7

2K 554 40
                                    

 "Haidar, bangun, Nak. Ada tamu."

Haidar membuka mata, menghirup napas panjang demi mengumpulkan kesadaran, lalu menatap ibunya yang tersenyum di pinggir ranjang.

"Siapa, Bu? Tio?"

Ibunya menggeleng. "Bukan. Tamu. Tio bukan tamu, dia teman kamu."

Haidar mengernyit. "Yudi?"

"Bukan." Ibunya menggeleng lagi. "Yudi bukan kamu, dia tetangga kamu yang suka tanya ibu masak apa. Dia udah ke sini tadi, Ibu bilang lagi gak masak dan kamu masih tidur. Capek habis futsal sampai tengah malam."

Haidar beranjak dari tidur, duduk di tepi ranjang, lalu mengucek matanya. "Sepagi ini siapa yang bertamu?"

"Pagi gimana to? Ini sudah pukul sembilan, Le. Sudah siang. Buruan itu temui tamunya." Ibu Haidar melangkah meninggalkan kamar.

Haidar mengumpulkan tenaga, merenggangkan badan, lalu menuju kamar mandi untuk cuci muka. Jika bukan Tio atau Yudi, lalu siapa lagi? Seingatnya, ia tak memiliki janji dengan siapapun, karena sudah bertemu semalam saat futsal sampai tengah malam. Haidar berencana menghabiskan minggu di rumah saja dan membaca beberapa buku untuk persiapan rencananya yang sudah matang dan tersusun rapi.

Langkah Haidar yang sudah sampai ruang tamu terhenti. Ia tercengang mendapati Melani duduk manis bersama ibunya di ruang tamu.

"Kamu ... ada apa ke sini?"

Melani tersenyum manis dengan wajah kikuk. "Saya ... mau pinjam buku yang Bapak janjikan. Katanya, saya harus ke sini sepagi mungkin, agar bisa lekas mengerjakan dan selesai hari ini. Selasa besok saya sudah harus bimbingan lagi dengan Bapak, kan?"

Haidar menepuk kening sambil mendengkus lirih. "Maaf, saya lupa. Maaf, Mel." Ia seketika sadar bahwa penampilannya kurang proporsional untuk menerima tamu sekelas mahasiswa atau pacar. Haidar menatap tubuhnya yang hanya berbalut boxer rumahan dan kaus lusuh kesayangan seragam study tour saat SMA.

"Ini siapa, Dar?"

"Melani." Haidar bergerak tak nyaman. "Mel, maaf, saya ganti baju dulu. Kamu tunggu sebentar, ya." Pria itu langsung berbalik saat Melani mengangguk dan tersenyum mempersilakan.

Haidar mandi dengan cepat, berganti pakaian dengan jins selutut dan kaus kerah. Ini akhir minggu dan menurutnya tidak apa jika tak berpakaian formal. Asal bukan bokser dan kaus bercetak acara study tour, menurutnya sudah cukup sopan untuk menerima tamu.

Haidar kembali menuju ruang tamu dengan tiga buku yang sudah ia ambil dari rak kamarnya. Pria itu tersenyum sungkan, lalu meletakkan buku-buku itu di sebelah cangkir teh milik Melani.

"Maaf, menunggu lama."

"Gak apa." Ibu Haidar menjawab, mendului Melani. "Yang begini ini yang harusnya kamu jadikan pacar, Dar. Mahasiwa rajin belajar. Minggu-minggu ke rumah dosennya buat pinjam buku. Saking apanya itu? Saking pintere kebangetan." Ibu Haidar tersenyum semringah kepada Melani. "Udah cantik, rajin, sopan, dan gak neko-neko. Mahasiswa lain mungkin sedang jajan mie ayam di Monas. Lha ini pagi-pagi sudah siap belajar. Calon orang sukses ini."

Melani meringis malu-malu. Ia mengangguk, membuat gestur berterima kasih atas pujian berlebih yang ibu Haidar lontarkan.

"Melani belum sarapan, katanya. Ibu ambilkan makanan dulu, biar sarapan di sini sambil belajar." Ibu Haidar beranjak dari kursi tamu.

"Kata Ibu, Ibu gak masak tadi, makanya Yudi gak jadi ke sini."

"Hish, kalau untuk Yudi, Ibu gak masak." Ibu Haidar mengibaskan tangan. "Kalau buat Melani, sekadar nasi goreng dan telur, Ibu bisa buat dalam sepuluh menit." Tanpa mendengarkan jawaban anaknya, wanita setengah baya itu melangkah menuju dapur.

Hening melingkupi selama beberapa saaat, sebelum Haidar akhirnya berdeham. "Saya minta maaf. Ibu saya memang begitu. Maklum, ibu-ibu."

Melani mengangguk malu-malu. Ia gugup, canggung, tetapi senang berada di sini. Ia menyukai ibu Haidar yang ramah dan banyak bicara. Semula, Melani merasa mungkin akan kikuk dan menegangkan, datang ke rumah pria. Namun, sambutan ibu Haidar dan bagaimana wanita setengah baya itu menyuguhkan teh dan bincang ringan selama menunggu Haidar, membuat Melani merasa memiliki ibu, seperti banyak orang lainnya. Ibu yang melihatnya dengan binar sayang, tanpa membandingkan dengan siapapun dan merendahkan.

"Saya yang gak enak merepotkan Bapak. Seharusnya ibunya Bapak tidak usah repot."

Haidar mengangkat bahu santai. "Ibu saya begitu. Saya tidak mau menolak apapun yang beliau pinta. Jadi, jika nanti sarapan yang beliau buat sudah tersaji, berkenan menikmati?" Ia tersenyum malu-malu. Haidar tak tahu, jika pacar datang, bagaimana sikap yang seharusnya ia tampakkan. Jika ibunya sudah mulai turun tangan dengan ikut ambil bagian, Haidar bisa apa?

"Iya, berkenan, Pak." Melani tertawa lirih dengan wajah malu. "Saya kayak beneran lagi pacaran."

Haidar menatap Melani dengan pandangan antusias. "Memangnya, kamu kalau sedang pacaran, dibuatkan sarapan juga sama orangtua?"

Melani tertawa geli. "Bukan begini juga, sih, Pak. Maksud saya, makan bersama. Selama ini, kan, kita hanya membahas seputar skripsi saja. Kita belum pernah makan bersama."

Haidar mengangguk sambil menggaruk tengkuk. "Oh. Lalu selain makan bersama, biasanya apa lagi?" Haidar ingin tahu, agar dia bisa melakukan itu bersama Melani sebelum hubungan mereka berakhir. Empat bulan lagi. Haidar menghitung, kebersamaan mereka hanya sekitar empat bulan lebih sedikit lagi.

Melani tampak berpikir. "Gak ada yang spesial, sih. Paling jalan berdua, ngobrol, makan bareng, dan ... saling menemani saja." Ia mengangkat bahu ragu. "Setidaknya, itu sih aktivitas saya saat memiliki kekasih."

"Tidak ada belajar bersama, ya?"

"Tidak, Pak." Melani menggeleng pelan. Hatinya seketika mencelus, menyadari bahwa yang selama ini ia lakukan saat berpacaran, tidak ada yang mengarah pada selera Haidar.

Hening meraja, karena mereka tak lagi tahu bagaimana membuat obrolan ini jadi lebih menarik. Haidar merasa, ia terlalu monoton untuk menjadi kekasih Melani. Ia tak tahu mana tempat yang bagus untuk mengajak gadis itu kencan, juga obrolan menarik yang dapat membuat Melani tertarik kepadanya.

Begitu pun dengan Melani yang seperti tertampar pada satu kenyataan. Haidar menyukai gadis pintar dan untuk menjadi pintar tentunya harus selalu belajar. Ibu pria itu pun berkata hal yang sama, meminta Haidar mencari pacar yang gigih belajar.

Nasi goreng datang dan ibu Haidar mempersilakan mereka untuk menikmati. Haidar mempersilakan Melani dan mereka makan berdua dalam hening. Haidar berpikir, jika pacaran itu, apakah makannya seperti ini atau ... ada ritual lain yang hanya dilakukan sepasang kekasih? Saling suap, mungkin? Ah, tidak, Haidar menggeleng, merasa apa yang ia pikirnya terlalu konyol dan norak.

Ia menepis semua hal memalukan yang terlintas, lalu fokus dengan sarapan yang ibunya buat. Setelah ini, ia akan memberikan sedikit bimbingan kepada Melani, sebelum gadis itu pulang dna melanjutkan bab dua yang harus selesai minggu depan.

"Pak, maaf." Melani memanggil.

Haidar menoleh pada gadis itu dengan wajah penuh tanya. Tubuhnya seketika terperanjat, saat jari lembut Melani mengusap ujung bibirnya. Rasanya lembut dan membuat dadanya berdebar kencang.

"Ada bumbu di ujung bibir Bapak." Melani tersenyum. "Saya minta maaf kalau terkesan lancang, tetapi saya melakukan ini saat makan bersama pacar saya."

Apa lagi, apa lagi? Haidar berteriak dalam hati. Jika Melani biasa mengusap ujung bibir pria saat makan bersama, Melani lalu melakukan apa lagi setelahnya? Tiba-tiba, Haidar yang baru saja mandi pagi, merasa gerah dan ingin mandi lagi.

***** 

Masih satu minggu lagi, Genks! Hayuk diorder kisah dosen jomlo abadi iniii wkwkwkwk

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang