Chap. 4 Violin yang Menjadi Ingatan

49 7 8
                                    

"Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mengenalmu lewat musik yang akan kita mainkan bersama. Sejauh mana kau membawaku pergi dan suasana apa yang akan ditunjukkan kepadaku. Semua itu ku nantikan."

Langkah tergesa-gesa dengan peluh mengalir deras di dahi Devanka. Menggendong si tuan putri menuju tempat peristirahatan.

Aroma obat-obatan menusuk hidung mancungnya. Tempat tidur dominan warna putih menjadi tempat si gadis terlelap. Raut pucat pasi menghiasi wajah manisnya. Devanka tetap setia menunggu kesadaran sang tuan putri.

Waktu terus berlalu, festival pun mendekati akhir. Namun, sorak ramai dari para siswa masih menggema ke seluruh penjuru SMP Perintis. Semua orang menantikan penampilan terakhir seorang gadis violin.

Kehadirannya tidak kunjung datang. Para pengurus OSIS pun dibuat kalang kabut. Ketua OSIS bernegosiasi dengan para guru.

'Bagaimana ini? Violinistnya masih tertidur. Pak ketua yang nyebelin. Nggak ada konfirmasi apapun ke gue! Sudah cukup lama kami mengulur waktu. Apa yang harus gue lakuin sekarang?' batin Devanka cemas menunggu si gadis terbangun.

Sambil menggosok telapak tangan si gadis. Mengompres kening indahnya. Tiada henti menaruh harap pada keajaiban kesembuhan bagi Felicia.

"Gue mohon meski sesaat. Bangunlah ... Ini demi kami para pengurus, juga demi lo. Meskipun kondisi lo sedang tidak memungkinkan untuk tampil. Dengan keegoisan gue, gue mohon sadarlah. Gue janji bakal jagain lo setelah penampilan ini berakhir Felicia," bisik Devanka ke telinga si gadis.

Air mata menetes begitu saja di wajah Felicia. Boleh jadi mimpi buruk sedang datang. Dengan segera si pria mengusap serta memeluk tubuh gadis cantik. Kehangatan pelukan Devanka menjadi sihir penenang untuknya.

"K-ka-kakak-k," ucap Felicia tersadar dari mimpi panjang.

"Selamat pagi, tuan putri. Sudah bangun? Apa tidur mu nyenyak? Maaf, tapi siapa kakak yang kau maksud?" sapa Devanka dengan senyuman merekah diwajah orientalnya.

***

Gelap ....

Sesak ....

Dingin ... Aku kedingingan.

Sakit ... Sekujur tubuhku terasa sakit.

Aku lapar ....

Aku kesepian ....

Aku putus asa ....

Aku sudah tidak kuat lagi.

Aku ingin keluar.

Sudah berapa hari aku di sini. Tubuhku juga sudah banyak menyerap air.

Aku hidup bersama orang tua yang penuh kasih sayang.

Mereka akan menghukumku jika aku melakukan sedikit kesalahan.

Kamar mandi dan kandang kuda sudah seperti kamar mewah bagiku.

Hingga suatu hari aku melakukan kesalahan dan membuat ayah sangat marah. Ayah mengurungku di tempat gelap penuh air.

Aku berusaha untuk tidak menangis. Kalau aku menangis nanti ayah akan semakin marah padaku.

Aku mendengar suara pintu yang sedang berusaha dibuka. Suara itu telah memberikanku secercah harapan, meskipun sangat kecil. Hingga cahaya matahari perlahan masuk dan membuat mataku tidak bisa melihat.

Mengejar Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang