10

2.4K 633 48
                                    

            Melani tak tahu apa yang membuatnya memutuskan ini. Usai pengambilan gambar endorse kedai kopi milik sepupu Aldo, ia mengejar Haidar yang sudah tak ada di sana. Ia mengemudikan mobilnya menuju rumah pria itu, tak peduli jika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Hujan mengguyur dengan lebat, meski tak ada petir atau kilat. Malam terasa lebih pekat dari biasanya, tetapi Melani tak merasa ketakutan. Hanya saja, ingatan bagaimana wajah Haidar sesaat lalu, membuat Melani ciut dan cemas. Ia tak tahu mengapa bisa begini hanya karena ucapan Haidar yang tak lagi mau menganggapnya.

Mobil Melani sampai di rumah Haidar. Ia turun dari kendaraannya lalu mengetuk pagar rumah yang tampak sepi itu. Tubuhnya basah kuyup, tetapi Melani pantang mundur. Ia berteriak menyapa penghuni rumah, lalu ibu Haidar datang dengan wajah terkejut.

"Bimbingan bisa besok, kan, Nak? Kenapa sampai bela-bela datang selarut ini." Wajah wanita setengah baya itu tampak bingung bercampur khawatir. "Haidar dosen killer ya, yang sewenang-wenang kepada mahasiswanya?" Matanya memicing curiga. "Biar Ibu tegur dia."

"Bukan, Bu." Sebelum ada salah paham lebih mendalam, Melani mencegah ibu Haidar. Ia menghentikan langkah ibu Haidar yang membawanya masuk ke dalam rumah. "Saya basah kuyup, Bu. Rumah Ibu bisa kotor. Saya ingin bertemu Pak Haidar sebentar saja. Bukan karena Pak Haidar yang sewenang terhadap saya, tetapi memang ini murni salah saya."

Wajah Melani membuat ibu Haidar luluh. Wanita itu mempersilakan Melani duduk di kursi teras, lalu bergegas mengambil handuk.

"Keringkan pakai ini dulu, Nak. Ibu buatkan teh hangat sebentar." Wanita itu kembali masuk rumah seraya berteriak memanggil Haidar dan meminta pria itu menemui Melani.

Melani terdiam dengan mata kembali memanas saat Haidar datang. Rambut pria itu basah, terlihat habis mandi. Melani berdiri, mendekat kepada Haidar tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci dengan pikiran yang berkecamuk dan membuatnya kusut.

"Kamu sudah memutuskan untuk tak melanjutkan skripsimu. Jadi, buat apa menghampiri saya?"

"Bapak pacar saya." Melani menangis. "Pacar seharusnya memberi perhatian, bertanya mengapa kekasihnya tak ada kabar, dan mencari tahu barangkali ada yang membuatnya gundah." Air mata Melani menganak sungai. Tangisnya deras, nyaris menyamai hujan.

Haidar tertegun. Emosinya masih membumbung, tetapi bingung dengan yang Melani ucapkan. Mengapa jadi dirinya yang salah? Ia ingin mengelak, marah, menegur, dan meminta Melani untuk pulang saja karena tubuhnya lelah dan ia masih harus mengerjakan beberapa tugas dari Bu Dekan.

Hanya saja, melihat penampilan Melani yang berantakan dan putus asa, membuat Haidar memutuskan untuk diam dan menahan semua luapan emosinya.

"Saya tidak tahu, apa yang salah dengan menjadi diri saya sendiri hingga Ibu tak ingin berharap banyak kepada saya yang mencoba membuatnya bangga. Saya tidak sepintar Meliana atau mahasiswa lain yang bisa lulus tepat waktu, tetapi saya berusaha untuk berada di jalur yang semestinya." Melani mengusap wajahnya. "Ibu bilang, apa yang saya lakukan tak berguna dan saya akan terus jauh di belakang Meliana. Ibu tak ingin berharap banyak terhadap masa depan dan karier saya, karena baginya saya terlalu bodoh dan lamban. Jika sudah begitu, apa saya masih harus memperjuangkan hal yang pastinya sia-sia?"

Haidar menoleh ke belakang dan mendapati ibunya berdiri dengan wajah prihatin.

Perempuan setengah baya itu tengah menyuguhkan teh hangat untuk mereka. "Suruh Melani masuk saja, Haidar. Ganti pakaiannya agar tak sakit. Kasihan anak gadis orang." Wanita itu menarik pelan Melani untuk masuk. "Pakai daster gak apa, kan? Yang penting jangan basah kuyup begini."

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang