1.

3.5K 651 48
                                    

"Fiks otak lo miring."

"Under pressure gue, J. Lo gak tau aja rasanya setiap lihat muka Haidar."

"Pak Haidar." Jeni mendelik, menegur Melani. "Dia itu dosen terbaik yang kampus kita punya. Lo itu harusnya bersyukur dapet dosbim dia, bukan malah ngajak kencan. Dasar sinting."

Melani menyandar pada Sofa sambil terus menyunyah Pocky yang sejak tadi ia nikmati. "Gue stuck. Buntu. Bingung. Setahun lebih skripsi gue gak ada progres dan kuliah gue udah dua belas semester. Setiap judul yang gue ajuin, ditolak terus sama Haidar."

"Pak Haidar!" Jeni menggertak. "Jadi mahasiswa tuh jangan durhaka sama dosen. Gak lulus-lulus lo jadinya." Gadis itu mengambil teh kemasan, meneguk cepat, lalu fokus pada sahabatnya. "Terus, habis lo tembak dia, Pak Haidar respons gimana?"

"Dia nolak gue." Melani memejamkan matanya seraya terus mengunyah biskuit stik berbalut coklat itu. "Gue gak tahu lagi harus gimana. Saat lihat dia tadi, pikiran gue impulsif aja ngajak dia pacaran. Nalar gue bilang, kalau kami ada hubungan, mungkin Haidar gak bakalan sekeras ini sama gue."

"Dia gak pernah keras sama mahasiswa. Dia itu supel, ramah, humble, dan solutif."

"Tapi gak ke gue," bantah Melani. "Gak ada solusi dari dia buat tugas akhir gue. Setiap judul yang gue ajuin, dia tolak mentah-mentah. Gue jadi ngerasa, dia itu sentimen sama gue."

"Perasaan lo doang itu," batah Jeni. "Lo udah buang-buang waktu buat hapus sakit hati lo atas penolakan judul lo setahun lalu. Bimbingan lagi, hasilnya begini lagi. Saran gue, mending lo stop dulu, deh, mainan Instagram dan fokus garap skripsi. Nyokap lo itu galak, Mel. Kalau lo gak segera lulus, gak bakalan tenang hidup lo."

Jeni mengingatkan Melani akan ibunya. Hidup Melani tak akan bisa tenang dari teror pertanyaan dan tuntutan mengapa ia tak kunjung mendapatkan gelar. Melani merasa ia tidak bodoh. Ia bingung mengapa harus mengulang beberapa mata kuliah hingga waktu tempuh belajarnya sampai sembilan semester. Setelahnya, masih harus mengalami tiga kali penolakan judul hingga ia memutuskan untuk cuti satu tahun.

Jeni benar. Haidar bukanlah dosen killer atau jahat seperti dalam cerita-cerita. Pria itu ramah, baik, supel dan pendengar yang membuat siapapun nyaman. Hanya saja, Melani tak tahu apa yang kurang dari dirinya, hingga sepanjang apapun dia bicara, Haidar tetap menolak judul skripsi yang diajukan.

"Pak Haidar mungkin kurang suka dengan judul-judul yang berkaitan dengan sosial media, Mel. Ini barangkali loh, ya. Mengingat, setiap judul yang lo ajuin dulu, pasti ada bau-bau Instagram-nya. Coba lo cari judul yang berkaitan dengan corporate."

"Buntu, gue, J. Lo tahu sendiri, kan, kalau dunia gue itu Instagram?"

"Kenapa gak penelitian di kantor nyokap lo aja, sih? Gue yakin Pak Haidar pasti ACC kalau lo penelitian di kantor nyokap lo." Jeni menatap Melani dengan serius. "Dunia lo memang Instagram dan followers lo yang udah jutaan itu. Namun, dunia Haidar bukan itu. Kalau lo mau skripsi lo mulus, ya coba cari penelitian yang bisa diterima sama dia. Salah satunya tentang komunikasi korporasi. Penelitian di kantor nyokap lo, Mel."

Melani menggeleng ngeri. "Nyokap gue galak, banyak aturan. Bisa mati berdiri gue hidup sama dia. Enggak, enggak, makasih."

"Tapi ini demi skripsi lo, Maemunah!" Jeni mulai geregetan. "Lo kalahin ego deh sekali ini aja, demi bisa lulus kuliah doang. Nurut sama Pak Haidar, nurut sama nyokap lo. Enam bulan doang, kan, yang lo minta? Pasti bisa!"

"Enam bulan." Melani menerawang. "Enam bulan hidup sama nyokap, nurut sama Haidar. Enam bulan kurangin endorse dan hidup hemat. Enam bulan. Enam bulan demi bisa bebas setelahnya."

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang