O2.

7.4K 735 120
                                    

Tungkai Jiyeon melangkah cepat memasuki rumah setelah membanting pintu hingga mendebum keras. Tanpa sepatah kata apapun, ia meninggalkan Jungkook diluar—pemuda Jeon itu bersikeras mengantarnya pulang. Untuk melihat parasnya saja dalam kurun waktu yang panjang akan membuat Jiyeon merasa muak.

Jiyeon menaiki anak tangga dengan langkah terburu-buru, menimbulkan bunyi hentakan antara marmer dan kakinya yang beradu. Sesampainya di depan kamar, Jiyeon membuka pintu hanya dalam satu sentakan. Membantingnya keras hingga memekakkan telinga.

Isakan Jiyeon perlahan luruh, sedikit demi sedikit bersamaan dirinya yang memasuki kamar mandi dengan langkah gontai.

Pun tangis Jiyeon pecah saat sampai disana, menutup daun pintu tanpa tenaga. Menghidupkan shower, lalu ia berdiri dibawahnya. Membiarkan kucuran air itu membasahi tubuhnya yang kotor. Menyamarkan liquid bening yang turun dari kelopak matanya.

Dadanya sesak, maka Jiyeon lekas mengarahkan pukulan cukup keras pada bagian yang sakit itu.

Dengan punggung yang disandarkan lemah—lantaran terlalu lelah menopang tubuhnya, pelan-pelan Jiyeon merosot jatuh. Kedua tangan itu menutup wajahnya, meredam isakan yang kian terdengar keras. Tergugu ketika momentum kelam semalam berputar lagi.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa?" Gumaman tercekat itu mengudara, dengan kasar Jiyeon mengusap seluruh tubuhnya.

Pangkal pahanya masih terasa sakit. Jungkook membuang rasa kemanusiaannya dalam menyetubuhi Jiyeon untuk pertama kalinya.

"Sakit. Sakit sekali—hiks," ia tergugu lagi.

Menyisakan sentuhan Jungkook yang terus terasa—terngiang-ngiang dalam benak. Semakin membuat lukanya menganga dan terasa perih. Bagian yang paling lama Jiyeon usap kasar dengan telapak tangannya adalah leher.

Leher; dimana wajah Jungkook berlabuh untuk tidur, dan meninggalkan kecupan kecil—tidak meninggalkan tanda yang membekas—yang Jiyeon benci. Rasa panas dan basah dari bibirnya melekat dalam kepala.

Semakin dalam Jiyeon berkeinginan untuk mengubur ingatan itu, ia juga akan semakin mengingat paras Jungkook yang bergerak gencar diatas tubuhnya untuk menggali samudera kenikmatan. Menikam Jiyeon agar tidak mampu memberontak.

Rasa frustasi mengerubunginya, Jiyeon lantas mengacak-acak rambutnya kasar dengan tangis yang semakin pecah. Air matanya mengalir dengan deras membasahi pipi, namun kucuran air shower menutupi luka yang kini ia perlihatkan.

Entitasnya didominasi oleh luka yang berhasil Jungkook buat dalam satu malam. Jiyeon juga tidak dapat menyangkal bahwa rasa bencinya untuk Yumi telah membesar. Ingatan-ingatan membahagiakan yang mereka buat bersama telah lenyap hanya karena satu kesalahan yang Yumi ciptakan.

Adalah membuat Jiyeon masuk ke dalam neraka terkejam Jungkook, kubangan penuh dosa yang menghantarkan eksistensi Jiyeon menjadi kotor.

Tok. Tok. Tok.

Total napas Jiyeon terengah-engah, ia lantas berhenti tergugu kala mendengar suara pintu yang diketuk dari luar. Sial. Jiyeon lupa mengunci pintu kamarnya.

"Ji? Kau di dalam?" Itu suara Kakaknya—Yoon Taehyung, memanggil dari luar. "Ji? Kau menangis?"

Jiyeon sontak terkesiap hebat. Bahunya naik-turun lantaran mencoba mengatur pernapasan agar menjadi tenang. Lantas ia berdehem pelan untuk membuat suaranya terdengar normal—menghindari kecurigaan Taehyung—saat akan membalas.

"Ji-Jiyeon tidak apa-apa, Kak." Jiyeon mencoba berteriak dari dalam. Semakin memeluk dirinya yang meringkuk dan memandangi pintu yang tertutup.

Taehyung masih bergeming, tidak ada sahutan yang terdengar selang beberapa detik. Membuat Jiyeon berasumsi jika Kakaknya telah pergi. Namun, saat akan berdiri dan pergi memeriksa, aksen berat Taehyung menyambangi.

[M] SOUGH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang