11

2.4K 621 57
                                    


            "Kamu yakin masih kuat?" Haidar menatap Melani serius. "Ini sudah pukul dua dini hari. Kamu bisa melanjutkan besok."

Melani menggeleng sambil terus menekuri kertas-kertas kuisioner dan laptop milik Haidar. Melani meminjam laptop pria itu, karena enggan memindah fail excel buatan Haidar. Ia takut jika fail itu pindak ke laptopnya, formatnya bisa berubah, lalu rumusnya juga berubah dan hasilnya salah.

Untungnya, Haidar mengizinkan dan pria itu menggunakan laptopnya yang lain untuk mengerjakan tugasnya dari Bu Dekan.

"Saya tidak tega lihat kamu." Haidar kembali bersuara. "Kamu habis kehujanan. Bisa sakit kalau begadang dan kurang istirahat. Besok Sabtu, kamu boleh lanjut mengerjakan di sini. Ibu saya tidak pergi dan bisa menemani kamu."

Melani berhenti fokus. Gadis itu lantas menatap Haidar penuh tanya. "Memangnya Bapak besok mau pergi?"

"Tidak juga," jawab Haidar seraya menggeleng. "Saya besok memang akan keluar rumah, tapi malam, futsal saja."

"Oh." Melani mengangguk, lalu kembali fokus memasukkan data. "Kalau Bapak mau istirahat sekarang, silakan. Saya mau lanjut sampai selesai, jam berapapun itu." Melani tak mempedulikan Haidar yang masih saja menatapnya. Gadis itu sebenarnya gugup dengan jantung yang berdegup kencang.

Ini pertamakalinya bagi Melani bermalam di rumah pria. Parahnya lagi, ia hanya mengenakan daster ibu-ibu yang warnanya mencolok. Ia selalu mengenakan warna-warna pastel atau warna gelap. Baru kali ini ia mengenakan daster warna ungu magenta terang dengan gambar dua bunga besar di area dada. Kalau bukan karena ibu Haidar, sudah pasti ia banting habis baju itu. Rasa tak percaya diri akan penampilan yang jauh dari biasanya, membuat Melani berusaha tak berinteraksi sesering mungkin. Ia takut Haidar tertawa dalam hati melihat penampilannya yang terkesan norak ini.

Haidar tak beranjak dari duduknya, melihat bagaimana Melani tampak fokus dan serius. Pria itu berpikir, bahwa Melani sangat serius dan menghargai setiap waktu di sela kesibukan gadis itu. Melihat Melani yang tampak giat dan semangat, rasa kagum Haidar semakin besar. Jelas saja Melani bisa sukses di usia muda. Gadis itu pekerja keras dan tak pernah mengeluh lelah.

Mereka mengerjakan tugas masing-masing di karpet ruang TV rumah Haidar. Haidar duduk bersila dengan meja lipat, sedang Melani menyandar pada sofa tunggal sambil berselonjor kaki. Kertas-kertas kuisioner itu menumpuk di sofa, berikut tas dan buku-buku penunjang.

Melani cantik. Haidar mengucap dalam hati. Rambut panjang gadis itu digelung asal. Wajahnya serius menatap layar dan kertas bergantian. Kacamata di wajah Melani membuat penampilannya terlihat pintar, meski hanya memakai pakaian rumahan milik ibunya. Andai mereka benar pacaran tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku, Haidar yakin akan melamar Melani saat ini juga.

Haidar beranjak dari duduknya, lalu masuk ke dalam kamar. Ia mengambil selimut lalu ke dapur menyeduh teh hangat. Saat ini sudah hampir pukul tiga pagi dan udara mulai dingin. Ia tak ingin melani masuk angin, karena lama duduk di karpet dan tak tidur semalaman. Ia ingin menjaga gadis itu, setidaknya agak jangan sampai sakit sampai skripsinya selesai.

"Untuk kamu." Haidar meletakkan gelas besar berisi teh panas. "Saya nggak buat kopi, karena yakin di kedai tadi pasti kamu sudah minum kopi."

Melani tersenyum geli. "Hanya gestur minum saja, Pak, gak benar-benar minum. Saya bukan penikmat kopi, selain di depan kamera." Ia tertawa lirih. "Terima kasih banyak. Bapak pacar pertama saya yang membuatkan teh hangat pagi buta begini."

LovetivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang