8

2.2K 606 34
                                    

Permisi, numpang dobel apdeyt

****** 

            "Akhirnya, Ibu bisa sedikit lega. Sedikit saja, belum benar-benar lega." Ibu Melani meneguk air mineral yang ada di meja kerjanya. "Setidaknya, kamu selangkah lebih maju, meski masih tertinggal jauh dengan Meliana."

Melani hanya bergeming dan tetap fokus merapikan lembaran-lembaran kuisioner yang baru saja selesai diisi oleh beberapa pegawai yang menjadi responden. Ia tak berani membantah, menjawab, atau menyangkal apapun yang ibunya katakan. Saat ini gadis itu sedang berada di ruang kerja sang ibu. Ruang kerja general manager pabrik alat pertukangan.

Sambil mendengarkan ucapan panjang lebar ibunya yang membanggakan Meliana dan menggerutu tentang progres pendidikannya yang lambat, Melani mengedarkan pandangan ke sekitar ruang kerja. Ini pertama kalinya ia masuk ke ruang kerja ibunya, ke kantor wanita paruh baya itu. Selama ini, Meliana yang selalu ada di sisi ibu mereka. Melani hanya mau menemui ibunya di lobi kantor apabila mereka memiliki urusan.

Ruang kerja ini cukup bagus. Meski tak megah, tetapi kesan profesional dan tegas bisa Melani rasakan. Seperti sifat ibunya, ruangan ini dingin, kaku, minimalis, dengan perabot berkualitas terbaik.

"Kamu dengar Ibu, kan, Mel?" Suara ibunya membuat Melani menoleh kepada wanita itu. Ibu Melani mendengkus putus asa. "Kamu selalu begitu. Tak pernah mau mendengarkan Ibu."

Melani menggeleng cepat. "Bukan begitu, Bu."

"Tapi sedari tadi kamu melamun atau mengedarkan pandangan. Seharusnya kamu fokus memperhatikan Ibu."

"Melani sulit fokus." Melani mendengkus lelah. "Ibu selalu membandingkan Melani dengan Meliana. Ibu selalu menyalahkan Papi atas apa yang terjadi kepada Melani. Mel sudah bilang, ini hidup Mel, keputusan Mel, dan Mel bahagia."

"Tetapi Ibu tidak." Wanita setengah baya itu sedikit menyentak. "Ibu mana yang bisa bahagia melihat anaknya jadi mahasiswa abadi? Ibu mana yang bangga melihat anaknya hanya bisa bergaya dengan produk-produk. Ibu mana yang lega jika anaknya tak memiliki status masa depan jelas." Wajah ibu Melani tampak tegas dan tegang. "Ibu bukannya membandingkanmu dengan Meli. Ibu hanya memberikan contoh, bahwa saudarimu bisa sukses karena menuruti Ibu. Salah Ibu melepasmu dan memberikan kesempatan kepada pria itu untuk membesarkanmu. Begini hasilnya."

"Begihi hasilnya itu, seperti apa maksud Ibu?" Ini yang Meliana tak suka. Ibunya selalu menganggap ia produk gagal, anak tak terdidik, lalu menyalahkan sang mantan suami. Hal ini juga yang membuat Melani memilih sewa apartemen dan bekerja keras mengumpulkan uang dari endorse. Ayahnya memberi uang bulanan, tetapi yang lebih dari cukup untuk biaya hidup dan kuliah. Namun, Melani tetap menjalankan aktivitasnya di sosial media dan mendapatkan uang dari sana.

"Ibu tak mau bahas."

"Bahas saja sekarang! Setidaknya, Mel tahu apa yang harus Mel lakukan." Melani yang lelah setelah tiga hari berturut-turut terjun ke lapangan menggali data, memaksa ibunya untuk bicara. Ia ingin semuanya jelas dan membuatnya tahu pasti apa yang ibunya inginkan darinya.

"Bahas apapun, tetap sama kamu akan di belakang Meliana, Mel. Dia sebentar lagi wisuda magister dan sudah ada yang memintanya menjadi dosen. Dua universitas yang sudah memberinya tawaran mengajar. Kalau kamu, Ibu tak berani berharap banyak. Lulus dan jadi sarjana saja, Ibu sudah lega. Urusan bagaimana kariermu kedepan, Ibu tak mau banyak bicara. Ibu yakin kamu tidak akan mendengar apalagi menuruti."

Mata Melani seketika terasa memanas. Rasanya sakit, tetapi ia harus bertahan. "Memangnya, apa yang Ibu mau dari Melani?" Ia ingin, satu kali saja ibunya memberinya alasan untuk maju dan menjadi anak yang bisa dibanggakan.

Wanita setengah baya itu menghela napas panjang. "Sudah tidak ada. Kalaupun ada yang ingin Ibu harapkan, jadilah seperti Meliana yang bisa membanggakan. Apa yang kamu lakukan tidak bisa membuat Ibu bangga. Semua itu terlihat tak sehebat yang Ibu bayangkan."

Air mata Melani jatuh. Ia mengusap wajahnya dengan cepat, lalu beranjak. "Mel pamit pulang."

"Kita belum makan siang."

"Mel makan di luar saja. Ibu jangan terlalu sering mengurusi anak yang tak bisa membanggakan Ibu." Melani mengambil tas, mengangkat bundelan kuisioner yang sudah terisi, lalu melangkah cepat keluar ruangan, tanpa peduli dengan panggilan ibunya dan perintah untuk tidak pergi.

******

"Lo itu bukan Rachel Venya, ya, Mel. Tarif endorse lo masih murah meriah dan kita butuh gaji bulanan." Andina berkacak pinggang dengan wajah kesal. "Laksmi Cuma jawab lo sibuk kuliah, setiap gue telepon dia dna cariin lo. Lo pikir, gaji Laksmi dari mana? Kalau lo gak ada photoshoot sama produk, gak ada cuan."

Melani memejamkan mata dan bersandar pada sofa apartemennya.

"Bokaplo sih bisa bayarin sewa apartemen sampai beliin lo lolipop, tapi tim lo butuh duit dari endorsment lo dan lo ngilang dua minggu tanpa kejelasan. Gue sampe capek jelasin ke klien yang mau jasa kita."

"Sorry, Din. Gue ... ada tenggat skripsi." Suara Melani lemah dan gadis itu masih saja memejamkan mata. Kepalanya terasa berat usai menangis sepanjang perjalanan. Ia juga belum sempat makan dan sudah harus menerima omelan kedua di hari ini.

"Tenggat, sih, tenggat, tapi kewajiban jangan lupa. Kita memang bukan tim selebgram papan atas, tetapi gak menutup kemungkinan mengarah ke sana. Kalau baru segini aja udah ilang-ilangan, gimana kalau followers lo udah jutaan?" Andina masih kesal. Ia tak sedikit pun meneliti gestur teman cari uangnya. "Gue gak mau tahu, ya, mulai besok, kita kebut pengambilan gambar klien yang udah numpuk."

Melani hanya berdeham. Ia malas berdebat atau menjawab apapun yang Andina ucapkan.

"Besok pagi gue bakal suruh Laksmi untuk urus keperluan lo seperti biasa." Andina beranjak dari tempatnya. "Gue mau balik dulu. Gue mau atur jadwal produk apa aja yang mau kita posting besok. Gue juga harus calling Jo, biar siapin konten untuk caption di setiap unggahan kita nanti. Lo tahu, tugas kita gak remeh, jadi jangan pernah pandang enteng."

Langkah Andina sudah sampai pintu dan hendak membuka. Namun, perempuan itu berbalik dengan wajah penuh tanya saat Melani memanggilnya.

"Menurut lo, kita bisa beneran sukses dengan jalan ini, Dina?"

Andina mengernyit bingung. "Atta Halilintar punya uang milayaran dari Youtube. Gue yakin, kalau dia gak kaya dari sosial media dan kontennya itu, Aurel belum tentu mau jadi bininya."

"Itu, kan, Youtube. Maksud gue, dengan Instagram ini, Dina. Apa lo yakin gue—kita bisa menjadi orang hebat dengan jalur ini?"

"Sekarang jaman digital, Mel. Sumber duit bukan lagi dari kementrian atau perusahaan tambang. TikTok gak bakalan bikin event besar kalau mereka gak dapet duit banyak dari penggunanya."

"Maksud gue Instagram, Dina."

"Sama aja, Melani Indria! Kita memasarkan produk klien melalui sosmed ini dan mendapatkan hasil. Instagram sudah jadi salah satu media informasi sampai iklan. Lo bahkan bisa tahu berapa pendapatan selebgram papan atas. Sekadar beli Pajero, kecil buat mereka."

Melani mendengkus lelah. "Gue—"

"No galau!" Andina menyela. "Tetap jadi Melani yang profesional dan berkembang dari dunia digital. Lo tahu, selama lo dua minggu hilang, Lakmi habiskan uang lima ratus ribu buat baca novel online. Saking gak ada kerjaan, dia buang-buang uang dengan cara konyol kayak gitu." Andina menatap Melani dengan tegas. "Hampir semua hal di muka buni ini sudah bersanding dengan dunia maya. Pekerjaan yang melekat dengan digital, sudah punya gengsinya sendiri. Apapun dilakukan secara daring, tinggal lo mau berkembang dengan fasilitas digital atau angot-angotan kayak kucing kurang Wiskas."

Andina membuka pintu, lalu pergi. Meninggalkan Melani yang kini terpekur menatap bundelan kuisioner yang seharusnya ia bawa kepada Haidar agar segera melakukan perhitungan data.

*****


LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang