23

7.3K 910 89
                                    


“Kenapa lo?” Melani menatap tajam kepada Dicky dan Jo.

“Lo itu selebgram apa preman, sih? Galak banget.” Dicky mengutak-atik kameranya. “Jadi cewek woles dikit, sih, Mel.”

“Lo sama Jo dari tadi lirik-lirik gue terus. Gue curiga. Lo ada main belakang sama Jo diem-diem?”

“Mel, gue emang gak sempurna seperti cowok lain, tapi masih banyak cewek yang mau sama gue.” Jo bicara santai, fokus pada layar kerjanya. Pria berambut keriting dan berkaca mata itu tak menatap Melani sedikit pun. Gesturnya tenang, seakan tak terpengaruh oleh ucapan teman kerjanya. “Dicky bukan selera gue. Dia gak punya dada montok. Gak bisa diremas.”

“Anjir, lo, Jo!” Dicky sewot, nyaris membanting kamera yang ia pegang. Pria itu kini menatap Melani dengan sorot penuh arti. “Lo gak buka email? Ada yang nawarin kerja sama tapi aneh.”

“Kerjasama apa?” Melani mengernyit.

“Tanya Jo.” Dicky membuang pandangan, berpura sibuk dengan kamera.

“Kerja sama apa, Jo?” Melani menatap Jo yang tak menoleh sedikit pun kepadanya.

“Tanya Andina.”

“Lo pada kenapa, sih?” Melani kesal. Ia membuka ponselnya yang terhubung dengan email agensi, lalu mencari surel yang rekan kerjanya maksud. “Email banyak, yang dari siapa?” Melani paling malas bertele-tele. Setiap hari selalu ada surel masuk dan ia tak tahu mana yang dimaksud.

“Dua hari lalu. Cek email dua hari lalu,” ucap Jo. “Baca sendiri, putusin sendiri. Andina gak mau handle katanya.”

“Kok Andina gitu?” Melani cemberut. “Dia itu manager agensi ini. Tugas utama dia justru tanganin semua kerjasama yang masuk. Bukan pilih-pilih. Nolak juga gak apa, karena memang tugas dia.” Melani sedikit kesal mendengar penuturan Jo. Membesarkan agensi digital merketing ini tak semudah menjentikkan jari atau memoles lipstik. Mereka bahu membahu kerja keras membuat citra baik dan menyeleksi mitra bisnis.

“Kata Andina, email kerjasamanya gak penting.” Dicky menambahkan dengan lirih.

Melani hendak terus mengoceh tentang kekecewaannya pada Andina, tetapi terhenti saat jarinya menekan satu surel. “Haidar Kesuma?” Bibirnya tiba-tiba gemetar saat mengucap nama itu.

Dear Melanie Management,
Saya Haidar Kesuma, dosen pembimbing Melani sekaligus kekasihnya. Ini bukan surel penawaran kerja sama atau permohonan informasi jasa iklan. Melalui ini, saya ingin meminta ketersediaan management untuk memberikan waktu kepada saya bicara dengan Melani. Jika saya harus membayar, mohon diberikan informasi tarif bertemu dengan Melani.

Saya melampirkan informasi kontak dan alamat kerja saya, apabila management memberikan kesempatan untuk saya bertemu Melani. Saya hanya butuh satu sampai dua jam bicara berdua, dengan atau tanpa pengawalan dari pihak Melani. Waktu dan tempat, bisa saya sesuaikan dengan jadwal Melani. Namun, saya berharap management Melani bisa mengatur waktu pada jam sepulang kerja.

Demikian surat permintaan saya. Mohon dapat ditinjau dan dipertimbangkan untuk menerima permintaan ini. Hanya satu sampai dua jam bersama Melani. Terima kasih.

Tertanda,
Haidar Kesuma.

“Jo.” Dicky bersuara. “Lo kalo cari cewek, selain teteknya gede, pengen yang gimana lagi?”

Hening menjeda selama beberapa saat, sebelum Jo menjawab, “Yang gak gampang ngambek.”

“Susah, Jo. Andina kemaren ngambek cuma gara-gara gue makan jengkol, terus toilet lantai tiga bau pesing. Laksmi juga ngoceh sepanjang manggil cleaning service. Gak ada cewek yang gak ngambek sama cengeng. Susah.”

“Kalo itu emang elunya yang bajingan, Njir. Makan jengkol jangan di sini!” Jo menimpali dengan santai. “Maksud gue, jangan yang banyak drama. Gue tahu mulut cewek lebih dari satu, tapi minimal, kalau ngambek, telinganya yang dua biji itu, dikasih ke gue sebentar buat baekan.”

“Emangnya lo lagi ribut sama cewek lo, Jo?”

“Lo kan tanya, Dick, ya gue jawab, kalo. Cewek gue sih paham gue males ngomong, lebih suka aksi. Males lah drama kanan kiri. Gue cinta, dia terima gue, ya udah.”

“Tapi kalau cewek lo ngambek, terus gak mau ngomong sama lo, gimana?”

“Ya udah, gak usah ngomong. Gue males ribet. Kaki gue cuma satu, gak bisa lari kejar cewek. Kalau mau sama gue, ya pake telinga dan mata dia buat dengerin gue, kalau enggak ya udah. Gue malas drama.”

“Tapi cewek suka drama, Jo.”

“Diem lo, Dick!” Melani menghardik. Entah mengapa ia merasa tersinggung dan tersenggol dengan obrolan temannya.

“Kok lo sewot, Mel? Kan gue lagi ngobrol sama Jo. Kenapa lo yang ribet?” Dicky mengernyit dengan wajah mengejek. “Gue sama Jo kan emang sering ngobrol. Lo udah biasa dengerin obrolan kami. Kenapa sekarang lo jadi galak gini?”

“Nyinyir aja lo kayak nenek-nenek!” Melani menggebrak meja dengan pelan, beranjak dari kursinya, lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

Mood Melani sedang buruk. Ia memutuskan mencari makan siang di luar saja sendirian, alih-alih menikmati nasi kuning dari katering yang akan kerja sama endorse dengan dirinya. Ia mengemudikan mobilnya tak tentu arah, lalu berhenti di swalayan. Minuman dingin mungkin bisa mendinginkan pikirannya yang sedang penat. Haidar benar-benar di luar nalar dan sikap pria itu sungguh memancing emosinya.

Melani memasuki swalayan itu, mengambil troli dan memasukkan banyak botol minuman dingin. Ia sedang kacau dan hatinya ingin membeli aneka macam minuman kemasan.

“Melani?”

Melani yang sedang membuka botol lemon water dingin, menoleh pada asal suara. “Ibu?” Ia mengerjap dengan pikiran yang bingung harus bagaimana. “Ibu sedang apa di sini?”

“Belanja.”

“Iya, tahu, maksud saya. Ini kan bukan daerah rumah Pak Haidar.”

Ibu Haidar tertawa lirih. “Saya menemani teman pensiunan belanja. Kami ingin membuat kue. Pensiunan seperti Ibu, kegiatannya ya kumpul-kumpul saja. Maklum, belum ada cucu.”

Melani tersenyum segaris dan mengangguk. Tiga tahun lalu, wanita ini adalah sosok yang nyaman dan ia anggap rumah. Namun, sekarang, bagi Melani, wanita ini tak lebih dari orang lain.

“Kalau gitu, saya permisi duluan, Bu.” Melani tersenyum basa-basi, lalu melangkah pergi.

“Haidar belum berhasil bicara sama kamu, ya?”

Pertanyaan itu membuat Melani terhenti. Ia tak berbalik, tetapi juga tak melanjutkan langkahnya.

“Anak Ibu belum pernah pacaran. Belum pernah punya hubungan dekat dengan perempuan, selain kamu. Dia cinta sama kamu, tetapi tak tahu harus bagaimana terhadap kondisinya tiga tahun lalu. Jika Ibu mempersilakan dia untuk melanjutkan hubungan kalian, Ibu takut konsentrasinya belajar terganggu. Kamu orang terkenal, cantik, dan banyak pria tampan di lingkungan kerja. Ibu takut Haidar tak nyaman dengan hubungan jarak jauh dan berdampak pada studinya.”

Cengkraman melani pada gagang troli mengeras. Ia ingin berbalik dan marah, tetapi tahu itu dilarang. Ia ingin melangkah dan pergi saja, tetapi kakinya seperti dipaku.

“Kalau memang sudah tak ada kesempatan untuk Haidar, Ibu gak apa, meski sedih harus tahu anak Ibu patah hati. Namun, Ibu maklum karena ini konsekuensi dari sikap Haidar kepadamu tiga tahun lalu. Kalau ... kamu memang tidak mau bicara, apa boleh Ibu saja yang menyampaikan jika pintu hatimu memang sudah tertutup untuknya?”

Kali ini, air mata Melani menetes. Ia berbalik dan menatap ibu Haidar. “Biar ini jadi urusan saya saja, Bu. Terima kasih.” Ia mengusap wajahnya, mengambil trolinya, lalu berjalan menuju kasir.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang