.
.
Ali masih memandangi tanaman hijau di depan kamar rawat Ann. Pandangannya tajam dengan pikirannya yang berkecamuk di kepalanya. Ia marah dengan keadaan, Ia kesal dengan permintaan Ann yang menurutnya hanya titik frustasi istrinya karena penyakitnya. Seharusnya Ann tidak pernah meragukan kesetiaannya, seharusnya Ann jangan pernah takut akan kehilangan cintanya. Seharusnya, dia percaya bahwa dirinya akan sembuh.
Laki-laki ini tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Meskipun memang Ann, mungkin tidak akan berumur panjang. Ia lebih baik sendiri dan tidak mengenal cinta lain selain cintanya pada Ann.
Di dalam kamar masih ada oma dan Keyla. Rian menghampirinya lalu ikut duduk di sebelahnya, menyodorkan satu cup kopi panas.
"Makasih." Ali menerimanya, karena ia memang membutuhkan minuman berkafein itu.
"Ibu-ibu kalau sudah bertemu pasti lama mengobrol." Rian hanya mencoba menghibur Ali.
Ali tersenyum tipis, menyesap kopinya sedikit. Ia memang tidak terbiasa minum kopi, tapi rasa manis dan pahit dari minuman di tangannya bisa sedikit membuat pikirannya tenang.
"Sepertinya aku perlu lebih banyak belajar tentang bisnis, karena mungkin aku akan fokus untuk mengembangkan usaha yang sekarang."
Rian mengangguk. "Santai saja, aku akan membantu untuk mengambangkan bisnis tanaman hidroponik ustad dan Ann. Saat ini pemasaran sudah sangat bagus kok. Apa, ustad nggak tertarik untuk memegang perusahaan peninggalan om Radit?"
Ali menggeleng. "Sudah ada orang-orang yang dipercaya tante Rosa untuk memegangnya. Lagipula Ann dan aku tidak pernah tertarik untuk berada di belakang meja."
"Karena itu ustad berhenti dari pekerjaan padahal posisinya sudah tinggi?"
Ali hanya mengulum senyum. "Aku hanya ingin fokus dengan Ann untuk saat ini."
Rian mengangguk paham. Ia memang merasakan bagaimana sakit dan rapuhnya Ali saat ini, dan sebagai teman ia hanya bisa menghibur dan ikut berdoa untuk kesembuhan Ann.
Pintu kamar terbuka, Oma dan Keyla terlihat keluar dari ruangan itu.
"Aku akan mengantar Oma untuk berbicara dengan dokter Ridwan, apa kak Rian mau ikut?" Rian mengangguk dengan ajakan Keyla, ia lalu berdiri.
"Ann sepertinya butuh sesuatu." Keyla beralih pada Ali. Wanita ini merasa bahwa Ali tidak perlu untuk ikut menemui dokter yang menangani Ann, karena pria ini pasti sudah mendapat informasi tentang perkembangan penyakit Ann.
Ali ikut berdiri, lalu keempatnya menuju tujuan masing-masing.
Ann masih bersandar dengan tenangnya, ia menatap Ali yang duduk di samping ranjangnya.
"Aku tadi minum kopi dari Rian, rasanya enak. Sepertinya aku akan ketagihan." Ali menggenggam tangan Ann.
"Jangan terlalu sering minum kopi hanya untuk membuat lebih baik. Kakak harus hidup sehat, jangan seperti aku ..."
Ucapan Ann terpotong karena Ali tiba-tiba menarik tubuhnya untuk memeluknya. Ann merasakan dadanya yang berdebar dan hembusan napas hangat yang menggelitik lehernya. Sesaat Ann memejamkan matanya, menikmati dekapan hangat sang suami. Ia jadi berpikir sudah berapa lama Ali tidak mendapatkan sesuatu yang intim. Karena sejak mereka pindah ke Jakarta, mereka belum pernah lagi melakukan kegiatan halal itu.
Ann jadi merasa berdosa, belum bisa lagi memberikan kewajibannya pada suaminya itu.
"Aku bosan, aku ingin kembali ke Bandung." Lirihnya.
Ali melonggarkan pelukannya, mendengar ucapan Ann. Ia menatap lembut istrinya yang memandangnya dengan penuh harap.
"Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku hanya di rumah sakit."
Ali menghela napas. "Masih ada kemoterapi dan operasi yang harus dilakukan."
"Aku tidak mau, aku kangen pesantren, aku kangen rumah kita, aku ingin melihat perkebunan."
"Ann."
"Kenapa kak Ali tidak mengerti perasaanku, aku lelah."
"Anna. "
"Apa kak Ali akan membiarkan aku berada disini sampai meninggal? Dan kakak juga belum menjawab pertanyaanku tadi pagi."
Ali sebenarnya tidak ingin mengingat ucapan Ann yang adalah sebuah bentuk permintaan yang tidak ingin Ali kabulkan. Dan ia berharap Ann tidak akan pernah membicarakannya lagi. "Aku tidak merasa perlu untuk menjawab ucapan kamu. Dan itu bukan pertanyaan."
Ann menelan ludahnya, dadanya kembali berdenyut sakit. "Aku hanya, ingin kak Ali mempunyai teman ... "
"Aku tidak perlu Ann!" Potong Ali berusaha membuat Ann mengerti dengan penolakannya.
"Kak Ali harus mempunyai keturunan, harus mempunyai wanita yang merawat dan mengurus segalanya. Aku tidak bisa meninggalkan suamiku sendirian."
"Masih banyak cara mencari surga Ann, jangan menyuruhku untuk menikah lagi."
Ann menunduk. "Aku hanya ingin pergi dengan tenang."
Ali memejamkan matanya, dengan menahan segala emosi yang hampir meledak. Ia tidak bisa lagi melihat Ann dengan wajah rapuh dan sakitnya.
"Aku bisa melakukan apapun Ann, tapi tidak untuk itu. Aku akan menolaknya meskipun kamu memintanya berkali-kali pun!" Ali menyandarkan kepalanya sambil menutup matanya.
"Demi aku kak, demi untuk saat-saat terakhirku." Airmata Ann luruh, dengan suara yang serak. "Aku ingin kakak menerima kenyataan ini, bahwa hidupku tidak akan lama. Jangan bilang kalau aku mendahului Tuhan atas hidupku. Aku hanya ingin mempersiapkan semuanya, sebelum terlambat. Aku ingin melihat kak Ali bahagia dengan seseorang, dan mempunyai keturunan. "
Ali membuka matanya perlahan, menahan gejolak perasaannya sebelum ia menggenggam tangan Ann kembali dengan erat dan mulai menangis dengan menciumi tangan yang mulai dingin itu.
Ann menatap Ali dengan seluruh perasaannya yang lelah. "Demi aku, demi sisa waktuku kak."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
ANA UHIBBUKA FILLAH BAGIAN 2
AléatoireSetelah menikah hampir sepuluh tahun lamanya, mungkin saat inilah rumah tangga mereka benar-benar diuji. Ketika Ann merasa tidak ada jalan lain untuk membuat Ali bahagia, selain merelakan untuk melepasnya. Start 20/08/21 #lizkookreligi