19

2.6K 607 34
                                    


Tiga tahun kemudian

“Lani, sarapan sudah siap.”

Melani hanya melirik pada daun pintu, di mana Meliana berdiri sambil memegang gagang pintu yang dibuka. Melani yang masih berhias, hanya mengangguk sambil bedeham singkat.

“Aku makan duluan sama Mas Benu. Kamu jangan lama-lama. Papi juga harus lekas jalan kerja.”

“Iya, bawel.” Melani kembali menatap pantulan wajahnya di cermin, lalu melanjutkan berhias. Ia sudah rapi dengan blazer dan celana formal. Ada meeting dengan tiga selebgram baru yang mengajukan kerjasama dengan agensi miliknya. Meski bukan bergerak di sektor formal, terkadang Melani berbusana layaknya eksekutif muda.

Tak lama setelah kembarannya pergi, teriakan memanggil namanya terdengar. Jika Ibu sudah turun tangan, Melani enggan membantah. Ia mengambil tas kerjanya, lalu turun ke meja makan.

“Pagi, Pi.” Ia mengecup pipi papinya, lalu mengambil tempat di hadapan Meliana.

Makan pagi ini diwarnai omelan ibu Melani yang menegur keras Meliana paska keguguran. Sepanjang ceramah tujuh belas menit itu, Melani hanya melihat kepada Meliana dan suaminya yang menunduk diam dan angguk-angguk kepala.

“Ibu tahu, Benu, niatmu mulia. Membangun rumah tangga berdua. Hanya saja, terbukti, kan, kalau Meliana pisah dengan Ibu, ini yang terjadi. Sudah, jangan lagi tinggal di rumah temanmu itu. Rumah kami masih cukup mampu menampung kalian dan cucu-cucu kelak. Buang ego dan idealismemu itu. Demi kebaikan rumah tanggamu juga.”

Melani melirik kepada papinya yang hanya diam, seakan memberikan waktu dan tempat seutuhkan kepada istri yang sempat diceraikan dulu. Proses rujuk mereka tak mudah dan Melani serta Meliana turut turun tangan demi menyatukan keluarganya lagi. Jadi, Melani paham sekali jika kali ini, papinya tak lagi mengedepankan ego dan opininya, sepanjang itu memang yang terbaik bagi semua.

Mereka paham pada sifat sang ratu yang perfeksionis, merasa benar sendiri, cerewet, mudah marah, dan tinggi gengsi. Namun, seburuk apapun sang ibu, wanita paruh baya itu tetaplah wanita yang mereka cinta dan butuhkan.

“Dua tahun pernikahan kalian, masih wajar jika tinggal bersama mertua.” Ibu Melani masih saja mengomel. “Keguguran yang kemarin, jadikan pelajaran, jika Meliana hamil, butuh teman di rumah. Pindah lagi ke sini saja sampai anak kalian usia dua tahun.”

Sepasang suami istri muda itu hanya mengangguk dan menyetujui usul sang ibu.

“Iya, Bu. Kebetulan memang rumah itu akan dihuni oleh pemiliknya lagi. Jadi, memang kami memutuskan untuk tinggal di sini, sampai saya menemukan rumah yang cocok.”

“Sampai anak kalian usia dua tahun,” ralat ibu Melani tegas, dengan mata menyorot tajam. “Soal cari rumah, Ibu yakin minggu depan kamu sudah dapat. Jadi, bukan itu patokannya, tapi usia anak kalian kelak. Cari rumah, terserah kalian saja. Soal anak, Ibu akan turun tangan.”

Melani tak lagi peduli pada ucapan sang ibu dan permasalahan Meliana dan suaminya. Fokusnya kini pada ucapan Benu yang mengatakan bahwa pemilik rumah tinggal mereka akan kembali. Itu artinya ...

Jantung Melani seketika berdegup kencang dengan perasaan yang begemuruh tajam. Ada amarah, kecewa, sakit hati, dan kesal yang menggulung batinnya. Ia tak menyukai kabar ini. Baginya, lebih baik pria itu jangan kembali saja. Ia bisa lebih mudah menata hidup baru tanpa bayang atau kehadiran pria yang berhasil membuatnya patah hati.

“Ponsel kamu bunyi.” Ucapan Papi membuat Melani tersentak, lantas mengambil ponsel dari tas kerjanya.

“Axel sudah di depan rumah. Lani jalan duluan, ya, Pi.” Melani meneguk jus jeruknya hingga habis, beranjak dari kursi, lalu mengecup pipi Papi dan Ibu. “Ibu jangan terlalu keras dengan Meli. Dia lagi hamil. Takut stres dan nanti kejadian lagi.” Melani berpesan dengan wajah datar dan tak acuh pada raut wajah galak ibunya yang sepertinya tak terima ditegur anaknya.

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang