.
.
Semuanya sesuai keinginan Ann, ketika semua orang menutup mulutnya dari penyakit yang sedang diderita Ann. Termasuk dokter Widia yang terpaksa tidak mengatakan apa-apa perihal kanker yang bersarang di dada Ann kepada Ali.
Dan yang Ali tahu, bahwa Ann hanya kelelahan. Dokter memberikannya beberapa obat yang Ali tahu sebagai vitamin untuk daya tahan tubuh istrinya. Padahal benda kecil itu adalah obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit yang dialami Ann. Sebelum Ann memutuskan pengobatan apa yang akan dilakukan untuk kanker yang dideritanya.
Keadaan Ann sudah lebih baik, meskipun wajahnya masih pucat, dan sudah berada di rumahnya sendiri. Ali tidak masuk kerja untuk merawat istrinya sampai dia benar-benar melihat sendiri keadaan Ann pulih seperti biasa. Ali sedang membuatkan makanan untuk Ann ketika kiai Hasan, umi Aisyah, Akbar dan Astrid datang menengok.
Astrid tidak mengatakan apa-apa kepada Akbar maupun kiai dan umi tentang penyakit Ann. Ia masih bingung dengan kemauan sahabatnya itu. Melihat Ali yang sedang merawat Ann membuatnya hanya bisa terdiam. Betapa Ali sangat memperhatikan Ann, Astrid tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Ali harus kehilangan Ann, wanita yang paling dicintainya.
Astrid pergi ke kamar mandi untuk menyembunyikan airmatanya yang tidak bisa ditahannya. Mungkin karena kehamilannya juga, ia jadi sensitif dan mudah menangis.
"Kamu harus lebih memperhatikan kesehatan kamu sendiri Ann." Umi menyerahkan buah jeruk yang sudah dikupasnya pada Ann.
"Sekuat apapun kamu, jangan berlebihan." Kiai menambahkan.
"Iya kiai, umi, aku terlalu bersemangat mengurus yayasan dan sekolah. Rasanya bahagia berada di dekat anak-anak." Sahut Ann, dadanya tidak terasa sakit lagi.
"Lusa Asyifa datang, dia kangen sama kamu katanya." Ucapan Akbar membuat Ann tersenyum. Sudah berapa lama Ann tidak bertemu dengan Asyifa, rasanya lama sekali.
"Rasanya menyenangkan, kembali berkumpul dengan orang-orang terkasih." Ann melirik Astrid yang baru saja duduk di sebelah Akbar. Astrid hanya menunduk, tidak sanggup melihat kepura-puraan ini.
"Karena itu kamu harus lebih banyak meluangkan waktu untuk sekedar makan siang atau makan malam bersama kami di pesantren." ucap umi.
"Iya, maaf umi, aku jarang hadir di pengajian."
"Tidak apa-apa, umi mengerti yang penting kamu masih sempat melihat pesantren."
Perhatian kiai dan umi masih sama, kehangatan keduanya masih terasa hingga sekarang. Ann tidak menyangka bahwa ia mungkin akan pergi lebih dulu dari orang-orang yang berada di rumahnya sekarang. Menatap mereka satu persatu membuatnya merasa wanita paling beruntung karena dikelilingi orang baik. Ann sedih, waktunya mungkin tidak akan lama lagi bisa bersama mereka.
Terlebih ketika ia melihat Ali yang sedang bicara dengan Akbar. Bagaimana perasaan suaminya itu jika tahu tentang penyakitnya. Hatinya pasti akan hancur berkeping-keping. Ann tidak ingin melihat Ali meratapi sakitnya, atau ikut sakit seperti yang ia rasakan.
Tidak, Ali tidak boleh tahu. Biarlah Ali tahu sendiri bila saatnya waktu itu tiba, saat Ann benar-benar harus pergi dari hidup Ali. Saat Ann menghembuskan nafasnya terakhir. Setidaknya sakit yang dirasakan Ali mungkin tidak akan lama.
Tapi Ann salah, cinta Ali begitu besar kepadanya. Ia akan sakit untuk selamanya bila kehilangannya.
Ann kemudian meminta izin untuk masuk ke dalam kamarnya, ia takut air matanya jatuh dan membuat orang-orang khawatir padanya. Astrid melihatnya, lalu menyusulnya.
Ia melihat Ann duduk memandang ke luar lewat jendela kamarnya. Jejak air mata terlihat jelas di pipinya.
Astrid menyentuh bahunya, Ann menoleh dengan menghapus air matanya. Untung yang datang bukan Ali.
"Kapan lo akan mulai pengobatan?"
Ann menarik nafas. "Apa gue bisa sembuh dengan segala pengobatan itu?"
"Kita harus ikhtiar, selalu percaya bahwa keajaiban Allah akan datang kepada kita."
"Penyakit gue udah nggak bisa disembuhin Trid."
"Terus, lo cuma mau diam menunggu sampai malaikat menjemput lo gitu?"
Ann menatap lurus pemandangan di luar kamarnya. "Semua yang terjadi datangnya dari Allah. Maka gue juga harus siap jika sesuatu terjadi di luar rencana kan?"
Astrid hanya menghela nafas. "Lo masih saja terlihat baik-baik saja. Gue tahu sebenarnya perasaan lo."
Ann menoleh, lalu tersenyum."Ya udah kalau gitu, lo harus bikin gue bahagia dong..."
Astrid menggeleng kesal, bagaimana Ann masih terlihat santai sementara dirinya, oma dan Sita merasa khawatir dan sedih mengetahui apa yang sedang dialami sahabatnya itu. Ia terdiam menahan perasaannya yang kembali sensitif.
"Semua yang Allah ciptakan akan kembali padanya, dengan caranya masing-masing. Gue ngerasa hidup gue yang singkat ini harus gue syukuri karena gue nggak akan lihat orang-orang yang gue sayang pergi dulu ninggalin gue. Gue udah ngeliat bagaimana orang tua gue pergi dari hidup gue. Dan gue nggak mau, rasa sakit karena kehilangan itu kembali gue rasakan."
Astrid menggeleng."Lo nggak mikirin yang masih hidup Ann? Suami lo, oma, gue?"
Ann menutup matanya, merasa pemikirannya bertentangan dengan hatinya.
Astrid mengguncang bahunya, menahan suara agar tidak terdengar sampai keluar kamar. "Lo tahu gimana rasanya sakit karena kehilangan kan? Itu yang akan dirasakan oleh orang-orang yang lo tinggalin nanti Ann!"
Ann mulai terisak dan Astrid hanya membawa bahu Ann untuk dipeluknya.
.
Tengah malam, Ann terbangun dan dilihatnya Ali begitu pulas dalam tidur. Ia tidak ingin membangunkan suaminya itu, Ali pasti sangat lelah karena telah mengurusnya dan rumah selama Ann belum bisa melakukan sesuatu sendiri. Dengan perlahan ia melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Setelah menghadap Allah, perasaannya jauh lebih baik. Ann kembali menuju kasur, menatap wajah Ali yang tenang dalam tidurnya. Ann merasakan sesak di dadanya bukan karena penyakitnya tapi perasaannya yang hancur ketika membayangkan suaminya akan hidup tanpa dirinya. Bagaimana nanti keadaan Ali setelah ia pergi, siapa yang akan mengurus segala keperluannya, siapa yang akan menemaninya melewati hari-harinya. Apakah Ali akan baik-baik saja, apakah Ali akan dapat menerima kematiannya dan bisa melanjutkan hidupnya dengan baik.
Kata-kata dokter Widia terngiang-ngiang di kepalanya.
"Kanker stadium 4 adalah tingkatan kanker yang paling parah. Padatingkat ini, penyembuhan memang sudah sulit untuk dilakukan. Meski begitu,perawatan tetap bisa dilakukan untuk memperpanjang angkaharapan hidup dan meredakan gejala yang terjadi. Pengidap kankerparu-paru harapan hidupnya terbilang pendek.Namun mereka tetap bisa menjalani beberapa pengobatan medis. Dengan angkaharapan hidup antara lima tahun, hingga enam bulan saja."
Bisakah Ann meninggalkan suaminya ini dengan damai.
Banyak yang dipikirkan Ann membuat tubuhnya bergetar menahan tangis, ia tidak siap, sungguh ia tidak akan siap bila Tuhan mengambil nyawanya saat Ann tidak bisa meninggalkan Ali di dunia sendirian.
Tangis Ann semakin keras membuat guncangan hingga Ali terbangun karena merasakan gerakan di sekitarnya.
Ia terkejut melihat Ann yang menutup wajahnya sambil menangis. "Sayang, kamu kenapa?"
Ali menarik Ann untuk dipeluknya, Ann masih terisak di dekapan hangat itu.
"Aku tidak apa-apa, aku tadi...bermimpi."
Ali mengelus punggung ringkih istrinya, membiarkannya melampiaskan segala perasaan, mungkin mimpi istrinya terlalu menakutkan sehingga membuat Ann sampai menangis seperti ini.
Dan Ann tidak ingin melepas dekapan ini, yang mungkin tidak akan ia rasakan lagi.
...

KAMU SEDANG MEMBACA
ANA UHIBBUKA FILLAH BAGIAN 2
RandomSetelah menikah hampir sepuluh tahun lamanya, mungkin saat inilah rumah tangga mereka benar-benar diuji. Ketika Ann merasa tidak ada jalan lain untuk membuat Ali bahagia, selain merelakan untuk melepasnya. Start 20/08/21 #lizkookreligi