka hobi banget ke luar kota. Ke rumah Taehyung, malah menaikkan emosinya.

Taehyung pasti tak akan membiarkannya tenang mengerjakan tugas dari dosen killer yang ditakuti semua mahasiswa di jurusannya. Ke rumah Jimin...tidak dulu. Dia sudah sering ke sana dalam seminggu ini. Jadilah dia memilih kafe tengah kota yang buka 24 jam. Sekalian menikmati malam minggu dan berbaur dengan muda-mudi yang sedang kencan. Selain kafe ini sangat terkenal dengan dekorasi aestheticnya, live music yang disajikan juga tidak kaleng-kaleng.

Suara penyanyinya setara dengan peserta ajang pencarian bakat yang ditontonnya setiap Rabu. Menu makanannya juga banyak. Menurut akun sosial media kafe ini, yang paling laris dipesan adalah bola-bola kentang isi keju dengan saus pedas dan green tea boba. Harganya lumayan terjangkau. Cocok untuk kantong Seokjin.

Beberapa kali ponselnya berbunyi. Itu pasti grup chat kelompoknya yang kelabakan karena belum menemukan sumber dari materi yang diberikan dosen untuk mereka presentasikan Kamis besok. Seokjin lelah dan malas membalas chat mereka. Dia sudah dari kemarin merongrong semua anggota agar segera mencicil tugasnya sehingga dia bisa punya waktu menyusunnya dan tidak mengganggu waktu berharganya menikmati berbungkus-bungkus keripik kentang di hari minggu. Sialan memang. Selalu riweuh sendiri saat waktunya hampir mendekati deadline. Walau dia juga begitu, setidaknya dia sudah mencari beberapa sumber yang relevan dan tidak kelabakan saat mengerjakannya.

"Seokjin kan ya?" Seokjin mendongak dan menemukan dokter yang beberapa waktu lalu marah gara-gara dia menggoda Namjoon.

"Iya. Saya Seokjin pak."

"Boleh saya duduk di meja ini?"

"Duduk ya di kursi pak, masa di meja. Nggak sopan namanya." Pria itu terkekeh.

"Maksud saya satu meja denganmu, tidak masalah kan?" Dia membawa tas laptop berwarna hitam yang bergambar apel digigit.

"Ya, silahkan pak. Ini bukan milik saya. Jadi, bapak bebas duduk di sini."

Dia terkekeh lagi. Ada yang lucu kah dari ucapan Seokjin? "Oke, terima kasih." Dokter itu—Jackson—mulai mengeluarkan MacBook silvernya. "Anyway, jangan panggil bapak. Saya seusia Namjoon."

"Oh. Tapi anda terlihat seperti bapak-bapak." Seokjin, lain kali di filter dulu ucapannya ya. Inner Seokjin seolah menasehati dirinya yang terlanjur lontarkan kalimat kurang sopan itu. Membuatnya diam sesaat sebelum akhirnya meminta maaf ke Jackson. "Eh, maaf. Saya panggil kak Jack kalo begitu." Tambahkan cengiran bodoh, Jackson dibuat terkekeh lagi dengan tingkah pemuda di depannya ini.

"Not bad. Saya suka panggilannya." Jackson mulai membuka file jurnal yang sedang dikerjakannya beberapa hari ini. Jurnal tentang pasien-pasiennya yang memiliki gangguan PTSD. Dia akan mempresentasikannya di hadapan petinggi rumah sakit tentang kondisi kejiwaan pasien remaja yang mengalami PTSD. "Kamu sedang mengerjakan apa? Sendirian?"

"Tugas untuk presentasi. Iya, sendirian. Taehyung nggak asik kalau diajak ke tempat begini. Pasti akan membuat malu."

"Kenapa nggak di rumah aja? Saya pikir lebih enak karena nggak ada keramaian yang bisa memecah konsentrasi."

"Kak Jack sendiri, ngapain mengerjakan di tempat ramai begini? Saya nggak terpengaruh. Lagian kalau di rumah pasti dirusuhi Taehyung."

"Saya ingin refreshing sekalian. Sepertinya melihat anak muda bersemangat seperti mereka bisa membuat pikiran saya dingin." Dia menunjuk ke sekelompok remaja yang bermain Uno di salah satu meja besar. Begitu riuh dan terlihat menyenangkan. Tidak seperti dirinya yang sendirian dan terlihat menyedihkan sejak datang 4 jam yang lalu.

Promise | NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang