part_6

93 17 0
                                    

Bismillah

Terjebak Dalam Tubuh Vanya

#part_6

#by: R.D.Lestari.

Vanya menatap dirinya di depan cermin. Pantulan kecantikan tubuh dan wajahnya membuat gadis itu tak henti berdecak kagum karenanya.

Kaki putih jenjang yang mulus, mata abu-abu berkilau, rambut pirang yang cantik terjuntai indah.

Semua amat apik dipadankan dengan dress pink di bawah lutut dan blazzer pink muda beserta sepatu kets putih dan ransel putih pilihannya. Senada dan terkesan girly.

Jiwa Vanya yang berada pada tubuh Rasti amat mengagumi dirinya yang sekarang. Tidur nyenyak dan semua seperti impiannya.

Gadis itu melenggang dengan anggun keluar dari kamarnya. Pagi-pagi sekali Ia turun dan meniti anak tangga satu persatu. Suasana rumah masih sangat sepi, tapi indra pendengarannya seperti terusik dengan bunyi dentingan piring yang beradu tapi sangat lirih.

Vanya melangkah pelan ke arah dapur. Ia terkesiap saat melihat punggung yang amat Ia kenal. Sempat mematung sekejap sebelum akhirnya Ia sadar bahwa sosok yang membelakanginya itu benar adalah ibunya. Wanita tua renta itu terisak di sela tangannya yang lincah membilas piring-piring dan gelas serta perabot masakan yang penuh sabun di hadapannya.

Vanya bergeming. Apa yang terjadi dengan ibunya? apa semua ini ada kaitannya dengan Rasti yang kini berada pada tubuhnya? apa yang gadis itu perbuat?

Berbagai pertanyaan dan spekulasi menumpuk di pikirannya. Dengan rasa penasaran yang membuncah, Vanya mendekati ibunya. Kakinya gemetar menahan sedih dan amarah melihat orang yang amat Ia sayangi menangis.

"Ibu...," lirihnya.

Degh!

Minah, nama si Ibu terdiam ketika mendengar lirihan suara memanggil namanya. Ia segera mengusap kasar wajahnya dengan kain segi empat yang selalu menempel di bahunya.

"Iya ... No--Nona?" mata nya membulat sempurna saat Ia tau siapa yang memanggilnya. Wanita muda yang sangat diseganinya kini berdiri berhadapan dengannya.

Vanya terhenyak ketika netranya menangkap raut ketakutan dari wajah Sang Ibu yang amat di sayanginya. Batinnya bergejolak. Apa kiranya yang dilakukan pemilik tubuh yang kini di curinya? dan mengapa ibunya pagi-pagi sudah berada di rumah gadis sombong yang suka membullynya? apa selama ini ibunya bekerja di sini?

"Maaf, Nona ... Bibi sudah berusaha semampu Bibi untuk tidak berisik, sungguh Nona, Bibi minta maaf,"

Wanita yang Ia panggil Ibu itu hampir saja ingin bersujud di hadapannya, tapi dengan sigap Vanya meraih tubuh itu dan membawanya untuk duduk bersama di meja makan.

Minah hanya terdiam. Lidahnya tiba-tiba terasa kaku mendapat perlakuan berbeda dari biasanya.

"Duduklah, Bibi. Biar Aku yang menyelesaikan tugas Bibi," ucap Vanya lembut, lalu berdiri dan melangkah mendekati tempat pencucian piring. Tangannya amat mahir dan lincah membersihkan satu demi satu piring juga perabotan kotor lainnya.

"Nona, jangan Nona," cegah Minah seraya ingin beranjak dasi duduknya.

"Udah, Bi. Hari ini biar saya bantuin,"

Minah tak berani melawan. Wanita tua itu hanya terdiam di tempat. Memperhatikan dengan seksama gerak-gerik Nona Rasti yang Ia rasa amat berbeda. Entah kenapa, saat itu Ia teringat anak semata wayangnya, Vanya. Sikapnya yang lembut dan suka membantu, meski hari ini Ia kecewa karena sikap Vanya amat berbeda.

Tap-tap-tap!

"Halo, Bibi!"

Satu sapaan  tiba-tiba hadir di antara mereka. Sontak saja Vanya menghentikan aksinya dan berbalik, melihat siapa yang datang.

"Halo, adikku yang manis dan menggemaskan,"

Belum sempat Vanya bertanya siapa gerangan lelaki tampan yang baru saja masuk ke dalam rumah, tangan lelaki itu dengan entengnya meraih bahu Vanya dan membawanya dalam pelukan.

Wangi floral tercium menyengat dari tubuh lelaki tinggi dan berdada bidang itu. Ia dengan gemasnya mengacak rambut Vanya yang masih terdiam. Gadis itu menjadi kikuk, bingung.

"Den Ferdinand kapan sampai? kenapa Nyonya dan Tuan sepertinya tidak tau?"

"Baru saja, Bi. Aku sengaja tak memberi tau Mom and Dad,"

"Hei, manis, kok rajin banget hari ini?"

Laki-laki tampan dan wangi itu kembali mendusel kepala Vanya. Tubuh Vanya gemetaran. Siapa cowok ganteng ini? kenapa sepertinya Ia sangat akrab dengan Rasti, si Pemilik tubuh?

Lelaki itu bergeming, lalu menurunkan pandangannya. Mungkin Ia merasa aneh karena adiknya yang terdiam tanpa berkutik sedikitpun.

"Kamu kenapa, Dik? Kakak datang dari jauh biasanya minta oleh-oleh? nih, Kakak bawa coklat banyak untukmu,"

'Kakak? lelaki ini kakaknya Rasti?'

"I--iya, Kak. Te--terima kasih," jawabnya terbata.

"Ya sudah, Kakak mau istirahat dulu. Mon and Dad pasti masih tidur, Kamu adik kecilku ingat, jaga sikapmu," lelaki itu pelan mengecup pucuk kepala Vanya. Pipi gadis itu memerah mendapat perlakuan super manis dari pria yang belum pernah Ia kenal.

Sepeninggal lelaki tampan tadi, Vanya berbalik dan menyelesaikan pekerjaannya. Ia lalu mengeringkan tangannya pada kain yang tersampir tak jauh dari dirinya. Wajahnya masih memanas dan tentu saja memerah.

Dengan mengulum senyum, Vanya mendekati ibunya yang duduk dengan wajah sandunya.

"Kita sarapan bareng, ya, Bik. Itu ada roti dan selai, mau rasa apa, Bik? biar Aku oleskan," ucap Vanya lembut sembari mengelus tangan Minah yang terlipat di meja.

Wanita tua itu tampak canggung dan menatap heran. Vanya amat paham, tentu ibunya sudah mengalami banyak hal buruk dengan Rasti, Si pemilik tubuh asli. Gadis sombong itu pasti sering membuat hati ibunya terluka.

Memikirkan itu, membuat hati Vanya bergejolak. Rasa dendamnya semakin menjadi dan enggan untuk kembali pada tubuhnya. Dengan begini, Ia bisa membuat ibunya bahagia. Ia berjanji ibunya bisa makan dengan layak.

"Tidak, Nona. Saya sudah sarapan di rumah," tolaknya sopan.

"Aku tau Bibi, tapi Aku ingin sarapan bersama Bibi sekarang,"

Vanya menahan sekuat tenaga bulir bening yang memaksa ingin keluar. Betapa Ia sangat mencintai wanita paruh baya di hadapannya ini. Demi dirinya, Ibu rela membiarkan dirinya mendapat perlakuan buruk di rumah mewah ini. Meskipun Ia tak melihat secara lansung, kata hatinya tak bisa dibohongi. Ibu ... telah banyak merasakan luka.

Tanpa Ia sadari bulir bening itu akhirnya tumpah jua. Sembari mengoles selai di roti, Vanya mengusap pipinya. Ia takut ibunya curiga.

"Nona, Nona kenapa?"

Vanya hanya menggeleng mendengar pertanyaan ibunya. Ia kemudian mengulurkan roti yang sudah di olesi selai strawberry kepada ibunya.

"Aku mohon, makanlah, Bi,"

Minah dengan lahap menggigit dan mengunyah roti yang diberikan padanya. Untuk pertama kalinya wanita paruh baya itu makan roti dengan olesan selai yang memang rasanya amat enak.

Sebenarnya di rumah itu Ia diizinkan untuk makan apapun, tapi Minah merasa enggan. Ia tak mau reputasi yang dimilikinya hancur hanya karena sikap ketidak-tau-diriannya. Walaupun lapar, Ia pantang mengambil sebiji nasipun jika tidak di beri secara langsung.

Melihat ibunya yang begitu lahap makan roti, Vanya semakin tak tega. Ia kembali menyeka air matanya yang tumpah ruah di sela senyumannya.

Ibu tiba-tiba menghentikan aktifitas makannya dan menatap heran ke arah gadis yang berubah baik padanya.

"Nona ...," lirihnya.

"Bu, maafkan Vanya, Vanya akan berjanji lebih baik lagi kedepannya,"

"Ibu? Vanya?"

***



Terjebak Dalam Tubuh VanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang