9

2.2K 577 28
                                    

            Haidar menahan kesal. Ia membuka-tutup aplikasi perpesanan dan terus menimbang apakah harus menghubungi Melani atau tidak. Sebagai dosen, ia tak harus menghubungi mahasiswanya yang mangkir dan tak ada kabar selama dua minggu. Namun, ia ingin bersikap sebagai kekasih Melani. Bukankah kekasih selalu menanyakan kabar pasangannya?

Kemana Melani? Haidar mengetukkan jemari, lalu membuka laman Instagram mahasiswa slash pacarnya. Ia melihat beberapa unggahan terbaru yang menampikan Melani piknik berdua bersama Aldo di sebuah resort bintang lima.

Haidar tahu, Aldo adalah vokalis band ternama yang dulu pernah menjalin hubungan dengan Melani. Gadis itu sendiri yang bercerita kepada Haidar di pertemuan terakhir mereka, sebelum Melani pamit melakukan survey pengambilan data lalu hilang tanpa kabar. Melani sudah empat kali pacaran. Satu dengan teman SMA, dua dengan selebritis yang salah satunya Aldo, lalu terakhir dengan youtuber gaming yang berakhir putus karena pria itu terlalu fokus pada konten dan abai dengan hubungan mereka.

Haidar menghela napas panjang. Dari deretan mantan kekasih Melani, tak ada yang berprofesi sebagai dosen atau pengajar. Haidar merasa terlalu jauh di belakang dan tak mungkin bisa mengejar untuk bersanding dengan Melani. Buktinya, gadis itu kini tak lagi memegang teguh komitmennya dan hubungan mereka.

"Pak Haidar, dipanggil Bu Dekan. Mohon temui beliau di ruangannya segera." Salah seorang staf TU membuka ruang kerja Haidar.

Pria itu mengangguk. "Mbak Tiwi. Saya mau tanya sesuatu boleh? Tapi ini di luar konteks kampus."

Tiwi mengernyit. "Apa itu, Pak?"

"Menurut Mbak Tiwi, kalau saya mau cari pendamping, bagusnya yang seperti apa ya?" Haidar meringis malu, lalu tertawa garing.

Tiwi mengerjap bingung sebelum akhirnya ikut tertawa. "Kalau Pak Haidar, cocoknya sama yang tipikal kutu buku, gak neko-neko, dan sederhana."

"Masa gitu?" Haidar berpikir dengan wajah setengah tak terima. "Kalau sama yang seperti—" Melani, gadis seperti Melani yang terkenal, cantik, menarik, banyak penggemar, bagaimana? Haidar ingin bicara seperti itu, tetapi ia tahan. Kampus jangan sampai tahu tentang hubungan mereka. Haidar bisa malu jika rumor sudah beredar, lalu setelah Melani lulus, mereka putus.

"Seperti apa? Yang jelas, Pak Haidar cocoknya sama yang tenang, pintar, kalem, sederhana, ya ... seperti Bapak inilah. Kalau seperti mahasiswa kita yang hobinya foto sana-sini dan haha hihi, duh, Bapak bisa stres nanti."

Haidar tertegun dengan pikiran yang berkecamuk. Hingga Tiwi pergi lebih dulu, pria itu masih saja mematung. Apa benar yang Tiwi katakan, bahwa ia bisa stres jika berhubungan dengan gadis seperti Melani yang suka foto sana sini? Apakah memang tipikal gadis pendiam yang cocok dengannya? Haidar sedikit tak terima, tetapi tertampar juga karena nyatanya kini ia stres memikirkan Melani yang mungkin saja masih liburan di resort mewah bersama mantan pacarnya.

*****

Pertemuan dengan Bu Dekan cukup lama. Ia menghabiskan jam kerjanya di ruang petinggi fakultas tempatnya mengajar. Banyak hal yang harus ia selesaikan. Salah satunya, Bu Dekan meminta agar semua mahasiswa bimbingan skripsi Haidar, bisa sidang di semester ini. Mahasiswa bimbingan Haidar tinggal tiga orang. Dua diantaranya sudah masuk bab lima, dan siap mengajukan sidang akhir. Hanya Melani yang masih berkutat di bab tiga dan tak ada kabar. Jika sampai semester ini Melani tak selesai, Haidar terpaksa mengalihkan ke dosen lain atau gadis itu terpaksa drop out.

Haidar merasa sesak. Satu sisi, ia ingin menyelesaikan tugasnya dengan baik, membimbing mahasiswa menuju kelulusan yang gemilang. Ia juga ingin berlaku seperti pria yang membuat kekasihnya lulus dengan nilai bagus. Sayangnya, Melani tak kooperatif dan konsisten dengan komitmennya sendiri. Ia sudah menyiapkan formula khusus untuk Melani menghitung data kuantitatif yang seharusnya sudah gadis itu selesaikan. Haidar mati-matian membuat excel dengan rumus sesederhana mungkin agar Melani tak kesulitan membuat perhitungan data. Sayang, jangankan ucapan terimakasih, usahanya saja tak dihargai dan dianggap oleh kekasih.

Hujan mengguyur Jakarta sore ini. Haidar tidak membawa mobil dan harus berteduh agar komputer jinjingan tak basah. Ia menepikan sepeda motornya di sebuah kedai kopi dan berencana menunggu di sana sampai hujan reda. Ia bisa membaca buku dan merangkum materi untuk bahan ajar, sambil menyesap kopi dan memikirkan langkah apa yang bisa ia berikan untuk Melani.

Usai melepas jas hujan dan mengganti sepatunya yang basah dengan sandal, Haidar melangkah masuk ke dalam kedai kopi yang cukup ramai. Langkah pria itu terhenti dengan wajah tertegun saat mendapati Melani tengah bercengkrama hangat bersama Aldo di salah satu sudut meja kedai itu. Beberapa orang mengelilingi mereka dan ada dua kamera yang mengarah pada dua orang terkenal itu.

Haidar berjalan mendekat, memperhatikan, lalu mengamati gerak Melani yang sangat lincah di depan kamera. Suara gadis itu merdu dan terdengar penuh percaya diri. Haidar menyadari satu hal, bahwa apa yang Tiwi katakan mungkin saja benar. Ia tak sepadan dengan gadis yang mengajaknya berkencan. Mereka hidup di dua dunia yang jauh berbeda.

Melihat penampilan orang-orang yang mengelilingi Melani, membuat Haidar tahu, ia tidak akan bisa diterima di sana. Ia hanya seorang pengajar, dosen muda dengan penampilan sederhana. Kulitnya tak seputih pria di sebelah Melani dan setampan pria lain yang kini sibuk membidik gambar.

Tubuh Haidar seketika menegang saat tatapannya berbalas. Melani menemukannya dan mereka saling bersitatap selama beberapa saat. Degup jantung Haidar seketika tak keruan dengan rasa rindu yang membuncah tanpa bisa dicegah. Ini tidak benar. Haidar harus pergi dair tempat ini. ia bisa berteduh di lokasi lain, halte Transjakarta mungkin?

"Pak Haidar!"

Suara itu membuat Haidar yang sudah berbalik dan hendak pergi, mengurungkan diri. Ia berbalik, lalu menatap Melani dengan wajah datar, padahal hatinya berguncang hebat dengam gugup dan amarah. Ia tidak suka Melani mangkir, apalagi berduaan dengan mantan kekasih yang pamornya makin melejit.

Melani melangkah cepat hingga mereka berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Ada kecemasan di wajah Melani, tetapi tak membuat Haidar berubah sikap dari gesturnya yang dingin.

"Saya ... punya alasan untuk tidak mau melanjutkan skripsi saya lagi."

Hujan sore ini intensitasnya sedang, tetapi rasanya seperti badai bagi Haidar. Apa yang Melani katakan barusan? Haidar mengatur napasnya agar tetap tenang dan tak terpancing emosi, apalagi Aldo yang wanginya serupa pabrik parfum kini berdiri di samping Melani.

"Kalau memang tak niat menyelesaikan tugas akhir, buat apa kamu sampai melakukan hal konyol yang melibatkan perasaan? Silakan urus pengunduran diri kamu sebagai mahasiswa. Saya tak butuh manusia yang tak bisa konsisten dengan komitmen dan keinginannya sendiri." Haidar berkata tegas dengan wajah tegang. Sependek pengalamannya menghadapi mahasiswa, baru ini sampai membuat hatinya terbakar.

Ia bahkan tak peduli saat Melani menangis tanpa isak. Seharusnya ia luluh, lalu mengusapkan tangannya di wajah Melani. Namun, ia menahan karena tak ingin harga dirinya terluka oleh lingkungan Melani yang tampak terlalu gemerlap baginya.

"Saya punya alasan, Pak."

"Apapun itu, saya tak peduli. Saya tunggu surat pengunduran diri kamu minggu depan, agar saya bisa membuat laporan bahwa kamu bukan lagi mahasiswa bimbingan saya." Haidar berbalik, meninggalkan Melani yang terisak dengan bisik dari beberapa orang yang tak ia kenal.

***** 


CP Hapsari, 087853513454

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CP Hapsari, 087853513454. Masih 5 hari lagi sebelum tutup PO, Genkss ... Terima kasih untuk yang sudah ikutan PO. Naskah sudah selesai di layout, dan akan langsung masuk antrian cetak saat PO ditutup nanti. 

Yang belum pesan, hayuk, cuss, hubungi OS yang bekerja sama dengan Penerbit Lovrinz, atau Shopee: lovrinz_store. 

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang