This and That

2 2 1
                                    

"Apa aku ... benci Pak Jun?" 

Aria mengangkat sebelah alis. Di hadapannya adalah sepiring pasta berlumur saus keju yang diputar pada ujung garpu. Jun hampir bisa mendengar roda gigi di dalam kepala perempuan itu bergerak ketika ia berusaha mengingat apa gerangan yang membuatnya berkata seperti itu.

"Semenjak kita keluar dari bioskop --bukan, semenjak kita bertemu sore tadi, kamu meminta untuk menjaga jarak, memesan kursi yang tidak bersebelahan, dan menolak berbicara sama sekali. Wajar, sih, kalau memang kamu merasa nggak nyaman. Kalau memang begitu, ya..." Jun membungkukkan badan. "...maaf."

"Eh?" Aria kebingungan melihat Jun yang tiba-tiba berdiri dan membungkuk padanya. Tangannya terburu memberikan isyarat agar ia cepat duduk kembali sebelum menarik perhatian orang di sekitar. "Nggak. Serius, saya nggak benci Pak Jun. Aduh, bagaimana ya bilangnya. Itu ... Anu ..." 

Tidak menemukan keberanian untuk memandang Jun, Aria membuang pandangannya ke luar jendela, jauh ke pemandangan kota yang berkelap-kelip di bawah lampu malam. "Tadi ... Pertama kali saya ke bioskop. Jangan ketawa. Barangkali saya yang terlalu fokus ke film dan pemandangan restoran sehingga lupa mengajak Pak Jun berbicara. Jadi ... Maaf kalau bikin salah paham."

"Beneran, serius?"

"Dua rius."

"Nggak cuma itu, sih. Kemarin aku juga sebenarnya bercanda waktu mengajak nonton film. Rasanya jadi seperti aku yang memaksamu ke sini."

"Saya nggak keberatan, kok."

"Hm?"

"Saya jarang banget diajak keluar teman, kolega, atau apalah. Jadi, terima kasih untuk malam ini."

***

Pada malam minggu seperti ini, jalanan tidak pernah sepi. Lampu hias yang dipasang di emperan berbagai toko berkedip memancing pejalan kaki di sekitar untuk mampir sejenak, sedangkan bau kopi dan makanan ringan menarik perhatian perut yang keroncongan. Malam masih muda, tetapi perjalanan Jun dan Aria sudah sampai pada tahap akhirnya.

Film pendek diikuti dengan makan malam yang dibayari oleh Jun karena rasa khawatir bahwa Aria membencinya --dikonfirmasi salah oleh yang bersangkutan-- sudah membuat mereka kenyang, baik secara raga maupun pikiran. Mereka masih mengambil jarak satu meter. Aria lebih dahulu di depan dan Jun mengekor di belakangnya. Sesaat pikiran untuk memimpin jalan muncul di benaknya, sayang ia tidak tahu ke mana arah rumah yang dituju.

Aria berjalan dengan lambat, bahkan untuk standar seorang wanita setingginya. Matanya berkeliaran melihat pemandangan di kiri dan kanan. Matanya berbinar terang dan ujung rambut selehernya menyapu tepi syal yang dipakai. Sepertinya ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia jarang sekali diajak keluar. Jun merasa seperti sedang melihat anak kecil yang pertama kali ke kebun binatang.

Sepatu Jun menjejaki aspal setengah basah, langkahnya kecil-kecil demi menghindari kemungkinan terpeleset dan terlihat bodoh di tengah kerumunan orang di sekitar. Sebuah pikiran terbesit di benaknya. Ia tidak tahu nomor Aria. Memang, mereka lebih sering berkomunkasi lewat surel, sih. Hanya saja, surel rasanya seperti media komunikasi untuk bisnis. Apa ini cara halus Aria untuk mengatakan supaya Jun tidak menghubunginya lagi?

"Halo, halo? Bumi kepada Pak Jun?" Aria menjentikkan jarinya dari kejauhan, menarik Jun lepas dari imajinasinya.

"Ha. Ah, iya?"

"Setelah ini penyeberangan. Jangan melamun. Saya nggak mau tanggung jawab kalau bapak tertabrak truk atau semacamnya." Aria tertawa kecil sebelum menyeberang terlebih dahulu. Jun nyengir. Selera humor gadis ini memang aneh.

MiasmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang