Chapter ini ga ada scene hnghh, dan ga ada Jungkook. Mungkin ada narasi yang berulang-ulang, jadi kuharap kamu ga bosan. Dan jangan lupa tinggalkan komentar juga cintanya, ya :D kalau ga mau, gapapa :> aku ga maksa.
***
[Jiyeon]
Bisakah saat istirahat nanti ... kita bicara di toilet?Kendati mereka sekarang sudah berjumpa, menjejalkan diri dalam pelataran yang sama saat jam istirahat berlangsung. Membiarkan perut sejemang keroncongan, lapar lantaran pertemuan canggung dan asing ini terjadi, namun tidak ada yang berani untuk buka suara.
Defensif dan larut dalam isi kepala yang berantakan, sibuk merangkai untaian kata yang akan dilontarkan.
Sudah lebih dari sepuluh menit mereka berdiri berhadapan, pun Yumi tak berani mempertemukan irisanya dengan Jiyeon yang memaku tatapan sendu. Jangan. Mendadak tenggorokkannya tercekat dan ia memutuskan untuk tetap menunduk menatap lantai kamar mandi. Memainkan ujung sepatunya pada permukaan marmer yang dingin dengan perasaan berdebar tidak karuan.
Demi apapun, Yumi seketika diserang perasaan bersalah dan malu.
Ketika figurnya merasa tidak pantas untuk menghadap Jiyeon sebab ia telah menceburkan gadis itu pada kehancuran. Ia yang mengkhianati dan memutus tali persahabatan mereka dengan sikapnya yang diluar dugaan.
Pun Yumi tidak punya pilihan. Barangkali Yumi ingin mati, namun ia tahu opsi itu bukanlah satu-satunya pilihan terbaik lantaran ia mengetahui sang kakak juga menyukai Jiyeon. Untuk membebaskan diri dari sikap Jungkook yang sinting—kelakuan Kakaknya yang bajingan, Yumi terpaksa menyeret Jiyeon dan menggantikannya dengan memanfaatkan situasi.
Ia tidak punya pilihan. Dan ia tahu, bahwa ia sangat amat bersalah disini.
Sudut bibir si gadis melengkungkan senyum getir, menyadari Yumi yang membuang muka. Merasa enggan bersitatap dan membuat iris mereka saling terpaku satu sama lain. Menyelami sikap masing-masing.
Jiyeon seakan tidak mengenali Yumi lagi. Mereka nampak asing. Seketika semua momen indah yang mereka bangun, atau perjanjian yang diucapkan verbal, tidak berarti lagi disini.
Kedua tangannya yang saling bertautan kini basah karena keringat. Jiyeon tidak tahu kenapa, namun tentu saja setelah apa yang mereka alami, mereka tidak bisa seperti dulu lagi.
Membuka mulut demi meraup udara untuk dada yang tiba-tiba berubah sesak, Jiyeon berdehem kecil. Menjadikan Yumi terkesiap pelan.
"Kenapa?" Adalah Jiyeon yang buka suara dengan lirih. Kendati ia telah mencoba agar aksen suaranya mengeras, nyatanya kerongkongannya tetap tercekat. Berdehem sekalipun tidak dapat mengatasi intonasi suaranya yang mencicit. "Kenapa kau melukai ku, Yumi?" Kali ini nadanya bergetar saat melantun.
Melukai? Jiyeon pikir, definisi yang sangat tepat ia udarakan untuk Yumi sebagai kalimat pembuka. Sebab, Yumi—sahabat terdekat, yang amat ia percayai—mendadak mengkhianati, melukai, menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan yang tak begitu berarti di bumi. Memaksa Jiyeon berteman dengan 'kehancuran', sesuatu yang 'kotor', dan 'kehilangan'.
Ada hening yang menyergap, dan Jiyeon mematri senyum kecut saat menyadari jika Yumi tetap membungkam bibir. Masih menghindari eksistensinya yang kini menanti-nanti, menunggu Yumi membuka bibir tidak pasti. Menangis pilu sekalipun disini, Jiyeon tidak yakin jika Yumi akan tergerak untuk membuatnya bangkit lagi.
"Aku sudah percaya padamu, dan selama kita menjadi sahabat ..." Jiyeon mendongak, menahan genangan air mata yang tumpah kala menjeda ucapannya. "... kau layaknya saudara bagiku," ia berujar dengan kepala tertunduk dan memainkan kesepuluh jemarinya yang gemetaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] SOUGH ✓
Fanfiction[EBOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Pada malam perayaan ulang tahun Jeon Yumi yang ke delapan belas, semua berubah mencekam--pelataran turut menjalarkan rasa kengerian bersamaan dengan alunan teriakan Yoon Jiyeon yang entitasnya melebur hanya dalam sekej...