Tidak sanggup rasanya berlama-lama meredam dalam kebusukan di kamar sembari pendengarannya selalu diisi oleh celotehan Ny. Yoon. Jiyeon membenci setiap aksara Ny. Yoon untuknya. Kendati ia adalah orang yang telah melahirkannya ke dunia.
Sebab, setiap untaian kata yang terdengar seperti membebani kondisi tubuhnya yang belum kian membaik. Pun Jiyeon tetap memaksakan diri untuk hadir hari ini ke sekolah setelah melewati masa istirahat selama dua hari sebelumnya. Tungkainya melangkah menuju halte bis terdekat dengan kedua telinga yang disumpal oleh earphone.
Ia butuh ketenangan, sedikit musik sepertinya cukup membuatnya berspekulasi bahwa hari ini adalah hari yang baik. Semoga saja.
Tentang Jeon Jungkook, pemuda yang kelewat abstrak dengan isi kepala yang tidak dapat Jiyeon tebak. Pernyataannya waktu itu kepada sang kakak terus-menerus terngiang-ngiang dalam benak Jiyeon. Resmi berpacaran? Bahkan rasa takut Jiyeon padanya belum enyah sama sekali. Dan pemuda Jeon itu berani sekali mengklaim dirinya dengan status sedemikan rupa.
Bokongnya mendarat di kursi tunggu halte. Helaan napas terdengar berhembus lewat rongga hidungnya. Bukan tanpa sebab.
Melalui lirikan ekor matanya, ia menjumpai presensi Yumi yang datang dari arah berlawanan. Berjalan dengan langkah teratur ke arah halte bis. Ah, sial. Jiyeon merutuki skenarionya yang harus bersitatap tanpa sengaja dengan atensi gadis Jeon itu.
Terdengar bunyi decitan yang berasal dari bangku kayu yang Jiyeon duduki kala Yumi mengambil tempat untuk duduk. Posisi yang cukup berjauhan seakan mereka adalah orang asing yang selama ini belum mengenal. Heck, padahal banyak sekali kenangan tersendiri di pelataran ini yang mendadak menampar keduanya dalam kebisuan.
Kecanggungan menyelimuti mereka, memaksa keduanya defensif mengatupkan bibir kendati benci dengan keadaan kaku saat ini. Waktu seperti sengaja mempermainkan, berjalan begitu lambat seperti meminta mereka untuk mengalah dari rasa ego yang merambat di daksa.
Tepat ketika Yumi menarik pasokan oksigen melalui mulutnya yang terbuka, bus yang akan mereka tumpangi datang lewat bunyi deru mesin yang cukup memekakkan telinga. Ia lantas terdiam beberapa sekon sebab menunggu Jiyeon selesai naik duluan.
Lantas ia mengekor, menunjukkan transit cardnya untuk di scan. Setelah itu, ia mengedarkan pandangan. Mencari bangku kosong yang akan ia duduki. Pun maniknya tak sengaja mendapati Jiyeon tengah menatap figurnya, lalu kelabakan sendiri setelah terpergok. Dengusan geli meluncur melalui belah bibir Yumi, ia lantas memutuskan untuk melangkahkan kaki.
Total Jiyeon tercekat ketika melihat Yumi duduk disebelah bangkunya. Ingin protes, tapi ia tak memiliki alasan yang bagus untuk itu. Maka, kebisuan kembali menyambangi entitasnya. Kedua tangan Jiyeon terkepal, menahan rasa gugup dan canggung yang masih bersarang.
"Hai."
Sapaan lembut itu berhasil membuat Jiyeon terkesiap sejemang, ia menoleh kaku. Meneguk ludah yang terasa sulit untuk mengaliri kerongkongan yang mati dalam ketercekatan. Sejujurnya ia masih tidak paham, apa arti lengkungan tipis yang terpatri simetris pada labium Yumi yang hari ini dipolesi oleh lipstik berwarna peach.
Membenarkan surainya dengan menyalipkannya pada bagian belakang daun telinga, Jiyeon lekas memperbaiki posisi duduk sembari berdehem seadanya untuk menanggapi. Bukan tanpa sebab, hanya saja ia menghindari bualan-bualan konyol Yumi yang akan semakin mempersulit kehidupannya yang sudah terlanjur rumit.
Lantas mendapatkan respons seperti itu, Yumi tersenyum maklum. Memahami apa yang ada dalam benak mantan sahabatnya. Ya, mantan sahabat. Sebutan yang sangat aneh baginya hingga saat ini.
Hanya kebisuan yang menemani sepanjang perjalanan mereka. Tak ada konversasi lebih lanjut. Udara mendadak terasa panas dan membuat keduanya gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] SOUGH ✓
Fanfiction[EBOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Pada malam perayaan ulang tahun Jeon Yumi yang ke delapan belas, semua berubah mencekam--pelataran turut menjalarkan rasa kengerian bersamaan dengan alunan teriakan Yoon Jiyeon yang entitasnya melebur hanya dalam sekej...