Chap. 8 Obat Dari Sebuah Luka

33 7 34
                                    

Hai readers...
Aku kembali
Gak mau panjang lebar..

Selamat membaca.. 😉
***

"Meskipun itu jalan memutar. Mari menuju tujuan yang sama. Kita pasti akan berubah jika aku bersamamu sekarang."

Aku takut. Dua kata menari indah. Berjalan tidak tentu arah. Entahlah, tidak ada papan jalan di sekitar. Tubuh mungilnya masih gemetar. Napas tersenggal. Berderai air mata. Bayangan dirinya terkunci di toilet membuka sedikit kenangan yang terkubur dalam.

Kini kenangan pahit bercampur kejadian beberapa jam lalu mulai mengambil alih kendali tubuhnya. Oksigen yang masuk dari hidung mancungnya tidak cukup mengalirkan ke seluruh tubuh. Peluh membanjiri seragam. Kedua kakinya tidak sanggup menopang tubuh ideal Felicia. Ia harus merelakan tubuhnya tumbang ke tanah.

Di tengah kesusahannya, seseorang berjaket hitam melihat Felicia di malam nan sunyi.

'Kenapa dia bisa ada di sini? Gue sangat yakin udah kunciin dia, tapi kenapa?' batin si orang asing. Ia merogoh saku jaket. Mengambil sebuah silet didapatkan gratis.

Langkah kaki mantap menghampiri Felicia tidak berdaya. Dengan berani si orang asing itu menyayatkan silet ke lengan putih nan mulus si gadis. Luka cukup panjang harus dirasakan. Ia menjerit. Cairan kental berwarna merah segar mulai menetes menodai bajunya.

Kabar baiknya kenangan pahit itu pergi bersamaan dengan darah yang mengalir. Teriakan kesakitan menggema membiarkan langit merah malam menjadi saksi.

Si orang berjaket hitam hendak melarikan diri. Namun, ia tertahan ketika salah satu tangannya dipegang oleh seseorang.

"Siapa kamu?"

Suara familiar membuat Felicia menoleh ke belakang. Senyum dan tangis muncul bersamaan di wajahnya. Devanka menyusul dirinya.

Si orang asing menendang Devanka yang tidak siap. Cengkraman kuat lepas. Membiarkan si pria asing melarikan diri. Tidak peduli. Ia memilih mengutamakan gadis di hadapannya. Ia mengambil sapu tangan dan membalut luka Felicia. Melihat si gadis menangis, Devanka menghapus air matanya.

Dinding kokoh sulit ditembus perlahan hancur dengan sendirinya. Tidak peduli gelar "si Putri Es" yang disandangnya. Felicia memeluk erat Devanka lalu menangis. Melepaskan semua ketakutan dihati dan pikiran. Si pria hanya membalas pelukan tanpa berkata apapun.

Setelah semua beban hanyut dalam tangisan. Devanka mengantar si gadis sampai ke rumah. Dengan alasan melindungi dari orang jahat. Tanpa terasa mereka tiba di rumah minimalis dominan biru dan putih. Felicia membungkukkan tiga puluh derajat tubuhnya. Terima kasih.

Pintu terbuka menampilkan seorang laki-laki gagah sudah menanti cukup lama. Wajah serupa dengan Felicia. Hidung mancung serta rupa menawan. Berbeda dengan sebelumnya, kerutan menghiasi wajah menawan laki-laki itu. Tangan menyila menambah kesan arogan.

"Aku pulang, kak Raven." Felicia menunduk dalam diam. Entah mengapa rasa takut yang sudah susah payah Devanka hilangkan kini datang kembali.

"Siapa dia? Lengan mu kenapa?" tanya Raven. Aura mencekam mengelilingi sang kakak. Orang normal mungkin akan menjadi batu jika berani bicara macam-macam.

"Ah, i-itu ... Teman ku, kak. Dia ... OSIS, ya. Dia OSIS. Lenganku ... Aku jatuh tadi."

"Jam berapa sekarang?" reflek Felicia melihat jam dinding yang tepajang di samping figuran. Jarum jam menunjukkan pukul 23.15 mendekati tengah malam.

Tanpa memberi jeda, sang kakak  menarik paksa tangan si adik yang terluka. Belum sempat berganti pakaian. Ia sangat paham tabiat sang kakak.

Di hempaskan begitu saja. Tidak peduli si adik merintih kesakitan. Raven pergi meninggalkan adik tersayangnya. Si gadis memeluk erat dirinya. Berharap ia dapat segera beristirahat.

Mengejar Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang