Bulgoseuuuu vlisshh ͡° ͜ʖ ͡°
***
Tidak ada percakapan yang terjadi selama dalam perjalanan menuju sekolah. Konteksnya didominasi oleh kesunyian tanpa terjalin obrolan seperti hari-hari sebelumnya. Menciptakan atmosfir yang cukup mencekik dada lantaran hanya terdengar deru mesin mobil yang menjadi satu-satunya pemecah keheningan.
Tidak tahu apa yang terjadi, namun tentu hal ini mengundang kening Tuan Yoon untuk berlipat. Sebab, bukan kali pertama Jiyeon kedapatan sering menatap kosong—lebih banyak melamun dan mendadak menjadi pendiam sekiranya dua hari yang lalu. Putrinya lebih sering memancarkan iris yang kelewat kosong—hampa.
Melirik melalui sudut netra, pun Tuan Yoon menemukan presensi putrinya yang menyandarkan kepala pada jendela mobil. Pandangan lurus ke depan yang sulit untuk didefinisikan, tapi bagian terpentingnya Jiyeon tetap bermenung.
Saat laju mobil harus berhenti dikarenakan lampu lalu lintas menjadi merah, Tuan Yoon menarik napas dalam-dalam hingga dadanya turut terangkat. Merubah posisi duduk sembari merangkai isi kepala dengan aksara yang akan ia lontarkan untuk membangun komunikasi.
"Honey, what do you think?"
Butuh beberapa sekon Jiyeon tersadar, hingga si gadis mengerjap lembut dan menoleh pada sumber suara. Menatap Tuan Yoon dengan figur bingung yang ia punya.
"Ya?" Benar-benar lirih, intonasi yang terdengar asing memasuki rungu Tuan Yoon kala Jiyeon bersuara.
Mematri senyum, Tuan Yoon membawa satu tangannya mengelus puncak kepala Jiyeon penuh afeksi. Ia lantas melejangkan mobil lagi saat giliran para pejalan kaki yang berhenti.
"Papa tanya ... apa yang kau pikirkan, Sayang? Saat sarapan tadi Papa sering melihatmu kebanyakan melamun." Tuan Yoon bertutur kata lembut dengan mata yang fokus pada hamparan jalanan di depan. "Apa ada masalah?"
Bukannya langsung memberikan jawaban, untuk sesaat Jiyeon terperangah akan pertanyaan yang menguar dari bibir Tuan Yoon. Ia menundukkan kepala, meremat tangan yang bergetar dalam pangkuan. Sesekali ia akan mengulum bibir, atau menggigit labium bawahnya melampiaskan rasa khawatir yang tiba-tiba menggerogoti.
"Sayang?"
"H-huh?" Sontak Jiyeon terperanjat, ia mengangkat wajah dan mencoba membingkai senyum asimetris, memaksa agar bibir itu melengkungkan kurva manis. "A-aku tidak apa-apa. Yah ... h-hanya ada masalah sedikit dengan Yumi," katanya, dan Jiyeon menurunkan pandangan lagi.
Si gadis membawa kedua obsidiannya untuk memejam hingga mengerut. Rasa gelisah lebih mengungguli daksanya, dan Jiyeon lagi-lagi diliputi oleh keresahan.
Di satu sisi, Jiyeon ingin menceritakan perihal pelecehan yang ia alami. Namun disisi lain, ketidakberanian itu membawanya kembali pada kebungkaman, dan defensif mengatupkan bibir. Bertahan pada kondisi sekarang.
Jiyeon juga tidak dapat menampik bahwa kepalanya menciptakan beragam asumsi-asumsi yang dikuasi oleh kebimbangan—dilema.
Ketika rasa takut dan aksara penuh teror dari Jungkook kembali berputar bagaikan kaset rusak dalam kepala, menjadikannya melipat bibir. Maka, keputusan Jiyeon untuk diam saat ini sangat terpampang jelas.
"Selesaikan secara baik-baik. Kalian sahabat, seharusnya kalian bisa memahami diri kalian satu sama lain." Tuan Yoon mencoba memberikan nasihat. "Ketika kalian bisa memahami diri kalian satu sama lain, maka kalian bisa mengatasi berbagai permasalahan. Termasuk salah satunya sebuah kesalahpahaman."
Menanggapi hal itu Jiyeon hanya mengukir senyum kecut tanpa banyak komentar. Ia hanya menganggukkan kepala mengerti tanpa buka suara, atau barangkali menyahuti kalimat Tuan Yoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] SOUGH ✓
Fanfiction[EBOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Pada malam perayaan ulang tahun Jeon Yumi yang ke delapan belas, semua berubah mencekam--pelataran turut menjalarkan rasa kengerian bersamaan dengan alunan teriakan Yoon Jiyeon yang entitasnya melebur hanya dalam sekej...