"Zalfa ... Gue boleh tanya sesuatu?"
Seorang pria dengan rambut hitam kontras dengan warna kulitnya. Duduk bersandar pada kursi taman. Lembayung senja yang berpijar menjadi saksi percakapan antara sepasang remaja. Manik mata cokelat si pria menatap tajam si gadis. Sembari memegang kedua tangan ia meminta."Tolong ... Ceritain apa pun yang lo tau tentang Feli. Bagaimana dia sekarang? Sedang apa dan di mana? Apakah dia tambah cantik? Atau," tanya si pria. Ia melepaskan genggaman tangannya. Merubah posisi duduknya. Menatap matahari yang bersiap melambaikan salam perpisahan.
"Apakah sekarang dia bahagia? Apakah dia tersenyum meski tanpa gue di sisinya?"
Tatapan matanya sendu. Sesekali memancarkan kerinduan yang begitu mendalam. Memori memutar kembali kisah kasih sewaktu bersama si gadis.
Melihatnya tertawa dan menangis. Ia bahkan belum memberikan kenangan indah untuknya. Namun, takdir berkehendak lain.
Ia teramat merindu ketika menginjakkan kaki di panggung. Memainkan satu lagu cinta."Devan ... buat apa lo masih ngejar Feli? Percuma, Devan percuma! Lo lupa siapa yang bikin lo nyaris lumpuh. Jangankan main piano, buat makan aja lo susah 'kan?" gertak Zalfa. Rasa geram ingin mencabik pria kepala batu di hadapannya. Apalah daya ia tidak mampu.
"Lo nggak ngerti, Zalfa. Gue beneran tulus sama dia. Lo nggak akan pernah ngerti karena lo nggak pernah ngerasain," sangkal Devanka. Suaranya lemah hampir tidak terdengar. Penyesalan teramat dalam bagi si pria. Ia menundukkan kepalanya.
"Devan, dengerin gue. Di dunia ini wanita cantik nggak cuma Feli. Kenapa sih lo masih kekeh ngejar dia. Kenapa lo masih mengejar seseorang yang hadirnya cuma membawa luka? Gue tau cinta itu buta, tapi nggak separah ini," bentak Zalfa. Kesal. Si gadis memegang kedua pipi lalu memaksa manik mata cokelat menatapnya.
Ada rasa rindu yang teramat dalam terpancar dari matanya. Kesedihan karena sekian lama tidak berjumpa. Keberadaan dirinya seolah menghilang dari muka bumi. Saat ini memang ia tidaklah sempurna. Namun, hatinya masih tetap terjaga.
"Zalfa ... gue mohon. Tolong bantu gue," pinta Devanka. Satu dua tetes air mata jatuh membasahi pipinya.
"Bukan cinta namanya kalau keduanya merasa sakit. Bukan cinta namanya kalau keduanya menderita. Lo ngejar Feli lo yang terluka. Begitu pun Feli yang berusaha percaya sama lo. Dia juga terluka, Devan. Harus dengan cara apa lagi gue kasih tau lo," jelas Zalfa. Ia masih menatap mata Devanka.
Bagi orang yang melihat akan beranggapan mereka pasangan muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Begitu romantis. Tangan Devanka kembali memegang jemari Zalfa yang melekat kuat di pipinya. Sekali lagi ia meminta.
Zalfa menyerah. Ia mengaku kalah. Bukan karena ia tega. Namun, kesungguhan hati Devanka yang meluluhkan kerasnya Zalfa. Ia bersikeras mengejar cintanya. Menyampaikan penyesalan. Memutuskan untuk bersamanya.
"Oke ... Gue cuma sekali ngomong. Jadi, dengarkan baik-baik." Zalfa melepaskan pipi yang sedari tadi menempel di wajah pria kacamata di hadapannya.
"Felicia sekarang menjadi siswi di SMA Polaris. Seperti biasa dia memilih kelas umum. Padahal sudah banyak guru yang memberi tawaran kelas akselerasi, tapi ia menolak. Satu lagi, lo terlambat Devan."
"Apa maksud lo gue terlambat?"
Zalfa menatap Devanka penuh penyesalan. Menggelengkan kepala. Ia menunduk. "Lo terlambat, Devan. Feli udah bahagia sama pria baik hati."Hati laki-laki mana yang tidak hancur mengetahui pujaan hati selama ini ia tunggu. Selama ini ia nantikan kehadirannya. Hanya sebentar, tidak lama. Ia sudah berpaling. Satu sisi ia merasa lega.
Si gadis telah menemukan kebahagiaannya meski tanpa dia. Namun, di sisi lain dia putus asa lalu hampir menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Luka (END)
RomanceDi dunia ini tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Tidak ada cinta tanpa kesedihan. Perjuangan Felicia mencari arti cinta selalu dipenuhi duri dalam setiap langkahnya. Pertemuannya dengan Devanka pun menjadi langkah awal menuju jurang kematian. Ini ada...