part_23

76 14 2
                                    

Bismillah

         Terjebak Dalam Tubuh Vanya

#part_23

#by: R.D.Lestari.

"Asal?" ulangnya, matanya menatap bingung.

"Asal kamu jangan berbuat yang macam-macam dan juga ... harus membuatku teh yang sama seperti ini esok hari serta ... mengajakku berkeliling di perkampungan ini yang pasti sangat indah jika siang hari. Setuju?"

Aku mengulurkan tangan dan tersenyum simpul. Semoga saja ia berjaya 'ya'. Karena aku masih belum rela kalau harus menahan rindu untuk melihat senyumnya.

"Hmmmh, oke. Apapun yang penting kami pulang dalam keadaan sehat malam ini," ia menerima uluran tanganku. Desiran hangat seketika mengaliri darah dan membuat hatiku berbunga-bunga.

"Wajahmu kenapa memerah? apa teh cinnamon membuatmu alergi?" lelaki manis itu mendekat dan memangkas jarak diantara kami. Tubuhnya yang tinggi menjulang membuat dadaku bergemuruh saat menatap dadanya yang bidang tepat di depan mataku.

Ia menurunkan pandangannya dan mengangkat wajahku hingga tatapan kami saling terpaut. Ia memeriksa setiap inci wajahku dengan tatapan matanya yang tajam. Tangan kanannya masih menyentuh daguku, bak terhipnotis dengan pesonanya, bibirku terbungkam, dan hanya bisa meniti tiap sudut wajahnya yang tampan.

"Aku rasa kamu tak terkena alergi," lirihnya seraya menurunkan tangannya dan bergerak mundur.

"Ayo, hari semakin malam. Aku takut orang akan berpikir buruk padaku. Apalagi kedua orang tuaku sedang tak ada di rumah," paparnya dan aku cuma bisa mengangguk pelan. Mengikuti arah langkahnya keluar rumah.

Pemuda tinggi itu memunggungiku saat akan mengunci pintu. Pandangan mataku mengedar ke segala arah hingga berhenti pada satu tempat, di mana ada sinar yang amat berkilau dari balik dedaunan rindangnya pohon. Gelap dan hanya ada sinar yang seperti sepasang mata mengintai.

Tubuhku tiba-tiba gemetar hebat. Peluh seketika mengucur deras.

"Ti--Titan ... i--itu ... apa?" terbata saat melihat hal yang menurutku amat mengerikan.

Pluk!

Aku mundur perlahan, sialnya ada sesuatu yang jatuh dari atas, menggeliat tepat di dahiku, hingga ...

"Aaaaa!"

"Hei, ada apa denganmu?" Titan datang dan mendekat padaku yang saat itu menangis histeris menahan takut.

"I--ini... tolong singkirkan makhluk kecil yang ada di dahiku!" masih dengan berurai air mata aku menunjuk ke arah dahi, mahluk kecil itu masih anteng bertengger disela-sela anak rambutku.

Tanpa banyak kata pemuda manis itu
mendekat dan matanya menelisik di antara temaramnya lampu dan suasana gelap di sekitar. Jari tangannya mulai bermain dan mengambil makhluk kecil yang menggeliat di tangannya.

"Kau takut ini?" desisnya dengan suara yang mengejek.

Aku mengangguk dan bergerak mundur, menjauhi diri darinya.

"Sudah, ini sudah aku buang," ucapnya dan ia melangkah menuju motornya sedangkan aku masih bergeming di tempat.

"Apa lagi!?" ia menolehku saat aku tak jua naik ke motornya.

"I--itu...," tunjukku.

Pemuda itu tampak kesal dan kembali turun dari motornya dan melangkah kembali ke arahku. Ia kini berdiri bersejajar di sampingku, melihat ke mana arah telunjukku.

"Apa sih!?"

"Apa kamu ga lihat?" tanyaku.

"Enggak,"

"I--itu ada  sinar yang lagi ke arah kita!"

Sembari fokus, detik berikutnya ia terkekeh, seperti ada yang lucu.

"Udah, itu cuma kucing hutan. Bukan apa-apa, ayo, sekarang pulang. Orang tuamu pasti khawatir padamu,"

Aku menggeleng cepat. "Mereka tak akan tau aku ada atau tidak di rumah. Mereka terlalu sibuk,"

Titan hanya menatapku bingung, tapi begitu aku baik dan duduk manis di motornya, ia tak lagi banyak bertanya. Begitupun aku yang hanyut dalam pikiran. Merenungi nasib sebagai nona muda yang kesepian.

Rasanya sudah tak sabar untuk kembali tinggal di rumah Vanya. Walaupun di sana serba kekurangan, tapi kehangatan dalam keluarga amat kental terasa.

Angin malam  menusuk  kulit. Sedari tadi tubuhku menggigil menahan dingin yang amat sangat hingga gigiku bergemeretuk karenanya.

Terkadang ekor mata Titan mencuri pandang padaku. Aku tau, tapi pura-pura tak tau. Pemuda dingin seperti dia apa punya kepekaan?

Ckiiittt!

Motor tiba-tiba menepi dan berhenti tepat di samping bangunan ruko yang berjejer rapi.

"Kenapa berhenti?" tanyaku.

Titan tak menjawab. Ia kemudian melepas jaket kulit yang ia pakai dan tubuhnya berputar ke arahku. Menyelimuti tubuhku dengan jaket yang ia lepaskan. Aku terhenyak, lelaki dingin berselimut misteri ini ternyata begitu perhatian.

Tanpa bicara sedikitpun, ia kembali memacu motornya kencang, dan aku kini mulai berani menyentuh punggungnya, itu pun karena disuruh olehnya.

Motor akhirnya berhenti di depan rumah mewah dengan gerbang besi bercat emas yang terkunci. Ya, itu rumahku. Rumah mewah yang tak ada kehangatan di dalamnya.

"Mau mampir?" tawarku saat kakiku sudah menjejak di tanah.

Titan menggeleng cepat. " Besok aku jemput jam delapan. Sesuai janjiku tadi, aku akan mengajakmu berkeliling esok hari," ujarnya sembari memutar motor.

Belum sempat ku jawab, pemuda itu langsung menstater motornya dan  ngebut begitu saja, tanpa memperdulikanku yang saat ini masih menatapnya.

Aku menghela napas panjang. Lucu juga punya ketertarikan pada pemuda biasa padahal aku sudah punya pacar yang jelas dari segi tampang dan materi jauh diatasnya, tapi kenapa di mataku ia begitu menarik?

Tin-tin!

Aku tersentak dari lamunan saat mendengar suara klakson mobil, seketika menoleh dan melihat Kak Ferdi keluar dari dalam mobil hitamnya.

"Kamu kenapa di sini, Dek?" tanya nya dan membelai pucuk kepalaku dengan sayang. Ya, kakakku ini selain tampan amat penyayang.

"Ayo, masuk, Dek,"

"Akh, sakit, Kak," jeritku saat ia menyentuh tanganku.

"Kenapa, Dek?" Kak Ferdi mengangkat tanganku dan melihat ada perban di sana.

"Ini kenapa?" tanyanya khawatir.

"Kena kejar anj*ng saat ke rumah Vanya, cewek yang Kakak taksir,"

"Maksudku kamu apa, Dek? ayo, masuk dulu kita cerita di dalam," Ferdi membuka pintu mobil dan setelah aku masuk, ia pun ikut masuk. Memencet klakson berulang kali hingga pintu gerbang terbuka saat penjaga datang dengan tergesa.

"Vanya butuh pekerjaan, jadi tadi aku datang padanya, menawarkan pekerjaan di Bakery milik Mom," jelasku. Kening Ferdi mengkerut dan menatap tajam padaku.

"Apa motifmu membantunya, Bukannya kamu tak suka padanya?" tanya Ferdi dengan kata-kata menyelidik. Aku terdiam. Benar, Ferdi amat peka dan seperti mengerti apa yang ada dalam pikiranku.

"Tak ada. Aku hanya kasihan melihat kehidupannya yang jauh dari kata enak," lirihku berusaha berbohong. Tak mungkin aku jujur jika mendekati Vanya adalah jalan ninjaku untuk bisa bertemu Titan.

"Owhh, syukurlah. Setidaknya niatmu baik," jawabnya sembari turun dari mobil dan membuka pintu agar aku bisa keluar.

"Kakak harap kamu bisa berdamai dengannya. Dia anak baik, buktinya dia mau membantu ibunya di sela rutinitas kuliahnya,"

"Maksud Kakak apa sih? aku ga ngerti," sahutku saat jalan beriringan dengannya.

Kakakku itu menghela napas kasar. "Kakak bisa lihat kilat kebencian di matamu, jujur saja pada Kakak, Ras,"

"Kakak mau kamu ...,"

****


Terjebak Dalam Tubuh VanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang