16.

8.6K 705 131
                                    

Jiyeon pikir, rasa sakit ini bukan apa-apa. Suhu tubuhnya yang tinggi bukan masalah. Lagipula ia sudah beristirahat dengan cukup di hari Minggu. Pun keadaan ini ia sembunyikan rapat-rapat dari siapapun di rumah hingga tidak ada yang menyadari perihal demamnya—kecuali Tuan Yoon.

Jiyeon sedikit menggumamkan syukur lantaran Tuan Yoon tidak mengatakan apapun tentang kondisinya. Pun pagi-pagi Tuan Yoon sudah berangkat ke kantor karena ada urusan pekerjaan mendadak sekali.

Sarapan pagi dimeja makan hanya diisi oleh Ny. Yoon, Taehyung—yang sibuk dengan ponselnya, dan Jiyeon sendiri. Tidak ada percakapan lebih ketimbang hari-hari sebelumnya. Atmosfir yang benar-benar mencekam dan membuat perut Jiyeon melilit mual.

Ia memutuskan untuk berangkat lebih awal dengan menaiki bis sekolah di halte dekat rumahnya. Terduduk di dekat jendela sembari kedua rungu yang sengaja disumpal oleh earphone. Sedikit musik mungkin memberi ketenangan menjelang sampai ke sekolah untuk di hujam oleh mata pelajaran wajib hari ini dan pelajaran tambahan.

Mengingat pesan dari Jungkook semalam, deretan kalimatnya terus berputar dalam benak Jiyeon. Kendati ada rasa tidak nyaman menggerogoti saat ini, Jiyeon mencoba apatis dengan hal itu. Ia berusaha untuk tidak peduli dengan segala bentuk perhatian dari pemuda Jeon itu.

Pandangannya terangkat, Jiyeon lantas menatap gumpalan awan di cakrawala yang menyingsing, bergumul membentuk pola abstrak dan berubah lewat hembusan angin.

Bibirnya sontak membingkai kurva asimetris tipis. Ia merasa bahwa dunia tengah memandanginya rendah tanpa rasa iba dan empati sedikitpun atas perkara yang ia alami. Pun Jiyeon tidak peduli dengan semesta yang terkikik.

Jiyeon lantas memaksa paru-paru menarik oksigen, begitu serakah lantaran bayangan kelam hadir melesat cepat. Bertepatan saat itu, bus yang ia tumpangi sampai di halte sekolah. Membenahi diri, Jiyeon lantas turun dari sana.

Jenjangnya menapaki jalanan masuk ke gerbang sekolah. Ada banyak orang yang baru saja sampai dan ikut turun bersamanya dalam satu bus yang sama. Semua nampak bahagia kala secercah senyum dan tawa samar menusuk gendang telinga Jiyeon yang melangkah seorang diri.

Ya, seorang diri. Tidak seperti mereka yang membentuk kelompok-kelompok tertentu. Saling merangkul satu sama lain atau berbuat jahil agar mengundang canda tawa sebelum dihadang oleh pelajaran yang cukup suntuk di hari ini.

Kendati begitu, Jiyeon menggulirkan iris. Menyapu pandangan disela tungkainya tetap masuk ke pekarangan sekolah yang besar. Sembari menggenggam tali ransel, Jiyeon menerka-nerka bahwa Yumi telah tiba di sekolah.

Karakter gadis Jeon itu sangat sulit Jiyeon terka. Walaupun persahabatan mereka sudah terjalin cukup lama, Jiyeon benar-benar tidak tahu-menahu sifat Yumi yang sebenarnya. Ada banyak hal dari sikap dan kehidupan yang gadis Jeon itu simpan baik-baik agar hingga Jiyeon menjadi pihak yang tidak tahu dengan sahabatnya itu.

Ah, ralat. Mantan sahabat.

Membicarakan Yumi, ternyata terkaan Jiyeon benar. Begitu sepasang kakinya berhenti melangkah di ambang pintu kelas, Jiyeon menemukan figur Yumi yang kini berkutat dengan satu buku yang ia pegang—entah apa.

Jiyeon tidak peduli, ia melangkah masuk sembari membuang muka dari sorotan Jaemin yang tersenyum lebar. Suasana hatinya sedang tidak baik, maka Jiyeon memaksakan kepala agar memutar dan menyorot Jaemin lewat iris kembarnya. Ikut pula melempar senyum tipis dengan paksa.

"Sepertinya kalian masih belum baikan, ya?"

Jaemin sampai mendaratkan bokong di depan meja Jiyeon dan berceletuk mendadak. Sontak Jiyeon menghentikan pergerakannya yang merapikan ransel atas frasa barusan yang merasuk ke pendengaran.

[M] SOUGH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang