20

2.7K 729 52
                                    

Bukunya udah selesai cetak ya, Genks

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukunya udah selesai cetak ya, Genks. Infonya per kemarin sore, sudah mulai didistribusikan ke pemesan. Siap-siap disamperin kang paket, yess. Muaacch!


***** Bab 20****

“You look gorgeous as usual.” Axel mengecup kepala Melani. Pria itu duduk di hadapan Melani, di meja makan restoran mewah milik Axel. “Maaf terlambat datang. Meeting berjalan lebih lama dari yang kukira.” Ia tersenyum manis kepada Melani. Senyum yang selalu berhasil membuat para wanita bertekuk lutut, lalu menyebut nama Axel dalam doa mereka, kecuali Melani.

Melani hanya mengangkat bahu, lalu meneguk wine yang tersaji di rooftop lounge hotel berbintang ini. “Aku sudah katakan, tidak suka kamu perlakukan seperti tadi.”

“Like what? Membuatmu menungguku?”

“Bukan.” Melani menggeleng, lalu menatap Axel dengan tegas. “Aku tidak suka dicium.”

“That was not kiss, Melani. Jangan anggap berlebihan.”

“Kamu yang terlalu berlebihan pada hubungan kita yang tak lebih dari teman.”

“Itu karena kamu tak pernah menjawab ungkapan cintaku.” Axel bicara serius. “Dua tahun aku mencoba dekat dan mengenalmu, mencoba untuk ada dalam hidupmu, tetapi kamu seperti resisten dan memaku hubungan kita pada posisi ini. Tak pernah berubah dan maju.”

Melani tak menggubris Axel. Wanita itu menggoyang gelas bening berisi wine, memikirkan sesuatu, lalu meneguknya lagi. “Aku lapar. Bisa kita pesan makanan sekarang?”

Selalu begini. Axel mengalah kepada Melani, diam dan tak melanjutkan protesnya, lalu melakukan apapun yang Melani pinta. Pria itu memanggil pelayan, memesan makanan, lalu menatap perempuan yang menarik hatinya sejak kerjasama endorse resort beberapa tahun lalu.

Axel tahu, Melani bukan tipikal perempuan yang mudah termakan bujuk rayu. Perempuan ini profesional dan berkarakter. Itu yang membuat Axel tertarik dan ingin menjadi bagian dari hidup Melani.

Hanya saja, seperti sebelum-sebelumnya, tanggapan dan respons Melani tak pernah sehangat perlakukannya kepada gadis itu dan seramah karyawannya kepada Axel. Melani selalu bungkam dengan mata yang kosong.

Dicky pernah berkata bahwa Melani bukan tipikal perempuan yang mudah dikuasai. Ia berkarakter dan memiliki pendirian kuat. Axel harus sabar untuk mengambil hati selebgram itu dan Axel menuruti.

Mereka akhirnya makan dengan obrolan ringan seputar kesibukan masing-masing. Axel menawarkan rumahnya yang kosong untuk Melani gunakan sebagai studio pengambilan gambar endorse.

“Rumahku lengkap, Mel. Ada gym, taman, kolam renang, bath tub, dan rooftop. Kamu bahkan bisa parkir helikopter di halaman belakang, karena lapanganku sangat luas. Semua bisa kamu gunakan untuk studio.”

Melani menggeleng santai, sambil mengunyak steik tenderloin welldone. “Rukoku juga sudah Laksmi dekor sedemikian rupa untuk kebutuhan pengambilan gambar kami. Dicky memiliki skill fotografer yang baik dan tak pernah mengecewakan klien kami. Aku berterimakasih untuk tawaranmu, tetapi maaf karena tak bisa menerimanya.”

Axel tersenyum kecut, tetapi hanya bisa mengangguk dan melanjutkan makan malam mereka.


*****


Jakarta di malam hari tak seramai jam pulang kerja. Bis dan kendaraan tak begitu memadati ruas jalan tol maupun arteri. Melani mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk. Sebelum berangkat ke luar kota, Papi mengingatkannya untuk lekas mencari pendamping, tetapi jangan Axel.

Meliana sudah menikah dan dua kali hamil. Sedang ia, tak sekali pun memperkenalkan pria kepada orangtuanya. Papi mengetahui kedekatannya dengan Axel melalui portal-portal berita yang satu dua kali menggosipkannya dengan Axel. Dari situ, Melani dipanggil Papi dan mendapat penolakan atas kedekatannya. Namun, hingga sekarang, Melani tak mengindahkan permintaan Papi, karena masih berusaha untuk menghapus satu nama yang membuat hidupnya tak lagi berwarna. Melani berharap, Axel dapat membuatnya lupa pada masa lalu, meski Melani tahu tak akan menjadikan Axel masa depan.

Melani berbelok ke kedai kopi drive thru dan memesan americano tanpa gula. Pilihan gila, mengingat ia tak suka pahit. Namun, kepalanya pening dan ia butuh terus sadar agar sampai rumah dengan selamat. Melani menebak, mungkin ia terlalu banyak mengkonsumsi wine saat makan malam bersama Axel tadi. Namun, bisa jadi karena dua hari lalu, ia memergoki Benu menghubungi seseorang yang sudah kembali dari Amerika dua minggu lalu. Saat mendengar Benu menyebut namanya, ada rasa asing yang menggulung dan memporak porandakan malam-malam Melani.

Melani benci ini, tetapi ia harus mengakui bahwa motivasinya menjadi hebat adalah untuk menunjukkan kepada pria itu, bahwa ia bukanlah perempuan yang bisa dianggap remeh. Meski tak seperti Meliana dan Benu yang memiliki mahasiswa, Melani juga memiliki hal yang patut dibanggakan. Pengikut media sosial. Ya, meski “hanya” pengikut media sosial, Meliana dan Benu tak bisa mengungguli dirinya.

Agensi yang Melani rintis pun maju dengan pesat. Ia bisa membuktikan kepada ibunya, jika pilihan karir yang kini dijalani bukan langkah yang salah. Sejak tahu berapa pendapatan Melani, sang ibu tak lagi membandingkan dirinya dan Meliana. Semua berangsur lebih baik, membuat Melani nyaman, tetapi hanya satu yang masih mengganjal.

Mobilnya masuk ke dalam parkiran rumah. Setelah mematikan mesin, Melani tak langsung turun mobil. Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang beberapa kali, berusaha mendamaikan pikiran dan batinnya. Setelah merasa lebih baik, Melani turun dan berjalan lunglai. Tubuhnya lelah, ia butuh istirahat.

“Selamat malam, Melani.”

Suara itu membuat langkah Melani terhenti dan tubuhnya mematung dan meremang. Matanya menyorotkan keterkejutan yang kentara. Pria itu berdiri di depannya, beranjak dari kursi teras dengan Benu yang tersenyum berjuta arti di belakang pria itu.

Bibir Melani gemetar dengan mata yang memanas. Dadanya sesak dengan gulungan jutaan emosi yang selama ini ia pendam. Pria itu tak seharusnya di sini, tak sepatutnya menyapanya selarut ini.

Melani tak acuh, melanjutkan langkah, melewati pria itu dan masuk ke dalam rumahnya.

“Melani.” Pria itu memanggilnya lagi.

Mata Melani mulai berair dan membasahi pipi. Ia terus melangkah menuju kamar, membuka pintu dan membantingnya. Semoga dua pria di teras sana tahu, jika itu kode bahwa Melani tak baik-baik saja dengan kehadiran teman Benu yang berhasil mengoyak hatinya.

“Melani.” Ketukan terdengar bersamaan dengan panggilan Meliana. “Aku mau masuk.”

“Gue capek. Kalau ada perlu, besok saja.”

“Haidar nungguin kamu sejak dua jam lalu. Mas Benu dan Ibu sudah menemani dia. Dia ingin bertemu kamu sebentar saja sebelum pamit pulang.”

“Gue gak ada janji ketemu siapa pun malam ini dan gak berniat menerima tamu, siapa pun itu.” Air mata Melani semakin deras, semakin membuat wajahnya berantakan. Suaranya lantang, hingga menyamarkan isak yang nyaris pecah.

Tubuh perempuan itu luruh dan duduk menyandar pada pintu. Ia bingung harus bagaimana. Ia marah dan kecewa, tetapi tak bisa berdusta jika rindu itu meledak, membuatnya nyaris ingin menampar dan memeluk Haidar.

“Mas Haidar mau pulang.” Suara Meliana terdengar lagi. Istri Benu itu mengetuk pintu kamar Melani lagi. “Dia cuma mau pamit sama kamu.”

“Dia tamu suami kamu, Meli. Dia temennya Mas Benu, bukan aku. Aku sama dia gak saling kenal. Suruh dia pulang saja kalau memang mau pulang, gak usah cari-cari aku.” Melani berteriak, tak peduli jika suaranya mungkin saja terdengar oleh Haidar. Kamarnya berada di depan, dengan jendela yang menempel pada teras.

Tak ada suara lagi, lalu samar terdengar deru motor yang meninggalkan rumah. Tangis Melani pecah dan ia tak tahu menangisi apa.

******

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang