part 28

54 8 0
                                    

Bismillah

   
    Terjebak Dalam Tubuh Vanya

#part_28

#by: R.D.Lestari

Titan menatap gadis yang tertidur di ranjang ibunya. Dengkuran halusnya membuat gelanyar aneh pada diri Titan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya melihat wanita lain dalam rumahnya. Wajah cantik yang tenang dan terlihat manis. Amat berbeda saat ia bangun, mata menyala marah, dan kata-kata ketus yang sering terlontar.

Tanpa ia sadari, kakinya telah membawa dirinya hingga berada di bibir ranjang.

Memperhatikan wajah gadis yang nampak alami dan manis. Ingin rasanya ia mengusap pipi mulus yang sedang mendengkur pelan. Bibir merah alaminya seolah memanggil untuk menggoda.

Lelaki tinggi itu sedikit membungkuk dan memperhatikan lebih intens setiap lekuk wajahnya.

Ia menarik salah satu sudut bibirnya dan terkekeh. "Imut banget sih, kalau diem seperti ini," tanpa sadar ia bergumam.

Gadis itu menggeliat, merasakan hawa hangat menerpa wajahnya. Matanya mulai mengerjap dan ...

Bughht!

"Awww! sakit, tau!" Titan menyentuh hidung dan jidatnya yang kesakitan akibat pukulan guling dari Rasti.

Gadis itu seketika duduk dan menggeram. Sorot matanya tajam dengan kilat amarah yang membuat Titan beringsut mundur.

"Kamu mau ngapain, hah? jangan macam-macam jika tak ingin terjadi sesuatu yang mengerikan padamu!" ancam Rasti garang.

Titan bukannya takut, malah terkekeh geli. Ia memandang gadis yang saat ini berwajah masam seperti biasa.

"Aku ga niat ngapa-ngapain, kok. Cuma lihat muka kamu lucu waktu lagi tidur, beda dengan saat waktu bangun begini, kek singa," ucapnya mengejek.

"Dah, percaya, aku ga bakal ngapa-ngapain kamu, ayo, keluar. Aku dah masakin sesuatu untuk kamu,"

Titan memutar tubuhnya dan melangkah keluar kamar. Gadis itu masih tersulut emosi. Hatinya panas, seolah ada bara api yang tersimpan dalam hatinya.

Namun, rasa lapar begitu mendera perutnya yang sejak tadi keroncongan. Dengan bersungut-sungut, Rasti akhirnya turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.

Aroma nikmat begitu memanjakan indra penciumannya. Matanya langsung tertuju pada dua mangkuk yang masih mengepulkan asap tipis.

Titan meraih salah satu mangkuk dan menyuap perlahan sesuatu yang berkuah. Rasti yang melihat  hanya dapat menelan ludah.

"Udah sini, makan. Percaya deh, ga aku kasih racun," serunya.

Gadis itu akhirnya menekan egonya dan melangkah pasti ke arah Titan. Ia lalu duduk dan menyantap makanan yang Titan hidangkan.

***

Sementara itu, Vanya terlihat kikuk saat berdiri di balik etalase. Hari ini ia sudah mulai bekerja di bakery milik keluarga Rasti.

Gadis berkulit sawo matang itu tampak begitu antusias dalam melayani pelanggan.

Beberapa kali ia nampak menyeka peluh yang membanjiri keningnya dengan tissu.

Ia amat bahagia akhirnya bisa bekerja. Dalam batinnya ia selalu berdoa agar bisa membahagiakan ibunya.

Hujan di luar toko membuat hati Vanya gusar. Bagaimana ia bisa pulang jika hujan tak kunjung reda?

Gadis itu hanya termenung dan berandai-andai. Berharap ada seseorang yang menjemputnya, tapi sedari bekerja ia tak sedikitpun mengabari Titan, sahabatnya.

Tanpa ia sadari, sedari tadi ada sesosok pria tampan yang memperhatikan gerak-geriknya.

Pria itu tersenyum bahagia hanya dengan menatapnya dari jauh. Di dalam mobil yang terparkir lelaki itu membayangkan jika suatu saat ia dan Vanya bisa bersama.

Entah apa yang membuat pria yang tak lain adalah Ferdi itu punya ketertarikan yang begitu besar padanya. Ia begitu mendamba dan tak bisa ia dipungkiri jika dalam jiwanya sudah terselip rasa cinta.

Hujan ternyata bertambah lebat. Vanya yang teramat lelah setelah seharian kuliah dan bekerja hanya bisa menyenderkan tubuhnya di dinding toko tanpa banyak bicara. Beberapa temannya memilih pulang dalam keadaan basah karena hari sudah mendekati pukul sepuluh malam.

Sedangkan Rasti masih mematung seorang diri karena ia tak ingin esok hari sakit. Ia harus menghargai beasiswa yang di berikan padanya agar lebih rajin belajar. Tak ingin libur kalau bukan karena hal yang mendesak.

Merasa ini waktu yang tepat, Ferdi keluar dari mobil dengan membawa payung hitam untuk melindungi kepalanya dari guyuran hujan deras.

Vanya yang sedari tadi hanya menunduk sembari menghayal tak menyadari kedatangan Ferdi sejak tadi. Ia baru sadar saat suara serak dan basah itu menyapanya lembut.

"Kamu, belum pulang?"

Vanya terhenyak dan menengadah guna mencari tau siapa yang kini ada di hadapannya.

"Pa--Pak Ferdi?" desisnya saat menatap lelaki berkemeja abu-abu yang sedang menatapnya intens.

Lelaki tampan di hadapannya itu hanya mengulas senyum manis, yang membuat Vanya tak berkutik. Ia memang teramat tampan baginya, hingga mudah melupakan Demian dalam sekejap.

Ferdi mengulurkan payung hitamnya hingga membuat Vanya terhenyak. Apa maksud pria ini?

"Ayo, pulang. Hari sudah mulai larut. Nanti kamu kedinginan,"

Vanya hanya mengangguk tanpa sedikit pun membantah ucapan Ferdi. Ia lalu mengikuti langkah Ferdi menuju mobil mewahnya dan masuk ketika lelaki itu dengan gentle membuka pintunya.

Malu-malu, Vanya menarik sabuk pengaman dan menguncinya. Sepanjang perjalanan dia hanya tertunduk dan menciptakan rasa canggung di antara keduanya.

"Emh, kau bisa pakai ini, sepertinya kau kedinginan," Ferdi meraih meraih selimut di kursi belakang dan menyerahkannya pada Vanya.

Gadis itu menerimanya dengan tangan gemetar dan tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan.

Panas seketika menjalari kedua pipi Vanya hingga membuatnya memerah. Secepat kilat Ia menarik tangannya dan menyentuh dadanya yang berbunyi," bum-bum-bum!"

Begitupun Ferdi. Pria matang itu tampak kikuk menatap ke arah jalan. Beberapa kali ia mengusap peluh di keningnya, panas, padahal AC tetap menyala.

Mobil melaju cukup kencang, melewati barisan gedung dengan gemerlap lampu warna-warni.

Meski hampir mendekati tengah malam, raung mobil dan motor masih terdengar berseliweran tanpa celah.

Becek aspal sisa hujan ditemani dinginnya malam membuat suasana kian syahdu. Beruntung tak begitu sepi, hingga detak jantung dua insan itu tak terdengar satu sama lainnya.

Mereka terdiam. Larut pada pikiran masing-masing, tanpa suara, hanya pikiran yang menemani, berbicara pada hatinya sendiri.

Tak lama, mereka pun sampai di halaman rumah sederhana. Mobil menepi di depan rumah berbahan kayu bertingkat tiga. Tampak kumuh untuk seorang Pria kaya seperti Ferdi.

Namun, itu tak menjadi batu sandungan untuknya. Ia yang memang sudah suka dari pandangan pertama menaruh tekad untuk bisa mendapatkan hati wanita manis di sampingnya saat ini.

Ia merasa dekat, dan bukan untuk kali ini saja. Terkadang hatinya bertanya, apa ini ada hubungannya dengan reinkarnasi ? kenapa ia merasa sangat mengenal Vanya?

"Maaf, Pak saya turun duluan," suara Vanya menyadarkan lamunannya. Ferdi terkesiap dan menatap nya dengan penuh perhatian.

"Tunggu,"

Pria itu lalu membuka sabuk pengamannya dan meraih payung di bangku belakang.

Dengan gagah, Ferdi...

Terjebak Dalam Tubuh VanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang