21

2.7K 691 149
                                    

“What did you do to her?”

“Nothing.” Haidar menggeleng lemah, dengan mata yang menyorot gelas teh hangat.

Di depan pria itu, Benu menghela napas panjang. “Karena kamu tidak melakukan apapun, jadinya runyam begini. Kalian itu memangnya benar ada hubungan?”

Haidar mengangguk pelan dengan wajah melamun. “Seharusnya masih ada hubungan.”

“Tapi semalam kamu dengar sendiri, dia bilang tidak mengenalmu.”

Haidar mendongak, menatap rekan sejawatnya. “Tanda tanganku ada di skripsinya. Aku yang mengantarnya ke Singapura untuk menghadiri wisuda Meliana.”

“Wanita itu rumit, Haidar. Dan perempuan yang kamu hadapi itu, kloningan ibu mertuaku. Sumber dari segala kerumitan muka bumi.” Benu tertawa ringan. “Kalau kamu memang mau memperbaiki, kamu akan melewati perjuangan yang panjang dan berat. Aku yakin itu.”

Haidar menatap Benu dengan penasaran. Apa maksud ucapan teman kerjanya? “Berat?” Perjuangan semacam apa yang Benu maksud hingga mengatakan langkahnya akan panjang dan berat?

Benu mendengkus ringan. “Dia itu keras. Benar-benar keturunan ibu mertuaku. Hanya Papi yang bisa menenangkan Lani jika sedang emosi. Aku tidak tahu jelas apa yang terjadi di antara kalian, selain informasi bahwa Lani jatuh cinta selama bimbingan skripsi sama kamu, lalu patah hati. Dia menangis di hari wisudanya, saat aku mengabarkan baru saja mengantarkanmu ke bandara. Sejak itu, dia tertutup. Dia bekerja keras dengan timnya membangun agensi digital marketing dan sekarang sedang dekat dengan pengusaha muda.”

Haidar tersentak. Ia menegap, menatap Benu dengan mata terbelalak.

Benu mengibaskan tangan. “Gak usah sok kaget begitu. Lani cantik, kuakui dia cantik melebihi istriku. Wajar jika banyak pria yang tertarik, termasuk kamu.”

“Dia ... sudah punya kekasih? Kami belum memutuskan hubungan kami.” 

“Yang tahu jenis hubungan kalian itu ya kalian. Aku tidak bisa mengatakan kalian masih ada hubungan atau tidak.” Benu menggeleng tak habis pikir. “Ini murni salah kamu. Wanita tidak bisa diperlakukan begini, apalagi Lani. Aku paham sifatnya, sejak menjadi iparnya.”

“Apa ... dia dan pengusaha muda itu ....” Haidar kalut dan mulai ciut. Mendengar pengusaha muda, pikirannya berkelana pada portal-portal berita yang sempat dia baca, tetapi tak pernah ia percaya.

“Papi tak merestui. Itu kabar baik untukmu. Namun, buruknya, Lani pun tak mau juga sama kamu. Kemungkinan Lani akan memperjuangkan hubungannya dengan pengusaha muda itu. Selama ini, tidak ada pria selain Axel yang dekat dengan Lani. Sainganmu berat, Bos.”

Haidar sesak. Rasanya, oksigen seketika hilang dari ruangan itu dan mencekiknya. Tiga tahun berusaha membuat jarak demi konsentrasi belajar dan menyelesaikan studi sebaik mungkin, membuat Haidar harus mau menerima jika ia kini kalah jauh dengan pria lain. Ia setengah menyesali kepergiannya ke Amerika, tetapi hal itu adalah perjuangannya sejak mulai bekerja mengajar mahasiswa.

Ia masih terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya kusut melihat kondisinya kini semakin semrawut. Bahkan saat Benu meninggalkannya untuk kembali ke kelas, Haidar masih terpaku di meja itu dan melamun.

*****

Kata Benu, ruko ini adalah kantor milik Melani. Papinya menghadiahkan bangunan ini saat Melani membuktikan keberhasilannya sebagai selebgram dan mahasiswa. Ruko tiga lantai yang berdiri di kawasan elit Jakarta. Sepulang mengajar, Haidar mengemudikan mobilnya ke tempat ini, demi bisa bertemu Melani sekali lagi.

Ia memarkirkan mobilnya tepat di sebelah milik Melani. Tak langsung turun dan mencari,  Haidar meliarkan pandangannya ke sekeliling dan mengamati situasi. Ada banyak yang keluar masuk ruko itu. Sepertinya sedang ada aktivitas yang sibuk sekali. Haidar ingin masuk, tetapi bingung harus bagaimana.

Setelah menghitung dan menimbang, Haidar memutuskan untuk maju saja. seperti yang Benu katakan, bahwa perjuangannya panjang dan berat. Jadi, tak ada buang-buang waktu dan ia harus bergerak cepat.

Haidar turun mobil, masuk ke dalam ruko itu dan bertanya di mana Melani berada. Setelah mendapat jawaban dari seseorang yang papasan dengan dirinya, Haidar melangkah cepat menuju lantai tiga yang katanya studio pengambilan gambar.

Tempat itu ramai dan terang. Melani berada di depan kamera, sedang bergaya dengan produk kecantikan. Melihat Melani, hati Haidar berdesir. Tiga tahun tak bertemu, ia tak menampik jika Melani berubah drastis. Tak ada lagi pesimistis dan rendah diri. Melani yang Haidar lihat sekarang adalah wujud dari perempuan dengan sejuta pesona.

Banyak pasang mata memperhatikan Melani dengan kekaguman. Haidar tak berani mendekat, memilih menunggu di ujung pintu ruang pemotretan.

“Maaf, Mas. Grabfood?”

Haidar menoleh saat seseorang menepuk pundaknya. “Oh, bukan.” Ia menggeleng dengan seringai malu. “Saya ... mau bertemu Melani.”

Perempuan yang menyapa Haidar, mengernyit. “Ini ... mas-mas yang Instagramnya isinya twibon doang bukan, ya? Laksmi kayaknya pernah lihat wajah masnya. Follower masnya sekitar dua ratusan, terus isi IG-nya twibon doang sama foto oma-oma di luar negeri. Iya gak, sih?” Perempuan itu mengangguk, lalu melirik kepada Melani. “Iya, bukan sih, Mbak Mel, ini mas-mas yang IG-nya suka Mbak Mel intip. Yang isinya twibbon doang.”

Haidar seketika menoleh pada arah yang sama. Beberapa langkah dari tempatnya, Melani berdiri dengan wajah dingin dan datar.

“Mbak Mel, mas ini cari Mbak Mel. Mungkin mau ikutan jadi anggota agensi? Eh, tapi kalau followers di bawah lima ribu, kita belum terima, Mas.” Laksmi menoleh kepada Haidar. “Lebih jelasnya, tanya ke Mbak Melani, ya. Saya permisi dulu. Mau beberes.”

“Laksmi.”

Langkah Laksmi yang hendak pergi, terhenti. Perempuan itu berbalik dan menatap Melani dengan wajah tanya.

“Katakan kepada dia, kalau ada perlu dengan agensi kita, suruh hubungi melalui kontak email yang tertera di Instagram aku.”

“Aku mau bicara sama kamu, Mel.” Haidar maju satu langkah, mencobe mendekati Melani. “Sebentar saja.”

Melani tak menggubris. Ia berbalik, berbisik kepada seseorang lalu meninggalkan Haidar tapa sapa apalagi senyum.

“Mas.” Pemuda yang tadi menerima pesan bisik dari Melani menghampiri Haidar. “Mbak Melani pesan, tidak mau menerima tamu yang tidak ada hubungannya dengan bisnis agensi. Jika ada keperluan bisnis, silakan hubungi nomor yang terletak di bio Instagram atau email. Nanti managemen kami yang akan follow up, apakah bisa kerja sama atau tidak.”

Haidar bingung. Ia tidak berniat kerjasama bisnis dengan agensi Melani. “Saya ingin bicara dengan Melani sebentar saja.”

“Tapi Mbak Mel sibuk. Setelah ini dia ada zoom meeting dengan UMKM yang akan kerjasama dengan dia. Kemungkinan sampai larut malam.”

“Saya tunggu.”

“Tapi Mbak Mel pesan, masnya diminta pergi saja. Urusan bisnis, bisa lewat email yang tertera di bio.”

Haidar kesal, tetapi tak bisa membantah. Ia mendengkus pelan, meredam emosinya dengan mata yang terus mengarah kepada Melani. Perempuan itu sedang berbincang dengan seseorang. Mata Haidar terus terpaku pada Melani, hingga tatapan mereka bertemu. Haidar melihat sesuatu dalam sorot mata Melani dan ia yakin ia harus memperbaiki semuanya dari awal lagi.

*****

Udah sampe sini aja, atau lagi? Buku udah pada sampai kan ya? 😁😁

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang