"Aku melihat banyak wajah dalam dirimu. Begitu banyak cermin dalam jiwamu. Mengapa terasa sulit untuk menjangkaumu? Izinkan aku mengenalmu. Izinkan aku menjadi pelita takdirmu."
Matahari akan segera datang. Devanka masih terlelap dalam mimpinya, melupakan hal penting hari ini. Suara ketukan keras dari pintu masih belum cukup untuk membangunkan laki-laki yang semalaman berjaga dengan buku-buku. Sungguh perwujudan laki-laki pekerja keras.
"Bangun Kana! Atau gue dobrak pintu ini!" bentak Alden terbawa emosi dengan si teman masa kecilnya. Sudah menjadi tabiat jelek sulit bangun pagi.
Pintu berderit menampakkan pria masih setengah sadar dengan penampilan tidak karuan. Alden memiringkan kepalanya mengintip isi kamar si pria. Mungkin semalam terjadi gempa bumi hanya di kamar Devanka saja.
"Apa yang lo lakuin? kita nyaris telat dan lo masih belum siap?" emosi Alden tak tertahankan melihat sosok di hadapannya. Jiwa Devanka belum kunjung kembali membuatnya kebingungan akan ucapan Alden. Lagipula siapa yang akan berangkat sekolah di pagi hari bahkan matahari saja belum mau muncul.
"Benar-benar lo, ya! Bisa-bisa vertigo gue kambuh! Rapat Devanka Arkana! Rapat! Bukannya lo ada rapat pagi?" nyaris Devanka menjadi bulan-bulan Alden. Butuh waktu lama untuk Devanka memproses kalimat Alden. Wajahnya terlihat bak seorang bayi yang sedang diajak bercanda oleh orang dewasa.
Daripada meladeni Devanka, Alden memilih masuk ke kamar si teman masa kecil. Membantu mempersiapkan proposal untuk festival. Jiwa Devanka telah kembali ke raganya setelah beberapa detik kemudian. Barulah ia sadar betapa pentingnya hari ini.
Segera mengambil handuk. Bergegas mandi. Ia tidak sadar kehadiran Alden yang tengah duduk santai di kasur miliknya. Mandi bagai sambaran petir sudah biasa bagi Devanka. Tidak tahu kuman di tubuh sudah pergi atau belum. Ia sibuk dengan dirinya di hadapan cermin. Ketika ia melangkahkan kaki keluar dari kamar barulah ia menyadari kehadiran Alden.
"Lo ngapain di kamar gue? Lo mesum?" tanya Devanka dengan penuh emosi. Terlambat, Alden sudah naik pitam. Ia berdiri dari tempat semula melayangkan tinju terhebat miliknya ke perut Devanka.
Rintihan sakit terdengar lantang di pagi buta. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Alden menarik tangan Devanka tidak lupa mengunci semua pintu, mengeluarkan sepeda miliknya dan menyuruh Devanka duduk dikursi penumpang.
Kecepatan laju sepeda yang di luar nalar membuat mereka tiba di sekolah dalam hitungan menit.
Wajah kaku tidak berkedip Devanka nampak diacuhkan oleh Alden. Setelah memarkirkan sepeda, mereka bergegas menuju sumber kesibukkan.
Beruntunglah para guru memaklumi dan memberikan hak istimewa kepada para pengurus OSIS dalam pembelajaran. Devanka segera merapihkan berbagai proposal untuk festival esok hari.
Tidak lama berselang, tiba si Ketua OSIS membawa banyak berkas proposal. Rasa mual tidak tertahankan melihat tumpukkan kertas menggunung itu. Ketua memberi signal untuk melakukan rapat pengurus sebelum memulai awal pagi yang suram.
Sepatah dua kata dari Ketua memberi semangat kepada pengurus lain. Rapat diakhiri dan para pengurus OSIS pun memulai kesibukkannya masing-masing.
"Devan bisa kita bicara sebentar?" tanya Ketua OSIS dengan raut wajah yang serius. Devanka menghentikan pekerjaannya. Menyimak apa yang akan diucapkan oleh sang Ketua.
"Langsung saja. Ada masalah komunikasi dengan pihak sponsor. Gue sama Sekretaris akan keluar untuk menyelesaikannya dan Bendahara mungkin juga akan keluar mempersiapkan perlengkapan serta peralatan. Tidak masalah jika lo kita tinggal?" raut wajah kesal Devanka sangat tergambar jelas tapi apalah daya. Helaan napas terdengar berat keluar tanpa diperintah, Devanka menyetujuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Luka (END)
Roman d'amourDi dunia ini tidak ada cinta tanpa pengorbanan. Tidak ada cinta tanpa kesedihan. Perjuangan Felicia mencari arti cinta selalu dipenuhi duri dalam setiap langkahnya. Pertemuannya dengan Devanka pun menjadi langkah awal menuju jurang kematian. Ini ada...